Ribut Tabuhan Gamelan Sekaten di Keraton Solo, Ya, Biarkan Saja!
Nusantarapedia.net | PUSPAWARNA — Ribut Tabuhan Gamelan Sekaten di Keraton Solo, Ya, Biarkan Saja!
Oleh : B Ari Koeswanto ASM
– ya, semestinya malu, karena menyangkut etik dan moralitas, dari dasar; keraton sebagai warisan pusat kebudayaan milik masyarakat luas yang terdapat nilai-nilai religi. Masih ada potongan sebagai poros panutan meski bukan keharusan, karena sekali lagi, pertanggungjawaban keraton sebatas pelestarian nilai-nilai kultural semampu pihak internal keraton. Begitu saja! Soal agar tidak saling berantem, sekali lagi itu hak keluarga. Toh ributnya mereka (keluarga), seperti suksesi raja, hanya sekedar berebut nama biar “dianggap sebagai raja” di internal keraton, atau raja Jawa dari aspek kultural, itu pun bagi yang masih menganggap ada — sebagian masyarakat tidak menganggap pun juga tidak masalah –
DUA kubu dari keluarga (internal) Keraton Surakarta sedang ribut, keduanya saling berebut untuk menguasai tabuhan gamelan sekaten dalam pembukaan perayaan sekaten (perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW) Keraton Surakarta Hadiningrat, Senin (9/9/2024).
Mengapa internal Keraton Surakarta terus gaduh? Biasanya berebut hegemoni kuasa, dari hulu suksesi raja. Kejadian ribut-ribut besar hingga kecil seperti itu sangat disayangkan, terus terjadi menjadi konsumsi publik. Tapi, ya, gimana lagi, itu ribut antar keluarga, kok, ya, biarkan saja.
Salah satunya akibat aristokrasi turun-temurun tidak diadopsi/diakomodir dalam pembentukan negara. Kuasa politik dibekukan, yang kemudian tinggal sebagai simbol budaya saja, sejak berdirinya Indonesia. Keraton entah memilih atau dipaksa oleh keadaan akhirnya turut bergabung ke dalam negara Indonesia. Ya, Nagari Kasunanan Surakarta bergabung ke Negara Indonesia.
Bila kemudian hanya sekedar pelestarian budaya tanpa mempunyai otoritas legitimasi kuasa, apakah keraton harus punya tanggung jawab sebagaimana fungsinya (awal), seperti; kuasa institusional (negara) dan pusat kebudayaan, termasuk sebagai poros egosentris religi, seperti dalam konteks perayaan Maulid Nabi. Tentu berat, kan?
Keraton tak lagi punya privilege tertentu, seperti keistimewaan keraton sebagai daerah istimewa (baca:DIY), Surakarta sudah tidak punya, kalaupun ada hanya sekedar (dana) bantuan APBN/APBD untuk perawatan dan pelestarian cagar budaya, yang itu saja tidak cukup. Boro-boro kemudian punya tanggung jawab egosentris sebagai penyambung lidah spiritual antara Tuhan-Raja dan Rakyat (kekhalifahan: baca gelar raja). Mana “mampu” entitas keraton saat ini menjalankan fungsi itu. Tentu sudah tidak reliable lagi.
Saat ini, kuasa institusional bergeser sebatas menjadi entitas budaya oleh keluarga besar saja, bila kemudian sering gaduh internal akibat kepentingan, ya, biarkan saja. Mereka (keraton) sudah tidak punya ikatan pada kawulanya (rakyat) secara kelembagaan. Secara budaya pun tinggal potongan-potongannya saja, yang bagian itu sekedar selebrasi semata, bukan bagian utuh dari kebudayaan yang hidup berlaku di masyarakat. Bukan lagi dalam kategori living monument pyur, tetapi dead monument dengan menyisakan potongan itu. Paling banter, kita (masyarakat) selaku bagian penerima dari legacy-nya (warisan kebudayaan) hanya bisa berdoa, semoga keraton lestari dalam wujud budayanya, sembari melakukan upaya pelestarian semampu mungkin.