Sejarah Jalan Braga Paris Van Java, hingga Kebangkitan Pasca Pandemi Melalui Kolaborasi

Kiblat fesyen tersebut mengikuti mode fesyen di kota Paris. Barang-barang mahal dan mewah lainnya juga turut dijual, seperti jam tangan Swiss di toko Stocker. Juga dibukanya showroom mobil keluaran Eropa oleh perusahaan Fuchs & Rens.

10 Juli 2022, 10:10 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Tourism — Sejarah Jalan Braga Paris van Java, hingga Kebangkitan Pasca Pandemi Melalui Kolaborasi

Kota Bandung adalah ibu kota Provinsi Jawa Barat. Bandung adalah kota besar di Indonesia termasuk 10 besar bersama kota lainnya, seperti kota Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dlsb.

Bila kita jalan-jalan di kota Bandung, pasti destinasi yang satu ini tidak akan ketinggalan, yakni Jalan Braga. Kawasan Jalan Braga adalah jalan utama yang terletak di kota Bandung. Sejak era pemerintahan Hindia Belanda, jalan ini sudah digunakan sebagai kawasan bisnis dan pemerintahan dengan julukan “Paris van Java.”

Julukan “Paris van Java” sudah tersemat untuk kota Bandung sejak 1889-1904. Bandung sebagai Paris-nya Pulau Jawa karena sejarahnya menjadi pusat fesyen (gaya busana). Gaya fesyen Bandung sangat ke-Paris-parisan menjadi kiblat mode busana bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Era 1900-an terdapat sebuah toko busana bernama Aud di Jalan Braga. Toko tersebut menyajikan busana yang selalu trend dan dianggap kekinian.

Sejak saat itu dalam perkembangan dinamika di dalamnya hingga kini, tak heran Bandung tetap menjadi pusat mode, fesyen, gaya busana yang dianggap sebagai pelopor atau kelahiran desain-desain baru yang kreatif, inovatif, baru, modis, modern dan mewah. Terlebih saat ini, trend busana di Indonesia banyak dipengaruhi dari rule model Bandung yang lahir dari kreatifitas anak muda, UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), hingga perusahaan terkemuka.

Sejarah Singkat Jalan Braga

Jalan Braga pada awalnya disebut Pedatiweg. Pedatiweg dari asal kata pedati dan weg. Jalan ini awalnya dilewati oleh kendaraan pedati yang mengangkut hasil bumi seperti kopi, dengan kondisi jalan yang berlumpur. “Weg” dalam bahasa Belanda berarti “jalan” atau “jalanan”. Peristiwa ini terjadi saat diberlakukannya cultuurstelsel (Politik Tanam Paksa) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1831 sampai 1879.

Pada tahun 1882, Pieter Sitjhoff, Asisten Residen Bandung mengganti nama jalan Pedatiweg menjadi Bragaweg. Dan dimulainya pengerasan jalan dengan batu kali.

Di kawasan tersebut terdapat perkumpulan drama bangsa Belanda yang berdiri pada 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot. Di dalamnya ada seorang penulis naskah drama bernama Theotila Braga (1834 -1924). Oleh Pieter Sitjhoff, nama Braga diambil menggantikan nama Pedati.

Menurut Haryoto Kunto, penulis sejarah. Kata “Braga” berasal dari bahasa Sunda “Ngabaraga” yang artinya bergaya, nampang, atau mejeng. “Baraga” merujuk pada jalan di tepi sungai yang terletak di tepi Sungai Cikapundung.

Dalam perkembangannya Jalan Braga semakin ramai, terus berkembang menjadi kawasan bisnis. Toko kelontong (warenhuis) pertama kali di buka bernama De Vries di Jalan Braga. Toko yang di rancang oleh Edward Cuypers pada tahun 1909.

Dinamikanya, pembangunan infrastruktur dan utilitas kota lainnya terus berkembang, terutama di seputaran Jalan Braga dengan berdirinya restoran, bioskop, hotel, bank. Orang-orang Belanda mulai membuka kedai kopi dan toko pakaian.

Pada era ini bangunan yang terkenal adalah Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka) dan Hotel Savoy Homann, merupakan hotel kelas atas pada saat itu.

Jalan Braga terus berkembang, hingga membentuk kultur dan populer sebagai kawasan pertokoan mewah. Menjadi destinasi pilihan para terkemuka di Hindia Belanda. Puncaknya pada tahun 1920-an, Jalan Braga sudah menjadi pusat fesyen papan atas, terutama orang-orang Belanda se-Hindia Belanda.

Kiblat fesyen tersebut mengikuti mode fesyen di kota Paris. Barang-barang mahal dan mewah lainnya juga turut dijual, seperti jam tangan Swiss di toko Stocker. Juga dibukanya showroom mobil keluaran Eropa oleh perusahaan Fuchs & Rens.

Dalam perkembangannya, Jalan Braga sampai di era pergerakan kemerdekaan, kemerdekaan dan pasca merdeka, sudah membentuk sebagai kawasan pusat fesyen Hindia Belanda (Indonesia). Dan, kini di era modern, kaum millenial dengan kreatifitasnya mampu melanjutkan tradisi itu dengan membuka gerai-gerai mode, butik, counter, toko, dlsb, dengan aneka produk fashion. Mulai dari mode busana untuk remaja, ibu-ibu, muda dan tua, dengan spesialisasi tersendiri. Pakaian olahraga, jeans, sepatu, jacket, t-shirt, hingga pakaian etnik telah diproduksi dan di pajang di seluruh kawasan Bandung Raya.

Saat ini, terutama sebelum pandemi Covid-19, Jalan Braga adalah tempat nongkrong kawula muda, juga tujuan wisata dari luar kota se-Indonesia. Baik pelajar, organisasi, instansi, dlsb, pasti menyempatkan untuk jalan-jalan di kawasan Jalan Braga Kota Bandung.

Upaya Kebangkitan Jalan Braga Pasca Pandemi

Dalam keterangannya yang dirilis oleh Pemkot Bandung, Sabtu (9/7/2022), setelah wabah pandemi Covid-19 sempat membuat kota Bandung tertidur, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia. Untuk itu Pemkot Bandung dalam memasuki kehidupan normal, berupaya menjadi ‘Smart Village’ yang dapat dijual kepada wisatawan.

Dalam pengelolaannya, membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Hal tersebut diamini Lurah Braga Willy Wiradhika. Dirinya pun menggandeng beberapa elemen yang ada di wilayahnya.

“Sejauh ini kolaborasi di wilayah Braga tentunya berjalan baik sekali. Kami berkolaborasi tidak hanya dengan pemuda saja, tetapi ibu-ibu dan juga bapak-bapak pun sama,” ungkapnya.

Menurutnya, Braga merupakan salah satu muka Kota Bandung. Sehingga demi meningkatkan citra Bandung yang baik, maka kawasan Braga harus dikelola dengan baik.

Dengan kolaborasi, katanya, telah meningkatkan beragam aspek di Braga. Dari segi wisatanya, atas saran pemuda, kegiatan ‘Walking Tour‘ berjalan dengan baik. Pun, dari kewilayahannya juga dipercantik dengan berbagai mural.

“Di pemukiman Braga ini banyak sekali mural dengan ragam tema. Misal, pemukiman satu bertema perjuangan, lalu ada pepohonan, dan lain sebagainya. Itu pun hasil dari kolaborasi berbagai pihak,” jelasnya.

Rencana selanjutnya, Willy menginginkan adanya ‘barcode’ di depan gedung-gedung yang ada di Braga.

“Kami sedang mengupayakan optimalisasi digital. Inginnya, setiap gedung itu ada ‘barcode‘ yang dapat diakses siapapun untuk mengetahui sisi sejarahnya sehingga tetap memberi sentuhan edukasi di tengah rekreasi,” kata Willy.

Melihat potensi yang ada di Braga, Cofounder Rukun, Yuyus Hidayat meyakini dapat mewadahi potensi tersebut menggunakan aplikasinya. Hal tersebut akan menjadi peluang yang sangat besar.

“Mimpi besar rukun itu semua potensi yang ada di setiap wilayah dapat diketahui warganya. Terlebih di Braga itu sangat berguna untuk meningkatkan citra. Bisa dikolaborasikan dalam aspek pariwisata, ekonomi, sejarah, dan juga pendidikannya,” ujar Yuyus.

Hal tersebut dirasa sangat selaras dengan keinginan Willy. Ia berpikir di Bandung ini tidak akan kesulitan jika harus berinovasi.

“Saya yakin di Bandung ini tidak akan sulit jika akan berinovasi. Banyak sekali masyarakat yang kompeten di bidangnya. Tinggal bagaimana ide-ide keren ini terealisasikan dan didukung penuh oleh semuanya agar Braga dapat menjadi ‘Smart Village,'” tutur Yuyus. (zha)

(disarikan dari beberapa sumber)

6 Destinasi Wisata Instagramable di Kota Bandung Selain Pusat Kota
Membeli Pangan dengan Aman, Gunakan Mini Lab Food Security dan e-Wasmut
Curug Manglid, Pesona Alam Asri
HUT ke-50 Wayang Orang Bharata di Gedung Pertunjukan WO Bharata
50+ Destinasi Wisata di Sumatera Barat Yang Ikonik
Photorium Bukit Patrum, Bekas Tambang Gamping Kolonial Belanda
Pembangunan Labuan Bajo Harus Menyerap Aspirasi Daerah
Klaten Instrumen Bambu, Musisi Jalanan di Pojok Tugu Tenun

Terkait

Terkini