Romansa Raden Pabelan-Putri Sekar Kedaton, Skandal Lendir Berujung Tragis (Cerita Mutilasi hingga Kubur di Tiga Makam – 2)

- Duplikasi nilai-nilai Islam pada tatanan masyarakat Jawa yang kemudian menjadi kultur Jawa, memanglah masif, dimulai sejak era Demak, Pengging maupun Pajang, dan khususnya berhasil diresepsi total saat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam -

28 November 2023, 13:13 WIB

Nusantarapedia.net | JURNAL, SEJARAH — Romansa Raden Pabelan-Putri Sekar Kedaton, Skandal Lendir Berujung Tragis (Cerita Mutilasi hingga Kubur di Tiga Makam – 2)

Ujungnya, Sekar Kedaton tak mampu merasakan derita bathin yang dalam, terus membuncah hebat, raganya pun tak mampu menampung segala rasa penderitaan itu. Endingnya, Sekar Kedaton mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sang putri tewas dengan menceburkan diri ke sumur yang berada di kompleks taman keputren keraton. Sang putri melakukan “bela pati” atas nama janji yang harus dipegang teguh meski harus ditebus dengan mati.

Dua sejoli ini tewas, perbuatan keduanya telah mencoreng kewibawaan istana, karena melibatkan istana dan pembesar kerajaan. (bagian 1)

IMG 20231128 WA0007
Gapura masuk petilasan istana Keraton Pajang, Desa Makamhaji, Pajang, Sukoharjo, Jawa Tengah (atas) | Halaman petilasan istana (bawah).
IMG 20220913 140333 807

Filantropi Cinta vs Penegakan Hukum
Cerita sejarah di atas dapat dipetik hikmahnya, bahwa kesetiaan akan cinta tak salah untuk diperjuangkan, sekalipun harus berakhir dengan tragis, seperti dengan bela pati. Janji sehidup semati, apa yang terjadi terjadilah meski dengan konsekuensi. Itu murni adanya.

Cinta adalah bagian dari kodrat manusia, perwujudan aktualisasi dari nilai-nilai kemanusiaan. Meski di bagian tertentu cinta lahir atas dorongan nafsu semata yang menyebabkan hilang akal sehatnya dengan tindakan cinta buta.

Cinta Raden Pabelan kepada Putri Sekar Kedaton, menyiratkan akan nilai-nilai kesetaraan. Bahwa cinta tak memandang kelas sosial maupun batasan (ukuran) fisikly (phisically). Cinta tak memandang kasta dan harta. Cinta hanya berbasis kesepakatan antar dua insan dengan kesukarelaannya.

Bagi kedua insan yang jatuh cinta, cinta dipandang hanya milik berdua, laki-laki dan perempuan. Cinta hanya ada (berada) di hati keduanya, secara hak memanglah benar. Cinta adalah anugerah yang hakiki, tersekat jelas berada di wilayah privat yang tidak bisa diganggu gugat, bukan berada di ranah publik. Maka, hak dari Putri Sekar Kedaton untuk bela pati demi cintanya kepada Raden Pabelan, juga hak Raden Pabelan untuk menentukan jalan hidupnya, terlepas dari sifat-wataknya yang keras kepala, pun atas dasar naluriah seorang laki-laki.

Di ruang privat tersebut, cinta yang berbasis nilai-nilai alamiah (manusiawi) sebagai alasan pembenar juga dipersilahkan, meski akhirnya berdampak fatal, harus mati dengan dimutilasi atau berdampak sistemik dikemudian, menjadikan pintu pembuka kehancuran Pajang. Atau juga, mengubah cara pandang budaya tentang hubungan percintaan yang endingnya berakhir di pelaminan.

Kini terbukti oleh jaman, urusan cinta hingga perjodohan, tak mutlak lagi tersekat oleh batasan-batasan sosial yang membelenggu. Soal perjodohan bukan menjadi monopoli (keinginan) para orang tua, justru orang tua mengikuti kehendak anak dalam berumah tangga, meskipun seringkali tidak tepat, tidak memenuhi kajian yang nalar, hanya karena dalil — tergantung yang melakoni.

Latar cerita sejarah ini terjadi pada kisaran tahun 1580 an, ketika sedang gencar-gencarnya nilai etika Islam masuk ke dalam masyarakat Jawa. Semangat ini yang kemudian menempatkan praktek cinta tidak hanya bermodal dari nilai-nilai yang privat (asasi), melainkan balutan sosial itu menjadi lebih penting karena eksistensi cinta dikatakan ada ketika berada di ruang publik. Syarat agar eksis – legitimatif, cinta harus didasari dengan nilai etika, yang mana cinta tetaplah berpegang teguh pada prinsip – nilai-nilai etis yang didalamnya menyangkut moralitas.

Praktek percintaan hingga jenjang pelaminan sebenarnya hanya soal cara pandang, yang mana tentu berbeda antara negara sekuler dan negara agama. Bahkan sebelum Islam datang ke Nusantara, praktek percintaan sudah dilakukan dengan balutan nilai-nilai etis, seperti halnya menempatkan wanita sebagai kaum patriarki, karena akan berbahaya bila wanita tampil dominan akan menjadi bahan objektifikasi. Praktek ini kemudian tumbuh subur ketika tiba pada era feodalisme kolonial, meskin secara kultural urusan percintaan telah lebih mengakar dengan batasan-batasan etik.

Di sinilah terketengahkan oleh Raden Pabelan, bahwa (cinta) perjodohan itu mengandung kesetaraan, cinta itu linier, seperti halnya pada budaya modern, bahwa cinta tak mengenal kasta dan harta.

Namun demikian, dasar dari cinta tak hanya soal hak asasi semata, yaitu perlunya dasar nilai-nilai etis, terlebih ini dialami oleh para penyelenggara negara (pembesar kerajaan), yang mana, perilaku dari para penyelenggara negara sampai pada keluarganya harus menampakkan perilaku dan akhlak yang baik, mulia dan terpuji. Mengapa, karena para penyelenggara negara adalah tokoh panutan, bertindak sebagai poros cendekiawan, segala sesuatunya akan menjadi kiblat bagi para kawulanya.

Kasus ini tidak akan berdampak panjang bila terjadi di akar rumput yang menimpa orang biasa, tetapi menjadi sangat tidak pas bila dilakukan oleh seorang tokoh. Tentu kesadaran seperti ini yang harus dijunjung tinggi oleh para aparatur, seperti dalam konteks kekinian, harusnya para pejabat malu dengan tugasnya yang tidak sesuai harapan, tidak memberikan sumbangsih apa-apa selain hanya kegiatan seremoni belaka, masih ditambah praktik melanggar lainnya.

Untuk itu, terlebih perilaku raja (pimpinan), dalam perilaku kehidupan sehari-hari maupun pada kebijakan kepemimpinan yang diambilnya, diputuskannya, harus memenuhi aspek kesempurnaan, mulai dari nilai-nilai kemanusiaan hingga ukuran sosial, haruslah arif, bijaksana dan berkeadilan.

Omongan dan tindakan raja hingga para menterinya dan seluruh aparaturnya harusnya selaksa “sabda pandita ratu tan kena wola-wali, berbudi bawa laksana”. Ucapannya tidak boleh mencla-mencle, berubah-ubah. Satunya kata dan perbuatan. Apa yang telah diputuskan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan dasar itu keluhuran suatu bangsa tercermin dari perilaku pemimpinnya. Bila pemimpinnya abai, maka rakyatnya juga akan apatis. Bila pemimpinnya rusak, maka rakyatnya juga sama, tinggal menunggu kehancuran suatu negara.

IMG 20220913 140003 909
IMG 20220913 135403 047
Bagian dalam petilasan istana Keraton Pajang, diduga bagian kedaton (inti) istana.

Terkait

Terkini