Sajak Edi Warsidi

14 Agustus 2022, 16:17 WIB

Cucu kepada Kakek tentang Pahlawan

”Kek, beceritalah untukku tentang kepahlawanan.”
”Tidak, Cucuku. Kakek bukan guru sejarah.
Takutnya cerita Kakek banyak salahnya.”
”Kek, berceritalah untukku tentang kepahlawanan.
Sebisanya saja, salah pun tak apa.”

”Kepahlawanan adalah sejengkal tanah yang diperebutkan.
Merah sebab basahan darah di atasnya.
Sepi karena ada banyak nyawa pergi dari raganya.
Kepahlawanan adalah keberanian dan pengorbanan.
Rasa sakit dan kematian yang taksia-sia.
Dikarenakan—jika Kakek tidak salah—
di sana ada kebebasan yang diperjuangkan.
Ada fitrah kemanusiaan yang dibela.
Ada amarah suci untuk tidak mengizinkan segala kelaliman …”
”Kek, ajari aku tentang penghormatan.
Jangan katakan takmau hanya karena Kakek bukan pemimpin umat.
Ajari, Kek. Ajari aku setahumu tentang itu …”

”Penghormatan adalah menundukkan kepala.
Kesedianmu mencatat nama-nama mereka, mengingat wajah-wajah keras mereka, dan memaklumi amarah suci yang memancar teratur dari mata mereka.

Penghormatan adalah keikhlasanmu menceritakan kembali jasa
dan pengabdian mereka. Akan tetapi, tidak cuma itu.
Dikarenakan—ah—semoga Kakek tidak berlebih-lebihan—sejatinya penghormatan adalah kesungguhanmu memelihara impian mereka.

Menjadikan nyata cita-cita mereka.
Tentang negeri adil-makmur aman-sentosa.
Tentang Indonesia Raya yang merdeka bangsanya, merdeka rakyatnya.
Sejatinya penghormatan adalah sumpahmu mengharamkan pendindasan.
Dari mana pun itu sebab kekuasan keji bangsa lain,
apalagi brutalnya bangsa sendiri …”

”Kek, ajari aku tentang penghormatan.”
”Berhormatlah engkau kepada pahlawanmu dengan acara sebisanya,
tetapi tidak dengan membunuh hak rakyat banyak. Membinasakah orang yang peduli dan mengabarkan suara dusta tentang kematiannya.
Mengisap tenaga, memeras keringatnya.
Lakukanlah dengan jalan apa saja, tetapi tidak menggusur petak-petak berteduhnya kaum miskin atas dalih pembangunan. Hargailah ladang pencarian mereka empat puluh perak semeternya.
Katakanlah penghormatanmu dengan suara apa saja, tetapi tidak dengan membukam kertas atau memberangusnya.
Bungkamlah mulut yang haus pengucapan,
memalsukan kepercayaan rakyat lewat
lembaga rakyat yang kau kendalikan…”

”Kek, ajari aku tentang peng …”

”Agungkanlah derajat para pahlawanmu, tetapi tidak cukup dengan hanya membangun monumen peringatan.
Semegah apa pun. Semewah apa pun, apalagi kau dirikan dengan uang haram sekian miliar. Menyita tanah tujuh hektare. Memamah ribuan truk bahan bangunan (ingin juga kuceritakan padamu, Cucuku tentang satu keculasan di sana: di saat datang masa kampanye pemilu yang sudah-sudah, sebuah partai meminta kerelaan kontraktor agar bersedia menyumbang dana.
Lebih dari semiliar jumlahnya. Sayangnya, off the record, kata sumbernya) …

”Kek, teman-teman bermainku pernah bertanya, adakah pahlwana sekarang?”
Agustus 2002

Terkait

Terkini