Rumahku Surgaku

31 Mei 2022, 09:07 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sastra, Cerpen — Rumahku Surgaku

Matahari sudah tampak menyilaukan mata, hangat sinarnya memberikan efek sauna di tubuh. Membuat keringat mengalir perlahan.

Aku sibuk keluar masuk rumah.

“Mbak, jadi pindahannya, kok udah beres-beres?” tanya Mbak Uni, tetangga kontrakan pintu sebelah.

“Jadi Mbak, minggu depan.”

“Pindah kemana? Rumah sendiri, ya?”

“Alhamdulillah, insyaallah rumah sendiri, Mbak.”

“Selamat Mbak, rumah impiannya sudah jadi. Semoga aku bisa nyusul, nggak ingin selamanya hidup di rumah kontrakan.”
Mbak Uni memelankan suaranya, ada yang berpendar saat bicara tentang rumah sendiri. Yah, tentunya rumah adalah impian bagi semua orang yang sudah berumah tangga.

“Amin, semoga dimudahkan, Mbak,” jawabku.

“Bakalan sepi nggak ada teman curhat lagi nih, Mbak Nila.”

“Mbak Uni masih bisa main ke rumah kok, besok kalau udah pindahan. Dekat dari sini, sekitar satu kilo aja.”

Mbak Uni kelihatan lega, kemudian tersenyum mendekatiku.

“Ehm, masih boleh pinjam buku novelnya, ya?” tanya Mbak Uni malu-malu.

“Tentu boleh, datang aja ke rumah, Mbak?”

Aku tersenyum menjawab, sambil mengemas barang-barang yang akan dipindah. Satu kardus berisi buku novel koleksiku tiga tahun terakhir. Dari penulis favorit, sampai novel karya teman-teman sesama penulis. Lumayan banyak.

Selang beberapa menit, dari dalam terdengar suara suami Mbak Uni memanggil. Dia pun pamit dan segera masuk ke rumah. Aku melanjutkan beberesnya seorang diri karena suami belum pulang, sambil mendendangkan lagunya Slank yang berjudul rumah kita.

“Lebih baik di sini, di rumah kita sendiri… .”


Minggu malam diadakan syukuran untuk menempati rumah baru. Beberapa tetangga yang dekat rumah diundang, sekalian memperkenalkan diri sebagai warga baru.

Seorang Ustaz turut diundang. Dan diakhir acara memberikan doa dan sedikit ceramah.

Tak hentinya rasa syukur aku panjatkan. Ada bening yang menyeruak di sudut mata. Akhirnya perjuangan panjang ini berbuah manis.

“Terima kasih, Mas.”

“Untuk apa?” Mas Rahman_suamiku, balik bertanya.

“Untuk perjuanganmu dalam menghadirkan sebuah rumah yang kini kita tempati ini.”

Kugenggam erat jemari Mas Rahman. Tangan kokoh itu sudah menjadi sandaranku, selama lima tahun terakhir.

Mas Rahman menatapku dengan senyuman khasnya. Senyum yang sedari dulu meluluhkan hatiku. Membuat aku mantap saat dia mengajak untuk menikah setelah setahun berhubungan secara backstreet. Padahal waktu itu belum punya kerjaan tetap dan tentu saja belum punya rumah.

“Setelah menikah kita mengontrak, ya, Mas. Aku nggak mau jadi benalu di keluargamu.”

Mas Rahman pun setuju dengan keinginanku.

Tak terasa setelah lima tahun mengontrak, sekarang sudah memiliki rumah. Meski tidak begitu besar, tetapi menjadi rumah impian untuk kami berdua.


Seminggu kemudian.

“Mas, di teras sini aku kasih tabulampot*, ya? Biar sejuk dan enak dipandang,” kataku keesokan harinya.

“Boleh, atur aja sesuai seleramu.”

“Oh, ya, satu lagi, di ruang tamu akan aku kasih rak khusus untuk koleksi buku aku, Mas.”

Mas Rahman mengangguk setuju dan menyerahkan semua tata ruang rumah padaku.

Saat sedang asik ngobrol berdua di teras, ada sebuah motor matic menepi. Setelah drivernya melepas helm, baru ketahuan siapa yang datang.

“Mbak Uni?” Aku berdiri menyambutnya.

“Maaf jadi nggak enak karena ganggu kalian, apa aku pulang aja,” kata Mbak Uni kikuk.

“Biasa aja kali, Mbak. Ayo masuk.”

“Iya, Terima kasih.”

Mbak Uni mengikuti langkahku ke ruang tamu. Satu set sofa berwarna cokelat susu menjadi pilihanku. Ada satu pot besar berisi bunga plastik di sudut ruangan. Kaligrafi bertuliskan ayat kursi tertempel di sudut kanan atas. Menghadirkan sisi religius di ruang tamu.

Mbak Uni pun duduk. Terlihat matanya menyapu pandang ke seluruh ruangan. Pandangannya pun terhenti pada rak buku yang aku jadikan sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga.

“Sudah nambah berapa biji nih koleksi novelnya, Mbak Nila?”

“Alhamdulillah nambah tiga, Mbak Uni. Satu karya penulis fenomenal dengan jumlah halaman lebih dari 500 lembar. Ke dua buku karya teman literasi yang menjadi juara dalam ajang menulis tiga puluh hari. Terakhir karya perdana aku yang menjadi sepuluh besar di platform menulis, yang kemudian di pinang oleh penerbit indi.”

Aku bicara panjang lebar. Bukan ingin menunjukkan siapa aku. Namun, aku sudah cukup bangga mendapat predikat penulis pendatang baru yang cukup fenomenal. Cerita aku sudah puluhan ribu dibaca dan sudah ada ratusan subscriber.

“Selamat Mbak Nila, atas pencapaiannya. Semoga semakin sukses. By the way, aku pinjem yang karya Mbak Nila dulu, ya. Soalnya penasaran sama tulisan sampean, pasti bagus.”

Aku pun mengambilkan sebuah buku dengan cover gambar rumah berwarna hijau army dan hijau muda.

“Ini untuk Mbak Uni. Aku kasihkan khusus. Tidak usah dikembalikan Mbak.”

“Beneran, Mbak!” kata Mbak Uni setengah berteriak antara senang dan kaget.

Aku mengangguk.

Dari dulu aku tahu Mbak Uni suka membaca buku. Semua buku yang aku punya pasti juga sudah di baca olehnya. Bukannya nggak ingin beli. Niatan beli buku untuk sekedar memenuhi hobi membaca selalu ada dalam hati Mbak Uni. Namun, kondisi ekonomi yang pas-pasan tak memungkinkan untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya. Akhirnya, dia cukup senang bisa meminjam novel punyaku.

Mbak Uni tampak antusias menerima buku yang aku berikan. Dia membaca halaman belakang dengan setengah berteriak. Sedangkan aku menggeleng pelan. Geli melihat tingkah Mbak Uni yang kadang masih seperti anak kecil.

Judul buku Rumahku Surgaku. Penulis Nilasari Rahman. Berkisah tentang perjuangan sepasang suami-istri, selama bertahun-tahun untuk mendapatkan sebuah rumah yang diimpikan. Hingga akhirnya Tuhan menjawab semua doanya. Rasa syukur tak henti mereka gaungkan. Semoga rumah yang dimiliki, bisa menjadi Surga di hati keduanya. Namun, ada satu impian lagi setelah mereka memiliki rumah. Yah, mereka ingin juga memiliki buah hati seiring perjalanan pernikahan yang sudah genap lima tahun. Baca kisah selengkapnya dalam buku ini.

“Sekali lagi terima kasih, Mbak Nila, atas pemberiannya. Sekalian aku pamit, mau baca buku ini.”

“Sama-sama, Mbak.”

Aku mengantar Mbak Uni yang melenggang sambil membawa buku karya perdana aku, dengan senyum yang mengembang.

)* tabulampot : tanaman bunga dalam pot

Magelang, 26 Juli 2021

Resep Serundeng
Tempe Goreng Sambel Kencur
Penjual Klepon
Desa Pancuranmas Dicanangkan Sebagai Kampung Bola dan Kampung Pancasila
Kejutan
Betty dan Cokky
Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)
Merdeka Belajar, Antara Idealisme dan Angan-angan

Terkait

Terkini