Sebuah Impian Dalam Keterbatasan

Mentari pagi ini mengintip dari balik sela-sela rumah gedek yang aku tempati. Sinarnya sedikit menyilaukan mata. Aku segera terbangun, melihat jam menunjukkan pukul enam pagi.

6 Juni 2022, 17:09 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sastra, Cerpen-fiksi — Sebuah Impian Dalam Kete

“Aku ingin jadi seorang Designer yang ….”

Belum selesai aku bercerita tentang cita-citaku, tawa gemuruh membahana.

“Hahaha, sok pengen jadi designer, emang bisa?” kata Helena, salah satu temanku yang memang sering merendahkanku. Dia memang terkenal tajir, berwajah cantik dan memiliki segalanya. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang cukup berpengaruh di kota Magelang.

Sementara aku?

Aku hanya seorang anak biasa yang banyak memiliki keterbatasan. Baik dari segi fisik maupun finansial, tapi tak bolehkan aku mempunyai cita-cita? Bukankan setiap orang berhak mempunyai harapan dan impian untuk masa depannya. Jadi, tak ada yang salah dengan cita-cita, harapan dan impianku. Semoga suatu saat nanti aku bisa jadi seorang Designer. Tak peduli cemooh orang-orang yang begitu merendahkanku, justru itu aku jadikan cambuk untuk melangkah maju ke depan.


Mentari pagi ini mengintip dari balik sela-sela rumah gedek yang aku tempati. Sinarnya sedikit menyilaukan mata. Aku segera terbangun, melihat jam menunjukkan pukul enam pagi.

“Mak, kok nggak bangunin aku sih?” tegurku pada Emak yang sudah sibuk di dapur.

” Habis emak kasian sama kamu, tadi malam kamu lembur untuk mengerjakan tugas kan? Pasti capek, jadi emak biarkan aja,” terang Emak.

Aku segera mencuci muka dan membantu emak di dapur, karena kebetulan aku lagi berhalangan, jadi tidak berkewajiban salat.

Emakku, di usia yang tidak lagi muda, setiap harinya membuat jajanan tradisional untuk dijual di pasar. Ada kue jongkong, klepon, tiwul, dan lain sebagainya. Aku sebelum berangkat sekolah selalu membantu Emak menyiapkan jajanan terlebih dulu. Kadang-kadang kalau ada temen yang pesen aku bawakan.

Sebetulnya aku ingin membantu emak jualan, tapi emak selalu melarang, katanya tugasku hari ini adalah belajar, biar masa depannya cerah, tidak seperti Emak yang hanya lulusan SD, dan bisanya cuma jualan kecil kecilan di pasar, yang kalau tidak habis akan dijajakan keliling komplek perumahan.

Semenjak Bapak meninggal lima tahun yang lalu, karena kecelakaan kerja yang dialami, Emak harus banting tulang seorang diri untuk menyambung hidup dan juga membiayai sekolahku. Aku bersyukur mempunyai emak yang tak pernah mengeluh akan hidup yang dijalani, meski kehidupan kami kadang jauh dari kata layak.

“Terima kasih, Mak.”


Tak terasa sudah tiga tahun aku menjadi siswi sebuah SMP favorit di kota Magelang. Saat perpisahan pun aku maju ke panggung untuk mendapatkan penghargaan sebagai siswa teladan, dengan nilai paling tinggi di kelasku dan menjadi lima besar diseluruh kelas. Aku bisa sedikit berbangga dengan hasil itu, mengingat background kehidupanku yang tidak sama dengan yang lain. Namun, dengan bekal nilai ujian yang cukup memuaskan, tak serta merta memuluskan jalanku untuk menggapai cita-cita.

Sebenarnya, cita-citaku sederhana saja?

Aku hanya ingin melanjutkan ke sebuah SMK favorit yang ada jurusan Tata Busana_nya. Yah, aku ingin belajar menjahit.

Namun, saat melihat rincian biaya yang harus dibayarkan untuk masuk ke sekolah itu, membuat aku menciutkan nyali. Besarnya nominal yang tertera mengubur semua impianku. Aku mundur teratur dan mencoba legowo menerima semuanya. Toh, aku tak mungkin memaksakan keinginanku pada Emak.

“Maafkan Emak kalau tidak bisa memenuhi keinginanmu, ya?” kata Emak penuh rasa bersalah.

“Nggak apa-apa, Mak nggak salah kok, besok Murni ambil kursus jahit aja,” jawabku menenangkan Emak, meski di hati ada rasa kecewa, tapi toh aku tak bisa menyalahkan siapa pun bila harus dihadapkan dengan kondisi seperti ini.

Kadang bayangan Bapak muncul dalam pikiranku.

“Ah, seandainya Bapak masih ada, pasti bisa membiayai sekolahku … .”

Segera kutepis rasa kecewa itu.


Di sekolah pun, aku menjadi bahan olok-olok teman yang memandangku dengan sebelah mata.

“Murni, besok kau mau melanjutkan ke mana, nih, selepas SMP?” tanya Helena mengejek.

Aku hanya bisa menggeleng lemah.

“Sok sok pengen jadi designer lagi, butuh biaya tahu!” sengitnya lagi tepat di mukaku.

“Sana, cari orang tua asuh dulu, biar bisa melanjutkan sekolah, tapi, itu juga kalo ada yang mau jadi orang tua asuhmu … Ha Ha …!”

Helena berbicara penuh ejekan padaku dan tertawa lebar menunjukkan kesombongannya. Entah kenapa, tak henti-hentinya dia merendahkanku.

“Lihat saja besok Helena, sebuah cita-cita bisa diwujudkan dengan kebulatan tekad,” kataku dalam hati dengan penuh keyakinan.


Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Melihat kondisi Emak yang sudah sering mengeluh capek, aku tidak tega bila menuntut untuk melanjutkan sekolah. Dan aku pun harus terima bahwa pendidikan terakhirku hanya sampai SMP.

“Coba bapakmu masih ada, tentu dia bisa mewujudkan keinginanmu…,”

“Sstt… Sudahlah Mak, ini semua bukan salah siapa-siapa, toh Murni juga bisa melanjutkan
kursus menjahit di LPK Mandiri. Bisa sekolah sampai SMP saja Murni sudah bersyukur,” kataku.

LPK Mandiri adalah sebuah lembaga pelatihan khusus yang hanya membuka kursus jahit menjahit dari tingkat dasar sampai tingkat mahir. Akhirnya aku pun membulatkan tekad, untuk menimba ilmu di sana, toh ilmu tak hanya didapatkan dari bangku sekolah, pikirku. Kebetulan lokasinya di desa sebelah, dengan sistem sekali berangkat sekali bayar itu lebih ringan masalah biaya. Pelajaran dibuka mulai pukul delapan sampai dua belas siang. Sore harinya aku masih bisa bekerja di sebuah laundry sebagai tukang gosok. Semua itu aku lakukan untuk mewujudkan cita-citaku. Hasil dari bekerja paruh waktu aku tabung untuk membeli mesin jahit.

Kulalui hari-hariku belajar jahit menjahit dengan serius, selama satu tahun kursus aku sudah lulus belajar. Dari kelas dasar menjahit sampai kelas mahir. Hasilnya pun cukup memuaskan. Mulai dari blus sederhana, rok, celana, kebaya dan jas sudah aku praktekkan.

Setelah lulus aku disuruh ikut mengajar dan membantu usaha jahit yang dikelola pemilik LPK, karena hasil belajarku yang lumayan bagus. Kuterima tawaran itu dengan senang hati.

“Sambil menyelam minum air,” pikirku.


Sepuluh tahun kemudian …

Hari ini aku patahkan anggapan orang-orang yang selama ini memandang rendah padaku. Alhamdulillah aku bisa membuka sebuah rumah jahit dengan namaku sendiri.

“MURNI TAILOR”

Sebuah plang berwarna putih orange terpasang di depan rumah sederhana yang aku tempati bersama Emak. Dulu rumahku masih gedek*. Alhamdulillah, sekarang dengan usaha kecil yang aku rintis dari nol, aku bisa membangun rumah dengan batu bata. Emak pun sudah berhenti berjualan karena fisiknya yang mulai renta.

Keterbatasan fisik dan keterbatasan materi tak serta merta menyurutkan langkahku untuk mewujudkan cita-cita. Aku selalu berprinsip usaha tidak akan menghianati hasil.

Syukur allhamdulillah, aku bisa menjadi juara satu dalam acara ‘merancang busana dari kain batik’, yang diadakan oleh Bapak Bupati. Meski hanya tingkat kabupaten, tapi ini adalah pencapaian terbesarku. Semoga bisa menyusul pencapaian yang lebih besar lagi ke depannya.

Aku semakin percaya diri untuk melangkah maju ke depan, karena sesungguhnya Allah menciptakan kelebihan dibalik kekurangan yang kita miliki. Tak ada jalan hidup yang selamanya lurus. Semua pasti mengalami manis pahit kehidupan. Ada fase di mana Allah menguji kita dengan cobaan, dan setelahnya akan memberi kita hadiah yang manis saat kita mampu melewatinya dengan sabar, iklas dan tawakkal.


Namaku Murniyati, seorang anak yang terlahir dengan keterbatasan fisik dan keterbatasan ekonomi. Dua hal yang dulu selalu membuat aku minder dalam bergaul. Namun, demi membahagiakan Emak, dan juga untuk meraih impian, aku terus melangkah maju ditengah cemooh dan pandangan miring orang-orang tentang fisikku.

Ya, Aku hanya memiliki tinggi 120 centi meter saja. Bisa dibayangkan, dengan tubuh setinggi itu tentu aku kesulitan untuk menjahit baju dan mengukur para pelanggan yang datang, kebanyakan dari mereka lebih tinggi dari aku. Pertama kali aku mengukur pelanggan yang datang dengan bantuan kursi. Mesin jahitku pun didesign khusus tanpa kaki meja.
Sekarang, di usiaku yang masih cukup muda, aku sudah memiliki beberapa karyawan. Semua ada tugas masing-masing. Mengukur, membuat pola rancangan dan menjahit. Semua sudah aku atur secara sistematis.


Pagi ini aku jalan-jalan keliling desa untuk sekadar mencari keringat. Aku terkejut, melihat seseorang yang dulu kukenal sedang menawarkan dagangannya.

“Krupuk… Krupuk ….”

Seketika aku teringat akan teman SMP_ku yang sering mengolok-olok aku, bahkan kadang memanggilku dengan sebutan ‘pendek’.

“Helena, kamu kah itu?” tanyaku meyakinkan.

Dia mengangguk lemah.

“Kok bisa?” tanyaku penasaran.

“Usaha ayahku bangkrut. Beliau meninggalkan utang banyak, sehingga semua aset disita pihak Bank. Dan aku harus memulai kehidupan dari nol,” terang Helena.

Kuajak Helena ke rumah, dia tampak terkejut melihat usaha yang aku miliki.

“Kamu hebat Murni, maafkan sikapku padamu di masa yang lalu, ya?” katanya penuh penyesalan.

“Nggak ada yang perlu dimaafkan, justru karena kata-katamu dulu, aku bisa seperti ini.”

Helena meneteskan airmata, kemudian memeluk tubuhku erat, meski untuk itu dia harus sedikit membungkuk. Sebuah kalimat penyesalan pun keluar.

Helena yang dulu angkuh pun kini hanya bisa tergugu dipelukanku.

Yah, sebuah impian dan cita-cita hanya bisa diraih dengan kebulatan tekad, usaha dan kerja keras.

Sekarang, aku membuktikan itu. Ditengah keterbatasan materi dan fisik, ternyata Allah tidak menutup jalanku untuk sukses. Impian itu sudah ada di depan mata, tinggal bagaimana mengembangkan usahaku ke depannya.

Alhamdulillah,
Terima kasih ya Allah,
Ku lantunkan syukur hanya pada Mu…

Magelang, 20 Januari 2022

)* rumah gedek : rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa.

Kerupuk Gendar
Mukena Untuk Emak
Olahan Jagung Manis
Rumahku Surgaku
Resep Bobor Sayur
Tilik Simbah-Milik Simbah, Borobudur Penjaga Identitas Kultural
Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya
Tradisi Nyumbang, Benteng Sosial Bagi Masyarakat
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati
Candi Barong, Local Content Bangsa Jawa
Candi Kalasan, Wujud Toleransi Masa Mataram Kuno

Terkait

Terkini