Road Map Sastra Jawa

18 November 2021, 08:38 WIB

Nusantarapedia.net–Road Map Sastra Jawa

Jawadwipa yang sudah menjadi kota metropolis sejak jaman kuno menjadi tempat bertemunya kesusastraan dunia dengan banyak pengaruh didalamnya. Akibatnya, Jawa-Nusantara kaya akan khazanah kesusastraan dalam berbagai bentuk dan ragamnya, juga gaya sastra yang khas.

Tradisi bahasa lisan (tutur), sebagai fungsi komunikasi untuk menyampaikan pesan berupa gagasan dan pemikiran oleh kelompok sosial menemukan formatnya sebagai definisi “bahasa” yang terikat oleh kesepakatan.

Bahasa dengan banyak fungsinya memerlukan ruang atau media sebagai alternatif penyampaian pikiran. Bahasa yang tidak berwujud diperlukan tulisan sebagai bukti fisik untuk banyak kepentingan sebagai media yang aplikatif.

Pemikiran manusia yang mengandung konsep gagasan, perlu ditunjukkan dalam sebuah karya yang mengandung nilai seni, tidak hanya bersifat taktis atau ilmu pengetahuan yang eksak.

Karya pemikirannya ditulis dalam ragam medianya, termasuk yang berhubungan dengan jenis bahasa dan jenis tulisan yang berisi mengenai pedoman, ajaran, atau instruksi tertentu yang disampaikan melalui keindahan, disepakati sebagai bentuk “sastra.”

Dalam pendalaman yang lebih intens, sastra yang mengandung nilai seni, menjadi lebih pada nuansa keindahan dalam balutan fiksi dan simbolisasi, didefinisikan menjadi “sastrawi“.

Ruang lingkup kesusastraan menjadi luas, karena berhubungan dengan kebahasaan dan tulisan. Terbagi dalam sastra tertulis dan oral.

Hal tersebut bersifat kerangka konstruktif sastra, belum lagi menerjemahkan isinya yang harus ditelaah secara detail pada banyak aspek.

Isi sastra dari hal yang bersifat fakta sejarah sebuah peristiwa, kefahaman spiritual, serta fiksi-fiksi yang tidak terbatas juga tinjauan sosiologis secara menyeluruh.

Kajian kesusastraan memerlukan banyak disiplin ilmu dalam menggali sejarah sastra maupun penciptaan sastra baru yang berderajat tinggi, sebagai representasi dari peradaban suatu bangsa.

Studi mengenai kesusasteraan harus berdasarkan disiplin ilmu filologi bersama paleografi.

Keberagamaan kesusasteraan Jawa-Nusantara dengan banyaknya ragam bahasa, memunculkan banyak jenis sastra, seperti; Sastra Jawa, Melayu, Sunda, juga Sastra Bali. Begitu juga dengan sumber-sumber sejarah berupa tulisan, terdapati banyak aksara di Nusantara.

Perkembangan bahasa Jawa yang digunakan saat ini pada wilayah kebudayaan Jawa Tengahan misalnya, diawali dari bedah sejarah mulai digunakannya bahasa Jawa awal yang bercampur dengan bahasa Sansekerta, berkembang menjadi bahasa Kuno, Kawi, sampai menjadi bahasa ber-strata, Jawa Krama Inggil, Madyo dan Ngoko.

Pada perkembangan tulisan atau aksara juga demikian. Aksara Jawa yang ada saat ini hasil dari proses yang panjang. Huruf Jawa Asli, Pallawi, Paranaghri, menjadi terkait dan membentuk format baru.

Pada ruang kemediaan yang menjelaskan isi didalamnya, perlu di telaah dengan komprehensif berdasarkan bentuk seni sastra yang ada.

Manuskrip kuno berupa catatan yang berbentuk prasasti, bas-relief, daun lontar, lempeng emas, menjadikan obyek penelitian yang tidak kalah penting, selain obyek kebahasaan itu sendiri.

Pada sumber lain, sastra dalam bentuk teks bersifat abstrak, tidak tersusun dalam sebuah naskah, yang mana diperlukan pendekatan kritis dalam analisanya, dan ini merupakan sumber yang tidak tertulis dan banyak tersebar di Nusantara. Cerita Panji, Kidung, Legenda, Dongeng (Folklor-Folksong), diantaranya.

Bentuk prosa dan aneka puisi dalam ragam bentuknya seperti; Kakawin, Suluk, Babad, Geguritan hingga Macapat adalah bukti kekayaan seni sastra Nusantara.

Sayangnya, manuskrip dan naskah-naskah kuno Nusantara tersebar dibanyak negara, terutama saat berlangsung era kolonial Belanda dan Inggris.

Disamping itu, dokumentasi mengenai keberadaan teks sastra dalam aneka ekspresi, kesenian dan cerita tutur tidak menjadi naskah seni sastra Nusantara yang digali secara insentif dan tersusun, hanya dikesampingkan sebagai sesuatu yang bersifat fiksi, padahal melalui pendekatan geo-mitologi dapat dijadikan pemodelan ilmu pengetahuan.

Teknik dokumentasi, standarisasi, berupa teks menjadi naskah dengan aneka alih bahasa dan alih aksara hendaknya mulai dibudayakan, terlebih pada transformasi naskah digital.

Mengapa ini perlu, historiografi Nusantara pada seni sastra, telah menjadi pelajaran dari generasi ke generasi, karena mengetengahkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Berisi hal-hal yang mampu diimplementasi dalam kehidupan modern saat ini.

Kesusastraan Jawa Klasik dilihat dari sejarahnya, secara kasuistik nampaknya bentuk Macapat menjadi pilihan sebagai kesimpulan gaya sastra jawa, terutama pada periode terakhir jawa baru (Surakarta dan Yogyakarta). Macapat telah menjadi bentuk yang sempurna perihal ketata bahasaan dengan kaidah tertentu sebagai seni sastra dan fungsi yang lain, hingga menemukan mediumnya dalam aneka bentuk seni.

Pada hal isi macapat, sebagai monumen peristiwa, bercampur dengan dinamika teologi yang dari prosesnya berawal dari spirit mistis-mitologi-kosmik, hingga konsep etiologi ketuhanan dan manusia menjadi konten yang pakem, ditambah bumbu mistis dan fiksi sesuai dinamika politik didalamnya.

Spirit Hindu-Budha, Islam, Barat dan kebudayaan dunia lainnya menjadikan seni sastra yang berkelas, namun masih banyak hal tersembunyi yang perlu diungkap.

Sastra Jawa dalam pemilihan dan penggunaan kata-kata dan kalimat, lebih pada bentuk metafora yang bersifat komplementatif, nominatif, kalimatif dan predikatif, merupakan cirinya.

Ciri bahasa metafora dalam kesusasteraan Jawa telah ada dalam karya sastra sejak era Jawa Kuno, Madya dan Anyar.

Metafora bahasa Jawa tidak dimaknai sebagai kelahiran bahasa yang terpengaruh akan budaya feodal yang mengenal strata, terutama sejak kekuasaan kolonialis, meski bagian itu tetap ada, namun lebih pada derajad seni kesusasteraan yang bermakna tinggi sebagai hal yang bersifat filosofi, juga media pengajaran.

Metafora semantik dalam sastra Jawa, disebut sebagai gaya bahasa, seperti; “Sanepa, Paribasan, Wangsalan, Pepindhan, Parikan, Cangkriman,” disitulah nilai estetik bahasa dan sastra Jawa terlihat.

Garis Waktu Periodisasi Sastra Jawa-Nusantara

Periodisasi Sastra Jawa menurut beberapa sumber, yaitu; (1) M. Ng. Poerbatjaraka [Kapustakaan Djawa (1952), Kepustakaan Djawi (1954)]. (2) Versi Departemen Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1946), dalam bukunya Kesoesastraaan Djawi dengan judul “Babad Riwayate Kesusastraan Jawa.” (3) Menurut Suryanto Sastroatmodjo dalam makalahnya yang berjudul Sastra Jawa; “Adakah Era Baru atau Alternatif-Alternatif Baru” (1976). (4) Dalam “Kalangwan” Sastra Jawa, oleh; Zoetmulder P.J (1974:1983).

Berikut garis waktu periode kesusastraan Jawa yang dirangkum dari sumber diatas, sebagai berikut;

(1) Sastra Jawa Kuno

1.1. Periode Abad I sampai X
Era kerajaan Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Tarumanegara, Kalingga, Medang Mataram.

A. Budaya Tulisan

Sumber sastra, diantaranya;
Prasasti Yupa Kutai Kartanegara (400 M), Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Prasasti Ligor (775 M) masa Sriwijaya. Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi yang tersebar didaerah Bogor, Banten dan Jakarta masa Tarumanegara (395-434 M).

Prasasti Canggal (732 M), ditemukan di Magelang, dikeluarkan oleh penguasa baru Medang i Mataram, Sanjaya. Pada era ini telah ada duplikasi kitab Mahabarata-Ramayana; perjalanan Resi Agastya di Gunung Kunjara, muncul teks atau tulisan/kitab-kitab sederhana berjudul “Kunjarakarna.”

Tahun 808-809 M, Prasasti Dieng merupakan bukti yang tertua keberadaan tulisan aksara Jawa Kuno.

B. Kesusastran Jawa Kuno dalam Kitab

Kitab Candha Karana, berhubungan dengan Prasasti Kalasan (778 M), beraksara huruf Paranaghri dengan langgam India Utara.
Kakawin Ramayana, era Dyah Balitung (820-830 C), merupakan Adikakawin, sebagai naskah yang in
dah, panjang dan komplit.

1.2. Periode Jawa Timuran (Sastra Pertengahan)

A. Era Mpu Sindok, Airlangga, Kadiri, Singhasari (929-1293 M)

Kitab Buddha bermazhab Mahayana-Tantrayana, masa Mpu Sindok (929-947 M), karangan dari Mpu Shri Sambhara Surya Warama.

Kitab Brahmandapurana, kelahiran konsep caturasrama; Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.

Kitab Sastra Parwa Mahabaratta, gubahan dari versi asli India karangan Bghwan Vyasa, era Raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M).

Kakawin Arjunawiwaha (kitab bagian ke-3 Mahabaratta), sebagai persembahan kepada Raja Airlangga menantu dari Dharmawangsa Teguh di Wwtan:Magetan (1028-1035 M).
Pada bagian parwa yang ke-7 lahir Kitab Uttarakanda berupa teks.

Selain itu masih terdapat beberapa bagian kitab (parwa), seperti; Sabhaparwa (bagian 2), Wirataparwa (4), Udyogaparwa (5), Bhismaparwa (6), Asramawasaparwa (15), Mosalaparwa (16), Prasthanikaparwa (17), dan Swargarohanaparwa (18).

Era Kadiri menorehkan; kakawin yang terkenal yaitu; “Kakawin Bharatayudha,” dengan bahasa Jawa Kawi. Ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kakawin ini selesai ditulis pada 6 November 1157 untuk Raja Prabu Jayabaya.

Sebelumnya, Kadiri telah menulis Kakawin Kresnayana oleh Mpu Triguna untuk Raja Warsajaya (1104 M). Kakawin ini ditulis ulang tahun 1135-1157 oleh Mpu Panuluh pada saat pemerintahan Raja Jayabaya, dengan sebutan “Kakawin Hariwangsa.

Mpu Panuluh juga menulis “Kakawin Gathotkacasraya,” era Raja Jayakreta.

Kakawin Smaradahana dan Lubdhaka, juga cerita Panji. Kakawin Smaradahana, era Raja Kameswara II (1185 M), kakawin ini diduga ditulis oleh Mpu Dharmadja.

Kakawin Bhomakawya atau Bhomantaka merupakan kakawin terpanjang dengan 1492 bait.

Kakawin Sumanasantaka, karya Mpu Monaguna.

Kakawin Lubdhaka (Siwaratrikalpa) oleh Mpu Tanakung, juga menulis Kakawin Wrettasancaya.

B. Periode Majapahit (1293-1498 M)

Naskah Pararaton, ditulis dalam bahasa jawa kawi, terdiri dari 32 halaman berjumlah 1126 baris. Isi naskah ini diragukan kebenarannya (a-historis), namun cukup memberikan gambaran sebagai data pembanding untuk menelaah keadaan jaman Singhasari dan Majapahit. Ditulis tahun 1478-1498.

Kitab Nagarakretagama atau Kakawin Desyawarnana, merupakan karya sastra dari Mpu Prapanca sebagai pejabat agama Buddha, ditulis pada tahun 1365, digubah pada era selanjutnya pada periode tahun 1481 sampai 1600.

Kakawin Sutasoma (1365-1389), karya dari Mpu Tantular yang beragama Buddha, disusun pada era pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Kitab Nawaruci karya Mpu Siwamurti.

Kidung Sri Tanjung, merupakan cerita rakyat yang dinyanyikan, bagian dari cerita Sudamala.

C. Periode Transisi Keruntuhan Majapahit

“Sirna Ilang Kertaning Bumi,” keruntuhan Majapahit tahun 1478, berdirinya kerajaan Demak Bintoro (1481) sampai keruntuhan Demak (1547).

D. Tumbuhnya bahasa Jawa Tengahan (1478-1547).

Kitab “Tantu Panggelaran,” kitab ini sebagai etiologi perihal proses pembentukan pulau Jawa dan peradabannya. Juga lahir legenda-legenda seperti Legenda Calon Arang dan Cerita Panji. Cerita panji termasuk dalam lingkup sastra (literary cycle). Selain itu masih banyak lagi antologi cerita panji asal Jawa Timuran, seperti Panji Nagagini dan carangannya pada cerita Prabu Anglingdharma.

(2) Sastra Jawa Tengahan

2.1. Periode Islam Awal (Demak-Padjang)

Suluk yang pertama bernama “Suluk Sukarsa,” yang diduga dipopulerkan oleh Ki Sukarsa. Menyusul lahir Suluk Wujil, Malang Sumirang, Suluk Burung, juga Suluk Bonang.

Cerita Tutur Manikmaya, menjadi bentuk teks “Serat Manikmaya,” cerita ini juga mengawali tradisi pada ritus “Ruwatan Murwakala“.

Serat Nitisruti, ditulis oleh Pangeran Karanggayam atau Tumenggung Sujanapura tahun 1591 M, menyusul lahir Dhandanggula, Mijil, Durma, Pucung, Kinanthi dan Megatruh.

Serat Menak dan Serat Rengganis.

Kitab Salokantara dan Jugul Mudha, menandai era baru dengan memulai tatanan yang baru pasca Majapahit.

Serat Pepali, ditulis oleh Ki Agung Selo yang berisi mengenai ajaran hidup.

Serat Layang Anbiya, ditulis oleh Sunan Drajat pada tahun (1487-1522).

Perempuan, Sastra dan Uforianya

2.2. Periode Mataram Islam

Serat Nitipraja ditulis oleh Sultan Agung pada tahun 1630. Berbentuk puisi atau macapat dengan aneka metrum, terutama Dhandanggula.

Serat Sastra Gendhing (1613-1646), buah pikiran Sultan Agung, berisi ajaran yang berlandaskan nilai religiusitas Islam.

Sultan Agung juga menciptakan sistem penanggalan Jawa-Islam, perpaduan dari kalender Saka dan Hijriah, menjadi kalender Jawa.

Bahasa Bagongan, merupakan bahasa yang digunakan dilingkup internal pejabat istana.

Babad Keraton Kartasura (1680-1755), berisi mengenai sejarah Mataram Kartasura dan penggambaran situasi etnis Cina di Jawa dalam peran dan pengaruhnya.

Serat Iskandar dan Serat Yusuf, ditulis oleh Pakubuwana II.

Babad Tanah Jawi, versi yang paling tua ditulis oleh Carik Adilangu II (1722), era Pakubuwana I dan II. Versi selanjutnya ditulis oleh Carik Tumenggung Tirto Wiguna era pemerintahan Pakubuwana III (1788), di Surakarta. Tahun 1874, Johannes Jacobus Meinsma menerbitkan dalam versi Gancaran yang ditulis oleh Ngabehi Kertapraja.

Brighten Up Your Mind

(3) Sastra Jawa Baru (Klasik)
Periode Mataram Anyar (1755) Surakarta dan Yogyakarta

Babad Giyanti (1755), berisi ihwal dibaginya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, ditulis tahun 1757 oleh R.Ng. Yasadipura I, juga menulis ulang kitab Bharatayudha dan Serat Mintarga (Dewa Ruci).

R.Ng. Yasadipura II, menulis Serat Babad Pakepung (1790).

Ranggawarsita, dengan karyanya, Serat Cemporet, Paramayoga, Kalatidha, Joko Lodang, Wirid Hidayat Jati, Kamus Kawi-Jawa, Cariyos Ringgit Purwa.

Pakubuwana IV, menulis sendiri karya sastranya berjudul, Serat Wulangreh dan Wulang Istri.

Mangkunegara IV dengan karyanya Serat Wedhatama.

Mangkunegara VII dan VIII pada tahun 1814 berhasil menggubah Serat yang sangat terkenal, yaitu Serat Centhini.

Sultan Hamengkubuwana VI menulis Serat Napuliyun. Juga lahir Serat Surya Raja, Arjunawiwaha dan Kanjeng Kyai Al-Quran, Babad Dipenegoro I-III, Serat Bendhe Ki Becak, Serat Jatimurti, Serat Madurasa, Kasarasing Bathin, Serat Wedharama Winardi, dan lainnya yang ditulis oleh para pujangga Kasultanan.

Artikel-artikel yang ditulis oleh pelopor pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara.

Ki Padmosusastro, karyanya yang ditulis di Belanda adalah Serat Woordenlijst dan Urapsari. Tahun 1910 menerbitkan kalawarti Sasadara, Tjandrakanta, Waradarma.
Tahun 1890-1925 adalah rentang waktu dalam berkarya, telah menghasilkan banyak karya buku, yaitu; Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa, Zemenspraken, dan masih banyak lagi.

Serat Riyanta yang ditulis oleh R.M. Soewardi, juga karyanya yang berjudul Serat Mitro Musibat, dengan gaya sastra novel barat.

Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia Berdasar Periodisasinya

(4) Sastra Modern
Pasca Kemerdekaan-Sekarang.

Demikian garis besar perjalanan sastra Jawa, selanjutnya dapat ditinjau secara kasuistik dengan bekal peta global kesusasteraan Jawa berdasarkan poros kerajaan, karena pusat kebudayaan tidak jauh dari kota praja, meski sastra teks yang asli lahir dikalangan akar rumput, tetapi administrasi dan pembakuan itu tetaplah milik kekuasaan.

Terkait

Terkini