Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali (2)

Riyadloh merupakan latihan rohani dengan cara menyendiri untuk melakukan ritual ibadah atau amalan-amalan yang bertujuan menundukkan hawa nafsu (syahwat). Proses riyadloh dalam ilmu tasawuf disebut dengan ath-Thariqah.

1 Juni 2022, 20:58 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali

“Air yang dialirkan dari sumber air nge-Song ke sendang, melewati batu “Watu Singkal.” Jadi antara Sendang (situs), Watu Singkal, dan nge-Song merupakan satu kesatuan jalur lurus yang berjarak 1 hingga 1,5 kilometer. Air tersebut dimungkinkan dialirkan melalui pipa-pipa bambu maupun infrastruktur saluran air kuno.”

Masjid “Tiban” Keposong ini dinamakan Masjid Baitur Riyadloh. Secara etimologi, kalimat Baitur Riyadloh dari kata “Baitur” dan “Riyadha

Kata baitur dari asal kata bait:bayt:baitu:baitul:baitur yang artinya rumah: tempat:karena:suci. Kata riyadloh:riyadha berarti pengajaran dan pelatihan. Secara istilah, kata riyadloh artinya melakukan amalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah).

Riyadloh merupakan latihan rohani dengan cara menyendiri untuk melakukan ritual ibadah atau amalan-amalan yang bertujuan menundukkan hawa nafsu (syahwat). Proses riyadloh dalam ilmu tasawuf disebut dengan ath-Thariqah.

Dengan demikian, kalimat Baitur Riyadloh ditafsirkan sebagai rumah atau tempat yang baik dan suci untuk melakukan ibadah kepada Allah agar menjadikan hamba yang baik (penyucian) dengan latihan rohani berbentuk ibadah-ibadah untuk melawan hawa nafsu dengan tujuan mendapat kebaikan dan kemuliaan.

Dari etimologi nama di atas, ditarik kesimpulan bahwa tempat tersebut (masjid) pada awalnya adalah tempat khusus yang digunakan untuk olah spiritual. Dalam konsep pra-Islam dimaksudkan sebagai tempat pertapaan (pertapan), menepi atau “nepi.” Setelah menjadi konsep Islam, tempat yang sepi sebagai pertapan tersebut ditafsirkan (dibangun) sebagai masjid.

Dengan demikian, pemberian nama Baitur Riyadloh bukan tanpa sebab, terdapat hubungan antara masa sebelum Islam dan setelahnya, karena sebelum tempat tersebut berdiri sebuah masjid, sudah digunakan sebagai tempat pertapaan atau bahkan “patirtaan” untuk bertapa atau menyucikan diri pada era kerajaan Mataram kuno Hindu-Buddha.

Ketika masa berganti menjadi era Islam, definisi sebagai tempat yang sepi untuk olah spiritual (penggemblengan) tersebut kemudian dicari padanan artinya dalam konsep (bahasa) Islam, yakni riyadha atau riyadloh.

Duplikasi Tempat dan Peristiwa

Untuk diketahui bahwa, situs-situs yang ada di Indonesia, dengan teori-teori peradaban manusia, bahwa suatu tempat yang pernah di diami atau dipakai sebagai pusat kebudayaan manusia (masyarakat), terus dilestarikan atau dipakai dari generasi ke generasi sekalipun dalam era yang berbeda, terutama pada konsep religi (agama).

Generasi lanjutannya tinggal meneruskan ruang:space atau tempat tersebut sebagai pusat kebudayaan dengan diubah berdasarkan ideologi atau kebudayaan yang berkembang pada masanya. Contoh: Gaya arsitektur masjid saat ini dengan desain berbentuk kubah-kubah, awalnya adalah tempat ibadah gereja yang diubah menjadi masjid. Seperti yang terjadi di Kesultanan Ottoman Turki Utsmaniyah, karena sebelumnya dikuasai oleh pemerintahan Eropa dengan agama Christian atau Yahudi.

Sama halnya di Jawa, tempat seperti di Kedatuan (makam) Sunan Pandanarang Bayat, Ki Ageng Gribig Jatinom, atau Masjid Baitur Riyadloh ini, dahulu adalah tempat-tempat penting pada era pemerintahan kerajaan Mataram kuno Hindu-Buddha. Dari tempat berbentuk candi, pertapaan, pemujaan, patirtaan menjadi tempat ‘oro-oro‘, masjid, pondok pesantren, makam waliyullah, dlsb.

Berikut Analisa Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadho Keposong Berdasarkan Periodesasi Waktu

1) Situs Awal Keposong (919-924 M)

Pada abad ke-9 hingga 10 Masehi, Dukuh Keposong belum berdiri desa yang membentuk sistem sosial. Namun demikian, lokasi di sekitar masjid saat ini sudah digunakan sebagai tempat pertapaan atau petirtaan pada masa kerajaan Mataram kuno era kepemimpinan Dyah Tulodong (919-924 M). Artinya sudah ada mobilitas orang ke tempat tersebut, atau desa kuno yang sangat kecil.

Hal itu sejaman dengan keberadaan Candi Lawang, Candi Sari, Susuh Angin, juga Patirtaan Cabean Kunti di daerah Cepogo. Lokasi Dukuh Keposong merupakan jalur kuno yang terhubung dengan tempat-tempat tersebut sebagai tempat pertapaan, pemujaan, pendharmaan, cinandi (makam) maupun fungsi sosial lainnya.

Oleh cerita masyarakat setempat dan narasumber, lokasi berdirinya masjid terdapat “Sendang,” yang mana merupakan “sendang alam gaib.” Namun demikian, secara ilmiah sendang tersebut nyata adanya, hanya saja, karena debit airnya yang keluar kecil atau karena sudah tidak dirawat kemudian sendang tersebut menghilang oleh jaman, meski potensi air bawah tanahnya besar.

Analisanya, sendang tersebut tetap agung airnya yang berasal dari “Belik” sendang itu sendiri, juga disuplai air dari sumber mata air yang dinamakan nge-Song. Dari nama nge-Song tersebut yang selanjutnya menjadi nama Desa Keposong.

Dari sumber mata air nge-Song dan mata air “belik” itu sendiri, menjadikan tempat tersebut sebagai sendang yang airnya agung.

Air yang dialirkan dari sumber air nge-Song ke sendang, melewati batu “Watu Singkal.” Jadi antara Sendang (situs), Watu Singkal, dan nge-Song merupakan satu kesatuan jalur lurus yang berjarak 1 hingga 1,5 kilometer. Air tersebut dimungkinkan dialirkan melalui pipa-pipa bambu maupun infrastruktur saluran air kuno.

Mitosnya, sumber mata air nge-Song tersebut debit airnya sangat besar, karena air semakin tidak terkendali, dan mengancam keberadaan desa yang berpotensi akan menenggelamkan daerah tersebut, akhirnya sumber air nge-Song dimatikan dengan ditutup dengan “Gong.” Gong adalah instrumen gamelan yang ukurannya besar berbentuk lingkaran.

Pada situs-situs lainnya di Nusantara (Jawa), yang namanya suatu tempat yang di dalamnya terdapat mobilitas orang atau kehidupan (masyarakat), baik yang dibangun oleh kerajaan maupun oleh masyarakat, tetap tidak jauh dari unsur air, karena air merupakan sumber kehidupan. Seperti, Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom yang didirikan di pinggir sungai.

Dugaan tersebut terkorelasi dengan cerita masyarakat setempat bahwa di sekitar sendang (masjid) pernah di temukan arca dari batu. namun tidak jelas dimana keberadaan dari arca tersebut saat ini. Dengan demikian, tempat tersebut telah menjadi tempat pertapaan atau patirtaan pada era Mataram kuno sangatlah logis.

Namun demikian, “situs pertapaan sendang” yang saat ini sebagai Masjid Baitur Riyadloh, tidak sebesar pusat-pusat pemujaan seperti di Candi Lawang atau Patirtaan Cabean Kunti.

Untuk legenda batu “Watu Singkal,” yang mana batu tersebut berbentuk seperti alat bajak:luku:tenggala untuk fungsi membajak tanah, merupakan lambang kesuburan. Yang mana tempat tersebut sebagai tempat yang berada di lereng gunung Merapi yang subur. Oleh kebudayaan megalitikum Indonesia, simbolisasi kesuburan sering di simbolkan melalui benda-benda seperti batu Watu Singkal tersebut.

Oleh mitos masyarakat setempat, batu tersebut di huni oleh makhluk berbangsa jin dengan nama “Mbah Paiman Watu Singkal.”

Kesimpulannya pada periodesasi angka tahun ini, atau era raja Dyah Tulodong, Medang i Mataram (919-924 M) yang beribukota di daerah Prambanan, nama Song atau nge-Song telah muncul, tetapi belum lengkap menjadi nama Keposong.

Nama “Song” sebagai nama mata air telah lahir pada tahun 900-an Masehi.

2) Situs (Masjid) Nge-Song Pada Periode Tahun 929-1450 Masehi

Pada tahun 929 M, akibat bencana besar meletusnya Gunung Merapi dahsyat, mengakibatkan pusat ibu kota Medang i Mataram yang berada di sekitar Prambanan luluh lantak. Akhirnya, raja terakhir kerajaan Mataram kuno Mpu Sindok, memindahkan pusat kerajaan Mataram ke daerah Jawa Timuran, yakni daerah Wwatan (Magetan), yang selanjutnya melahirkan raja-raja Kahuripan, Kediri, Singasari hingga Majapahit.

Dampaknya, daerah-daerah sebagai pusat pertapaan atau pemujaan di atas menjadi menurun mobilitasnya, karena banyak juga kaum rakyat yang ikut pindah ke Jawa Timuran. Hal tersebut sedikit banyak turut mempengaruhi keberadaan pertapaan (sendang) di nge-Song.

Namun demikian, pertapaan sendang (masjid) ini, tetap digunakan untuk ritual pemujaan atau pun untuk mengambil manfaat airnya oleh sekumpulan orang-orang atau penduduk kuno setempat, meskipun ibu kota Medang i Mataram sudah pindah ke Jawa Timur.

Jadi, pertapaan nge-Song dari tahun 929 hingga 1450 Masehi, tetap berjalan seperti biasanya sebagai tempat pertapaan. Namun, sedikit demi sedikit justru jumlah demografi penduduk lokal atau orang dengan mobilitas kunjungan ke nge-Song terus bertambah karena laju pertumbuhan penduduk (orang).

3) Situs (Masjid) Nge-Song Pada Periode Tahun 1450-1620 Masehi

Pada periode ini, merupakan masa transisi atau peralihan dari kerajaan Hindu-Buddha ke kerajaan Islam, yaitu transisi kepindahan kerajaan Majapahit menjadi kerajaan Demak Bintara.

Pada masa ini, sebelumnya telah dimulainya suatu masa sebagai Politik Global Islam, yakni penyebaran agama Islam yang dilakukan menyeluruh ke berbagai penjuru dunia, terutama di wilayah Asia. Politik global Islam ini dilakukan oleh beberapa nasab para Habaib atau Wali yang berasal dari berbagai jalur kenasaban. seperti jalur Ahlul Bait Turki, Handramaut, Samarkand, Azmatkhan, Tionghoa/Ceng Ho, Maroko, India, dlsb.

Syekh Maulana Muhammad al-Maghribi, siar ke daerah Jawa (Ampel/Surabaya) sekitar tahun 1400-an dan meninggal tahun 1465. Syekh Maghribi merupakan wali pertama politik global Islam sejaman dengan Syekh Jumadil Kubro.

Dalam artikel penulis berjudul “Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam” bagian 1 – 5. Syekh Maghribi sendiri atau utusan dari Syekh Maghribi telah mengunjungi suatu daerah di lereng Merapi bekas wilayah kerajaan Mataram kuno. Wilayah tersebut yang selanjutnya di namakan daerah Ngibig atau Gribig dan Jatinom. Nama Jatinom muncul pada saat pemerintahan Mataram Islam Sultan Agung pada tahun 1620-an.

Utusan tersebut datang ke Jatinom pada sekitar tahun 1450-an, yang selanjutnya mendirikan semacam kekuasaan lokal yang dinamakan Kedatuan al-Maghribi, kemudian menjadi nama Ngibig dan Gribig dari asal kata Maghribi.

Jadi pada kisaran tahun 1450-an yang berkunjung ke Jatinom bisa saja Syekh Maghribi sendiri ataupun utusannya. Namun penulis meyakini bahwa yang datang adalah utusannya, yang mana salah satu muridnya yang selesai ditugaskan dari daerah “Ngibig” di Tuban Jawa Timur. Selepas siar dan dakwah di Ngibig Tuban, kemudian diutus untuk siar Islam ke daerah Jatinom. Kemudian tempat yang saat ini bernama Jatinom dinamakan desa Ngibig yang selanjutnya menjadi Gribig.

Sejak saat itulah (1450-an) berdirilah Kedatuan Gribig (Jatinom). Dalam perkembangannya, tugas dari Kedatuan Ngibig/Gribig/Jatinom, untuk siar dan dakwah Islam ke daerah-daerah pedalaman di wilayah bekas kerajaan Medang i Mataram tersebut. Salah satunya untuk mengunjungi tempat di pertapaan sendang nge-Song (masjid).

Kunjungan utusan dari Kedatuan Gribig ke pertapaan (sendang) nge-Song dilakukan berkali-kali yang berlangsung dari tahun 1460-1620 Masehi. Atau selama 180 tahun, Kedatuan Gribig berjuang untuk mengislamkan daerah nge-Song dengan pusat kebudayaan nge-Song di sekitar sendang (masjid tersebut).

Upaya meng-Islamkan nge-Song tidak mudah, dan sering terjadi pergolakan. Bisa dimaklumi karena nge-Song dengan pusat pertapaan di sendang (masjid) merupakan tempat yang sudah digunakan oleh kebudayaan Hindu Buddha-Jawa sejak tahun 900-an, atau selama 500 tahun tumbuh dan berkembang dengan ajaran Hindu-Buddha-Jawa yang kental.

(bersambung bagian 3)

Foto: ©2022/Npj/lipsus

Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali (3)
Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam (1)
Kedatuan Bayat Klaten dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno (1)
Simpang PB VI Selo, Patung Pakubuwono VI Simbol Perjuangan Melawan Belanda
Desa Wisata Lencoh Boyolali, Titik Pandang Indahnya Merapi
Ketep Pass, Paduan Sejuknya Wisata Alam dan Wisata Edukasi
Sejarah Kota Boyolali, Napak Tilas Perjalanan Ki Ageng Pandan Arang
Pesanggrahan Pracimoharjo Paras Boyolali, Miniatur Keraton Surakarta
Rawa Jombor Klaten ‘Bedugul van Java’, Pesona Wisata Air di Tengah Perbukitan
Primbon Komprehensif, 4 Tingkatan Hari Naas dan Cara Menghitungnya
Pulau Reklamasi Pesisir Jakarta

Terkait

Terkini