Sanjungan Batu Sandungan
Kecuali golongan sakit jiwa. Orang waras tidak bakal kecewa dengan kritik dan tak terlena dengan pujian. Pribadi yang berkemajuan akan dengan awas melihat sanjungan adalah sandungan.

Nusantarapedia.net, Jurnal | Humaniora — Sanjungan Batu Sandungan
“Memang bukan perkara yang gampang bagi seseorang untuk lapang dada saat menerima kritik dari orang lain. Apalagi jika orang itu sudah terlanjur akrab dengan lingkungan penuh kemunafikan. Jangankan kritik, untuk menerima saran yang nyatanya baik belum tentu serta merta diterimanya.”
SEBAGIAN besar orang memiliki kecenderungan senang disanjung. Bahkan, demi mendapatkan sebuah pujian tak segan mengeluarkan modal uang. Orang-orang golongan ini selalu mencari panggung yang tujuannya mendapat pujian, dan biasanya sensasional. Tetapi, sebenarnya yang dilakukan hanya untuk menutupi banyak kekurangan.
Dr. Denisa Libela Haimi, dalam milis yang dikelolanya mengatakan. Keinginan selalu dipuji adalah keadaan mental yang tanpa disadari ada pada diri setiap orang.
Menurutnya, sifat ingin selalu dibanggakan bermula dari kebiasaan para orang tua yang selalunya bertepuk tangan dan memberi pujian anaknya kala masih kanak dulu manakala berhasil mengerjakan sesuatu, seperti makan sendiri, terjatuh tidak menangis, benyanyi dan sebagainya. Sejak saat itu pujian menjadi sesuatu yang dibutuhkan.
Di masyarakat, beberapa orang dalam hidupnya ada yang candu untuk selalu menerima pujian. Tak sedikit orang haus pengakuan membanggakan dari orang lain. Pada orang yang terlanjur ketergantungan akan hal semacam itu. Sanjungan menjadi sesuatu termat utama daripada mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya.
Lantaran terlena dan hura akan puja-puji. Sehingga para pemburu sanjungan ini tidak menyadari ada bahaya kejiwaan yang mengintai dirinya.

Tentang hal itu seorang filsuf besar Islam, Imam al-Ghazali menuliskan dalam salah satu karyanya, kitab Al-Arba’in fi Ushul ad-Dien. Dia mengisahkan bahwa pada suatu kesempatan seseorang memuji sahabatnya di depan Rasulullah Muhammad SAW. Lantas saat itu Rasulullah bersabda, ”Celaka kamu. Kamu telah memotong leher sahabatmu.”
Betapa seriusnya bahaya sanjungan, sehingga Nabi menggambarkan dampak buruk perbuatan itu seperti menggorok leher. Jadi tak heran banyak ulama masa awal justru tidak senang dengan pujian meski memiliki segudang karya tulis dan mewarisi segunung ilmu pengetahuan. Mereka menyadari tak selamanya sanjungan itu menguntungkan.
Al-Ghazali juga mengungkapkan terdapat penyakit hati yang merupakan citra akhlak tercela, baik bagi orang yang memuji mau pun yang dipuji. Penyakit hati yang diidap orang yang suka memuji orang lain, menurut Ghazali, ia pastilah seorang bermental penjilat dan munafik.
Sedangakn orang yang girang atau kecanduan senang dipuji-puji rentan sekali terkena penyakit kejiwaan; sombong, congkak, riya, dan membanggakan diri sendiri.

Selaras dengan pendapat sang Hujjatul Islam. Dunia medis menggolongkan orang yang haus sanjungan termasuk dalam gangguan jiwa, dikenal dengan istilah “narcissistic personality disorder” (NPD).
Kecanduan pujian atau gangguan narsistik tak hanya berakibat buruk pada kesehatan. Lain dari itu juga dapat berpengaruh negatif terhadap kehidupan sosial seseorang; mengancam kondusifitas pertemanan, dan hubungan aspek lainnya.
Pasalnya, kebanyakan orang yang mengidap gangguan kejiwaan narsistik kerap merasa tidak bahagia dan sakit hati manakala tidak mendapatkan pujian atau apresiasi seperti yang diharapkan.