Revolusi Mental Bung Karno vs Revolusi Batin Jiddu Krishnamurti
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Revolusi Mental Bung Karno vs Revolusi Batin Jiddu Krishnamurti
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Bung Karno, bapak proklamator kita meletakkan dasar pemikiran yang justru mengangkat nasionalisme sebagai kekuatan pemersatu dan penggerak perubahan sosial. Baginya, nasionalisme bukan sekadar simbol kosong, melainkan alat untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan dan penindasan kapitalisme internasional. Nasionalisme dalam pandangan Bung Karno adalah bagian dari revolusi mental—sebuah gagasan bahwa pembebasan sejati harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa kita adalah bagian dari bangsa yang sedang berjuang”
– Dalam ajarannya tentang Marhaenisme, Bung Karno menekankan pentingnya kesadaran politik dan sosial sebagai syarat mutlak untuk mengubah nasib. Sebaliknya, ajaran Krishnamurti yang mendorong manusia untuk menjauh dari identitas kolektif, justru bisa dilihat sebagai penghambat bagi proses pembebasan sosial-ekonomi yang lebih berkeadilan dan manusiawi –
JIDDU Krishnamurti, seorang tokoh spiritual Prindavan dengan segala pandangan spiritualnya yang menolak segala bentuk otoritas dan ideologi (termasuk di dalamnya nasionalisme), bisa jadi akan terlihat menarik bagi pribadi individualis yang enggan hidup bermasyarakat, yang menginginkan kebebasan total dari beban identitas kolektif. Ia berpendapat bahwa identitas nasional hanyalah bentuk lain dari penindasan psikologis yang memperkuat batas-batas antar manusia. Namun sesungguhnya jika diselidiki lebih dalam, ajaran spiritual semacam itu tidak relevan dengan konteks kita sebagai bangsa Indonesia.
Bung Karno, bapak proklamator kita meletakkan dasar pemikiran yang justru mengangkat nasionalisme sebagai kekuatan pemersatu dan penggerak perubahan sosial. Baginya, nasionalisme bukan sekadar simbol kosong, melainkan alat untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan dan penindasan kapitalisme internasional. Nasionalisme dalam pandangan Bung Karno adalah bagian dari revolusi mental—sebuah gagasan bahwa pembebasan sejati harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa kita adalah bagian dari bangsa yang sedang berjuang.
Ketika Krishnamurti menyerukan pembebasan individu dari semua bentuk ideologi, Bung Besar kita justru menekankan bahwa kebebasan individu tidak mungkin terwujud tanpa perjuangan kolektif. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara ajaran Krishnamurti yang pasif individualis dengan ajaran Bung Karno yang penuh hasrat revolusioner.
Dalam ajarannya tentang Marhaenisme, Bung Karno menekankan pentingnya kesadaran politik dan sosial sebagai syarat mutlak untuk mengubah nasib. Sebaliknya, ajaran Krishnamurti yang mendorong manusia untuk menjauh dari identitas kolektif, justru bisa dilihat sebagai penghambat bagi proses pembebasan sosial-ekonomi yang lebih berkeadilan dan manusiawi.
Nasionalisme Indonesia sebagaimana yang digagas oleh Bung Karno adalah alat perjuangan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini adalah nasionalisme yang inklusif, yang bukan hanya berfokus pada identitas primordial sempit seperti etnis atau ras, melainkan pada perjuangan bersama untuk meraih kemerdekaan, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam hal ini, nasionalisme bukanlah “penjara batin” seperti yang “ditakutkan” oleh Krishnamurti, melainkan sebuah kendaraan menuju pembebasan yang konkret.
Tidak seperti khayalan ilusif Krishnamurti yang menganggap bahwa nasionalisme memperkuat dinding pemisah antara satu manusia dengan manusia lainnya, Bung Karno justru dengan cerdas melihat nasionalisme sebagai jembatan yang mempersatukan seluruh rakyat dalam melawan musuh bersama kemanusiaan: yaitu kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, nasionalisme semestinya adalah kekuatan revolusioner yang harus diterima sebagai bentuk perjuangan dalam melawan imperialisme, bukan ditolak mentah-mentah dan dianggap belenggu batin seperti dalam pemahaman sempit Krishnamurti.