“Rewang” Sebagai Solidaritas Mekanik hingga Distribusi Kohesi Sosial

- Tetapi terkadang muncul gerakan-gerakan yang menyerang bahwa itu bentuk feodalisme dan budaya patriarki -

31 Maret 2023, 13:27 WIB

Hubungan Rewang, Solidaritas Mekanik ala Durkheim
Durkheim merupakan sosiolog ternama, ia menyatakan ada dua bentuk solidaritas dalam masyarakat dalam bukunya The Division of Labour in Society (1983), yakni solidaritas organik dan mekanik. Tetapi untuk tradisi rewang dalam riset saya secara kepustakaan dan bertanya-tanya dengan tetangga sekitar, ada beberapa point yang itu menguatkan sebagai bentuk solidaritas mekanik. (Syukur, 2018)

Solidaritas Mekanik didasarkan atas suatu kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama-sama. Maksudnya begini, masyarakat menjunjung tinggi kesadaran ikatan entah secara genealogis atau interaktif. Tradisi rewang kerap kali ditemui, bahwasanya pihak yang ingin membantu memiliki kepedulian secara “paseduluran”. Ini bisa digambarkan atau diabstraksikan sebagai suatu kelompok yang menghargai dan menghormati atau mengasihani individu tersebut. (Dewi, 2015)

Maka dari itu, terkadang masyarakat Jawa, jika ada seseorang yang meninggal atau hajatan lainnya, biasanya rewang dengan mengunjungi seseorang itu dan membawa benda fisik atau tenaga. Ada yang berupa beras, gula, kopi, mie dan ada juga yang berbentuk tenaga seperti kepanitiaan kultural, misal perempuan bagian masak dan dapur, laki-laki bagian pramusaji, menghias dekor, menyembelih ayam, memikul-mikul, atau juga bagian humas, mengantarkan surat-surat atau berkat. Dan ada juga berupa bentuk sumbangan uang saja. Tetapi terkadang masih absurd tentang pembagian kerja tadi belum jelas pasti dalam wilayah tersebut memakai pembagian kerja yang sama, bisa saja rewang per daerah berbeda-beda. Tetapi itu semua juga diikat secara kolektif, dari keagamaan yang kental, dan belum tingginya pembagian kerja, maka dari saya beropini bahwa rewang itu merupakan solidaritas mekanik.

Hal yang Menarik
Ada hal yang menarik, yang saya temui memang banyak perempuan selalu diidentikkan dengan ruang dapur jika dilihat dalam tradisi rewang. Tetapi terkadang muncul gerakan-gerakan yang menyerang bahwa itu bentuk feodalisme dan budaya patriarki. Tetapi saya berargumen begini, kenyataannya perempuan selain memasak disaat rewang, perempuan juga lihai dalam menentukan kadar logistik, dan melihat secara detail apa yang kurang dalam hajatan tersebut. Menurutku bukan bentuk feodal, ketika sudah ada kesepakatan pemilik hajat, tentang dimana personal menentukan dirinya berperan. Dan menurutku perempuan juga berpengaruh sangat dalam pada tradisi rewang tersebut.

Terkait

Terkini