Review Lakon Wahyu Makutharama

20 November 2023, 00:03 WIB

Nusantarapedia.net | JURNAL, SENI — Review Lakon Wahyu Makutharama

Oleh : Jlitheng Suparman

– tugas Arjuna bukan menjadi raja diraja melainkan menyiapkan generasi baru calon raja diraja pasca perang Bharatayuda. Pertanyaan lagi, mengapa bukan Abimanyu yang menjadi raja diraja? Abimanyu anak Arjuna juga separoh diri menjadi bagian generasi lama, ia pun gugur di medan perang. Maka yang berpeluang dan murni generasi baru adalah cucu, Parikesit –

DI awal bulan Desember 2023 mendatang Kampret diminta pentas wayang kulit purwa di PT ISM Bogasari FM Jakarta. Bapak Fransiscus Welirang yang akrab disapa Pak Franky, selaku direktur perusahaan terigu terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara itu, menghendaki agar Kampret melalui pakeliran mengulas tentang Asthabrata.

Wah menarik. Kayaknya di hangatnya suksesi kepemimpinan di Indonesia saat ini Pak Franky ingin pula turut mengangkat isu kepemimpin menurut perspektif wayang.

Kampret pun merasa tertantang untuk lebih mendalami tentang Asthabrata yang menjadi tema inti dari lakon Wahyu Makutharama. Analisis Kampret berangkat dari pertanyaan apa maksud, tujuan, dalih yang melatari diciptakannya lakon Wahyu Makutharama? Bagaimana struktur lakon Wahyu Makutharama berkorelasi dengan alur besar Mahabarata? Apa pesan yang hendak disampaikan melalui lakon Wahyu Makutharama?

Dari analisis yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Kampret kepingin menyusun struktur baru lakon Wahyu Makutharama agar kerangka pikirnya lebih sesuai dengan paradigma kekinian, pesan-pesan yang disampaikan pun menjadi lebih lengkap dan kontekstual. Mudahnya agar ada penjabaran logis tentang Wahyu Makutharama dari berbagai dimensi makna dan pesan-pesannya.

Wah, pikiran Kampret di atas bisa jadi bahan tesis lho itu… hihihi… Nggak lah… Sekadar guyon, ya. Dan analisisnya enteng-entengan saja kok.

Setiap karya cipta dalam bentuk apa pun di sebaliknya pasti tersimpan maksud dan tujuan penciptaan oleh si pengkarya. Demikian juga karya cipta berupa cerita atau lakon wayang. Para pujangga dan atau dalang ketika menyusun lakon baru bukanlah asal membuat lakon. Dibelakangnya ada dalih atau alasan yang melatari penyusunan lakon tersebut.

Karena si penyusun lakon Wahyu Makutharama anonim dan andaipun diketahui orangnya mungkin sekarang sudah tiada, maka tidak bisa diwawancarai. Dari itu maka untuk mengetahui maksud dan tujuan penyusunan lakon, kita main tafsir berdasarkan struktur tematiknya.

Menurut hemat Kampret, penyusunan lakon Wahyu Makutharama dilatari oleh problem kepemimpinan. Bisa jadi dikala lakon itu disusun, tengah terjadi krisis kepemimpinan di ranah politik. Maka lakon tersebut semacam menghantar kritik sekaligus saran tentang bagaimana seharusnya sikap, tindakan dan perilaku pemimpin atau raja yang baik. Saran itu diwujudkan melalui rumusan Asthabrata, delapan norma kepemimpinan yang dalam pewayangan dicetuskan oleh Ramawijaya. Ajaran itu disampaikan oleh Ramawijaya kepada adhiknya yang bernama Bharata.

Dari itu lakon yang menjabarkan Asthabrata tersebut, diberi judul “Wahyu Makutharama”. Wahyu dapat dimaknai potensi adikodrati, dapat pula dimaknai ilham berupa rumusan nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Kata ‘makutharama’ sendiri berasal dari dua kata ‘makutha’ (mahkota) dan rama (Ramawijaya). Diterjemahkan secara bebas “Wahyu Makutharama” artinya ajaran kepemimpinan yang dijunjung tinggi selayak mahkota oleh Ramawijaya.

Pertanyaannya, mengapa penjabaran Asthabrata menggunakan struktur lakon Wahyu Makutharama yang berlatar kisah Mahabarata? Mestinya dapat mengangkat langsung struktur yang ada di Ramayana, peristiwa Ramawijaya mengajarkannya kepada Bharata. Inilah yang menarik.

Ada pesan penting tersembunyi terkait dengan dimensi siklus peradaban. Dalam struktur lakon Wahyu Makutharama, dalam kisahnya disampaikan bahwa siapa pun yang menerima Wahyu Makutharama akan menjadi raja diraja hingga turun temurun. Sosok terpilih menerima wahyu adalah Arjuna. Namun ternyata yang nantinya menjadi raja diraja bukanlah Arjuna melainkan cucunya yang bernama Parikesit.

Loh, berarti dewa bohong? Tidak. Ada pesan tersembunyi terkait dimensi siklus peradaban sebagaimana disinggung di atas. Bahwa perang Bharatayuda dalam istilah politik disebut sebagai momentum patahan sejarah, peristiwa besar yang menandai pergeseran era atau peradaban. Pergeseran peradaban lama yang sudah pada level terendah dan harus dihancurkan (kalabendu), bergeser ke peradaban baru di mana kehidupan tertata kembali dengan baik (kalasuba).

Terkait

Terkini