Romansa Raden Pabelan-Putri Sekar Kedaton, Skandal Lendir Berujung Tragis (Cerita Mutilasi hingga Kubur di Tiga Makam – 3)
- Lantas mana yang benar? Skandal cinta Raden Pabelan-Sekar Kedaton yang penuh intrik berbumbu syahdunya nikmat selangkangan, ataukah murni kudeta Mataram terhadap Pajang, atau kedua-duanya hoaks, atas kecerdasan Mataram dalam memframing -- membranding dinastinya yang di awal-awal butuh legitimasi -

Nusantarapedia.net | JURNAL, SEJARAH — Romansa Raden Pabelan-Putri Sekar Kedaton, Skandal Lendir Berujung Tragis (Cerita Mutilasi hingga Kubur di Tiga Makam – 3)
Bila ditarik dalam konteks kekinian, perlunya seluruh penyelenggara negara saat ini dapat meneladani kisah ini, bahwa nilai etik dan moral itu sangatlah penting, menjadi alas dari segala tindakan dan perbuatan, kalau tidak ingin tatanan menjadi rusak. Kalau kerusakan itu pada infrastrukturnya bisa diperbaiki, tetapi bila sudah menjadi problematika etis-moralitas-mentalitas, itu sudah sangat berbahaya untuk kelangsungan suatu praja (bangsa dan negara) selanjutnya.
Aneka problem saat ini tentu tidak akan terjadi bila para penyelenggaranya berlaku dan bertindak adil, berpihak untuk rakyatnya. Tentu bukan hanya urusan selangkangan atau narkoba dan kasus korupsi-kolusi-nepotisme, lebih jauh lagi urusan geo-politik, ekonomi dan strategi global, dalam tujuan untuk (demi) kepentingan nasional. (bagian 2)
Kubur Raden Pabelan di Tiga Tempat
Konon ceritanya, setelah prajurit istana berhasil memutilasi jasad Raden Pabelan menjadi tiga bagian, yakni bagian kepala, badan (gembung) dan kaki, lalu potongan tubuh bagian gembung atau badan dihanyutkan ke Sungai Laweyan, dengan harapan agar khalayak tahu untuk dijadikan pelajaran atas tindakan kekurangajarannya.
Jasad yang dihanyutkan di Sungai Laweyan yang merupakan anak sungai Bengawan Solo, jasad tersebut nyangkut atau sangkrah di akar pohon. Orang pertama kali yang melihat jasad ini adalah Kiai Sala. Melihat jasad yang tersangkut, Ki Sala mengembalikan posisi jasad agar hanyut terbawa air. Saat keesokan hari, Kiai Sala melihat jasad tersebut kembali ke tempat semula, tidak hanyut terbawa air, tetap nyangkut atau sangkrah di tempat yang sama. Lalu Kiai Sala mengulanginya lagi. Keesokan harinya, ternyata jasad itu kembali lagi di tempat semula.
Lalu Kiai Sala berkesimpulan, bahwa jasad tersebut tidak mau hanyut, rohnya ingin dikubur di sekitar tempat nyangkutnya jasad. Lalu Kiai Sala mengangkat jasad tanpa kepala dan kaki dari bawah sungai ke atas (darat) untuk dirumat (diurus). Lalu dikuburkan di sekitarnya.
Adapun tempat jasad tersangkut atau nyangkrah (tertahan) di sungai, saat ini dinamakan Kampung Sangkrah, dari asal kata nyangkrah:sangkrah:nyangkut:terhalangi. Sementara tempat untuk menguburkan jasad gembungan diberi nama Kampung Batangan, dari asal kata:bathang yang artinya bangkai/mayat.
Saat ini, makam kedua Raden Pabelan yang dipercaya sebagai kubur potongan bagian badan (gembung) dari jasad Raden Pabelan, berada di Kampung Batangan, Kedunglumbu, Kota Solo, tepatnya di dalam kompleks BTC (Beteng Trade Centre), sebelah timur laut Alun-alun Lor Keraton Surakarta, sekira 200 meter.




Lantas, untuk bagian kepalanya, dikubur di desa yang saat ini dinamakan Desa Pabelan, dipercayai sebagai makam pertama Raden Pabelan. Terletak di Dukuh/Desa Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo (sebelah barat dari kompleks kampus UMS).
Namun di sini ada perdebatan, justru makam pertama yang diyakini sebagai kubur potongan bagian kepala di Dk/Ds. Pabelan ini, sebenarnya bagian tubuhnya atau gembungnya, sedangkan yang di kompleks BTC Kampung Batangan Solo justru potongan tubuh bagian kepala, atau sebagai makam pertama. Hal itu bila dihubung-hubungkan dengan nama toponimi, ada nama kampung atau desa di dekat Desa Pabelan bernama Gembongan. Kata gembongan dari asal kata gembung:gembungan yang berarti tubuh, potongan bagian tubuh jasad Raden Pabelan.



Kemudian untuk makam ketiga Raden Pabelan berupa potongan bagian kaki, di kubur di rumah kediaman Tumenggung Mayang atau di Katumenggungan Mayang. Kini Desa Mayang, Gatak, Sukoharjo. Sedangkan titik persisnya tidak diketahui, namun terdapat dua tempat yang diyakini sebagai kubur bagian kaki Raden Pabelan. Dugaan pertama dikubur di sekitar Sendang Sari Desa Mayang, sedangkan dugaan titik kedua, berada di bekas sumur yang dulu juga berupa sendang atau taman keputren kecil di kompleks Katumenggungan Mayang.
Versi penulis ketika datang ke Desa Mayang dalam olah visi spiritual, titik penguburan bagian kaki Raden Pabelan berada di titik kedua. Titik kedua ini, menurut visi spiritual penulis adalah kedaton (rumah) inti Katumenggungan Mayang.
Kini bekas kedaton inti Tumenggung Mayang berupa rumah pribadi milik warga. Saat penulis datang berkunjung ke rumah tersebut dan melihat bekas sumur atau sendang atau keputren kecil dari kediaman Tumenggung Mayang, disitulah penulis yakin sebagian tempat dikuburkannya bagian kaki Raden Pabelan. Namun oleh pemilik rumah yang tidak mau disebut namanya, inisial S alias T, tempat tersebut boleh difoto tetapi tidak boleh dipublikasikan, hanya untuk dokumentasi privat penulis saja, kata si pemilik rumah.
Si pemilik rumah juga meyakini bahwa lokasi inti Katumenggungan Mayang berada di rumahnya, juga dirinya yakin masih ada hubungan darah dengan Tumenggung Mayang, meski tidak ada catatan nasab dari sumber literasi yang dipercaya, misal dari catatan keraton atau sumber lainnya. Hal ini karena peristiwa sejarah mengenai Kerajaan Pajang sudah berlangsung 500 tahun, bahkan tidak ditemukan catatan yang valid mengenai sejarah Kerajaan Pajang sendiri.
Si pemilik rumah juga mengatakan, menurut penuturan ayah dan eyangnya, kompleks Katumenggungan Mayang ini dulunya kompleks tumenggungan yang lengkap, layaknya kediaman bangsawan, ada kandang kuda (gedogan jaran), keputren, halaman luas atau Alun-alun kecil, seperti halnya miniatur denah istana.
Selain itu, si pemilik rumah pernah melihat penampakan di bagian omah (rumah inti), pada salah satu saka atau tiang utama rumah joglo sinom, yaitu sosok laki-laki gagah dan tampan menggunakan ikat kepala berwarna hijau muda. Di sini penulis menyimpulkan, bisa saja itu sosok Raden Pabelan, yang mana, panji-panji kebesaran Keraton Pajang berwarna hijau muda dan kuning, atau disebut dengan warna pareanom, warna khas Pajang y6 yang selanjutnya digunakan oleh Mataram hingga Kasultanan Yogyakarta.

