Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali (3)

Peristiwa berhasilnya siar dan dakwah Islam ke nge-Song dalam legenda ini, bila diilmiahkan terjadi sekitar tahun 1620-1640-an, yang mana pada saat kekuasaan Sultan Agung Mataram berjaya.

1 Juni 2022, 21:25 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali

“Selain itu, bukti hubungan Kedatuan Gribig dengan nge-Song pada era ini sudah terjalin dengan sering dikunjungi, berasal dari legenda masyarakat setempat dengan tokohnya Bagus Kentoling Alas. Kisah Bagus Kentoling Alas ini terlebih dulu ada sebelum kisah kemarahan wali yang dibohongi soal air wudu tadi.”

Upaya meng-Islamkan nge-Song tidak mudah, dan sering terjadi pergolakan. Bisa dimaklumi karena nge-Song dengan pusat pertapaan di sendang (masjid) merupakan tempat yang sudah digunakan oleh kebudayaan Hindu Buddha-Jawa sejak tahun 900-an, atau selama 500 tahun lebih tumbuh dan berkembang dengan ajaran Hindu-Buddha-Jawa yang kental.

Dengan demikian, penataan dan upaya dari Kedatuan Gribig dalam rangka siar dan dakwah ke nge-Song terutama di pusat kebudayaan nge-Song sendang (masjid), telah dilakukan oleh banyak utusan dari Ki Ageng Gribig I dan seterusnya hingga menemukan momentumnya (berhasil) meng-Islamkan nge-Song pada saat era Ki Ageng Gribig berporos pada Sultan Agung Mataram Islam di Kerta (Kota Gedhe), sekarang Yogyakarta, sekitar tahun 1620-1640 M.

Utusan dari Kedatuan Gribig ke nge-Song dilakukan oleh banyak tokoh-tokoh ulama, bahkan ada utusan waliyullah dari luar (asing) yang sudah pernah siar ke nge-Song, bisa juga waliyullah dari nasab Ahlul Bait, Handramaut, Samarkand. selain utusan dari ulama-umaro lokal yang ditugaskan ke ngeSong.

Kesulitan dan sering terjadi gesekan dalam meng-Islamkan daerah nge-Song sendang (masjid) ini, terkait dengan cerita tutur atau legenda masyarakat setempat.

Alkisah, ada seorang Waliyullah atau Sunan yang siar dan dakwah ke nge-Song. Wali tersebut mengetes ketulusan masyarakat (penduduk) setempat apakah sudah benar-benar bersedia untuk masuk menjadi Islam dengan ikhlas. Sang wali berpura-pura meminta air bersih untuk wudu. namun yang diberikan oleh penduduk setempat bukannya air bersih (suci), melainkan air kotor (najis) yang tidak bisa digunakan untuk bersuci. Atas kejadian tersebut, marahlah sang wali dan bersabda, bahwa sumber air nge-Song akan kosong selamanya.

Analisis dari legenda tersebut, diduga bahwa telah terjadi pergolakan antara masyarakat setempat atau para pertapa di pertapaan sendang (masjid) dengan para wali atau ulama yang ditugaskan ke nge-Song. Pergolakan tersebut karena sulitnya meng-Islamkan penduduk setempat karena masih kuatnya kultur Hindu-Buddha oleh penduduk nge-Song.

Namun akhirnya, seiring melemahnya kekuasaan Hindu-Buddha di Jawa, dengan semakin berkibarnya kerajaan maritim baru Demak Bintara dan runtuhnya Majapahit, akhirnya lambat laun Islam bisa diterima, sedangkan hegemoni Hindu-Buddha semakin melemah dan hilang.

Peristiwa berhasilnya siar dan dakwah Islam ke nge-Song dalam legenda ini, bila diilmiahkan terjadi sekitar tahun 1620-1640-an, yang mana pada saat kekuasaan Sultan Agung Mataram berjaya.

Setelahnya, pertapaan sendang (masjid) sudah tidak difungsikan lagi sebagai sarana ibadah para pertapa untuk fungsi pertapaan atau patirtaan, hanya sebagai fungsi pemenuhan kebutuhan air. Jadi, infrastruktur air pada situs sendang (masjid) sudah tidak dirawat lagi sejak tahun-tahun tersebut mulai 1620-an. Dalam pokoknya, sendang sebagai fungsi pertapaan ala Hindu-Buddha mulai dimatikan, sudah tidak terdapati praktik spiritual secara massiv. meski praktiknya hingga tahun 1960-an pun, masih banyak orang pendatang yang bersemedi di situs sendang masjid ini, bahkan hingga saat ini.

Selain itu, bukti hubungan Kedatuan Gribig dengan nge-Song pada era ini sudah terjalin dengan sering dikunjungi, berasal dari legenda masyarakat setempat dengan tokohnya Bagus Kentoling Alas. Kisah Bagus Kentoling Alas ini terlebih dulu ada sebelum kisah kemarahan wali yang dibohongi soal air wudu tadi.

Alkisah, Bagus Kentoling Alas adalah salah satu putra dari Ki Ageng Gribig dari “garwa selir,” istri kedua. Singkat cerita, Bagus Kentoling Alas meminta ijin kepada ayahandanya untuk menjadi imam di masjid nge-Song, namun karena usianya masih muda, Ki Ageng Gribig tidak mengijinkan.

Akhirnya Bagus Kentoling Alas tetap berangkat sampai ke nge-Song dan menjadi imam, namun tiba-tiba Bagus Kentoling Alas menghilang dan tidak pernah kembali lagi. Akhirnya tahu-tahu Bagus Kentoling Alas sudah berada di Cirebon, hingga akhirnya menetap dan meninggal di Cirebon.

Dari legenda tersebut bila dianalisis bahwa, nama Bagus atau sebutan gelar tersebut merupakan ciri nama yang digunakan pada jaman Jawa pertengahan di Demak hingga subur di masa Mataram Islam. Dengan demikian, kisah Bagus Kentoling Alas terjadi sekitar tahun 1600-an di nge-Song, sebelum Sultan Agung Mataram berkuasa.

Bahwa, legenda tersebut ditafsirkan sebagai penolakan dari penduduk nge-Song atas kedatangan Bagus Kentoling Alas dalam rangka siar dan dakwah Islam. Penolakan tersebut karena alasan kepahaman nge-Song yang masih menggunakan kepahaman lama. Yang mana pada tahun 1600-an wilayah pedalaman Jawa seperti di nge-Song ini belum sepenuhnya Islam, kecuali daerah-daerah di pesisir utara Jawa.

4) Situs (Masjid) Nge-Song Pada Periode Tahun 1620-1725 Masehi

Semenjak kerajaan Demak Bintara dan Pajang jatuh ke Mataram Islam, terutama pada saat kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah Mataram pada tahun 1613 hingga 1645 M. Poros dari Kedatuan Gribig tidak lagi berporos pada dewan kewalian di pesisir utara Jawa (Ampel, Giri Kedaton). Karena Sultan Agung sengaja mematikan dewan perwalian Islam guna kepentingan politik dan strategi kerajaan Mataram.

Dengan demikian, nama Kedatuan Gribig di ubah namanya dari nama tempat yang sebelumnya bernama Ngibig atau Gribig menjadi Jatinom. Sebelumnya, pada era ini, Sultan Agung yang bertahta pada tahun 1613, menemui Ki Ageng Gribig untuk memohon doa restu sebagai raja baru Mataram.

Semenjak era Sultan Agung ini, dibangun banyak infrastruktur dan utilitas kota di Kedatuan Gribig. dan awal mula dari tradisi sodaqoh apem atau sebaran apem ini, dimulai pada era Sultan Agung sekitar tahun 1620-an.

Di sinilah sejarah Masjid “Tiban” di mulai. Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam adalah salah satu dinasti atau wangsa pemerintahan yang cerdik. Cara mengelola rakyat dalam hal kepahaman atau budaya sangat mahir dilakukannya, termasuk penanggalan Jawa diciptakannya dari gabungan kalender Saka Hindu dan kalender Hijriah menjadi tahun Jawa. Termasuk meng-Islamkan penduduk Jawa pedalaman mahir dilakukan. Artinya, Sultan Agung berusaha menerapkan “Rekonsiliasi Kepahaman Spiritual.

Yaitu, dengan membangun dua masjid di Jatinom dan di nge-Song, dengan narasi sebagai “Masjid Tiban,” atas perintah Tuhan (Allah). Hal ini dilakukan sebagai strategi agar proses peng-Islaman dapat berjalan dengan lancar, cepat dan tidak menimbulkan dampak.

Alkisah, turun dari langit sebuah “Ndaru” atau “Wahyu” berbentuk “Mustaka” (bagian atap masjid atau kubah), sebagai simbol pendirian bangunan masjid. Wahyu tersebut jatuh di nge-Song (sendang) dan di kampung Padangan Jatinom. Wahyu “tiban” yang pertama turun di pertapaan sendang pada waktu masih malam, sedangkan wahyu “tiban” kedua, turun sudah dalam keadaan terang (padang). Kemudian, dari kata terang atau “padang” tersebut kemudian menjadi nama desa atau kampung “Padangan” di Jatinom.

Dengan demikian, sejarah kata “Tiban” atau Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh ini, dimulai pada era ini, dimungkinkan sekitar tahun 1620-an. Jadi proses pewahyuan Masjid “Tiban” yang awalnya belum dinamakan Baitur Riyadloh ini terjadi pada tahun 1620-an yang selanjutnya dinamakan Masjid Baitur Riyadloh oleh “Kyai Idris.”

Di Padangan, Masjid “Tiban” yang dimaksud adalah Masjid Alit di kawasan makam Ki Ageng Gribig Jatinom. Dengan demikian, usia Masjid Alit di Jatinom dan Masjid Baitur Riyadho berangka tahun sama, dibangun sekitar tahun 1620-an.

Kemudian, “Mustaka Tiban” yang dimaksud memang berujud benda, yaitu berujud “Mustaka” dalam bentuknya yang sederhana, terbuat dari material logam “Wesi Kuning“. Kemudian dari era ke era, “Mustaka” yang berbentuk seperti tombak besar tersebut dibalut lagi dengan “Mustaka” berbentuk gunungan (segitiga) hingga saat ini.

Bagaimana kini “Mustaka” tersebut, apakah asli atau duplikasi? akan dijelaskan di periodesasi selanjutnya.

Artefak lainnya hasil dari budaya pada masa ini, sepaket dengan “Mustaka Wesi Kuning” adalah “Tongkat Khotib Imaman“. Tongkat ini berbentuk tombak yang juga berwarna kuning emas. Sampai tahun 1940-an Tongkat Khotib Imaman yang asli masih ada, namun kini sudah tidak ada lagi. Yang digunakan saat ini adalah Tongkat Khotib Imaman duplikat.

Artefak asli lainnya yang saat ini masih tersisa yakni Batu “Watu Kemlasa Imaman.” Batu ini berbentuk lempengan besar yang difungsikan untuk “lemahan” atau dasaran atau sajadah untuk Imam ketika memimpin sholat berjamaah. Merupakan batu alami hasil bentukan alam.

Dilihat dari road map-nya jelas, batu tersebut merupakan batu petilasan sisa-sisa dari tempat pertapaan yang digunakan sejak era Mataram kuno raja Dyah Tulodong tahun 900-an di atas.

Kini posisi batu “Watu Kemlasa Imaman” posisinya tetap sama berada di lokasi pengimaman, namun sudah ditutup dengan cor dan keramik atau di kubur ke dalam tanah.

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa, hubungan Kedatuan Gribig Jatinom dengan Masjid Baitur Riyadloh ngeSong mencapai puncak keemasan pada periode ini, dari tahun 1620 hingga 1725, atau selama hampir 100 tahun terhubung dalam rangka eksistensi kekuatan politik dan sosial budaya dengan kebudayaan Islam yang membentuk dan terbentuk.

5) Situs Masjid Nge-Song Pada Periode Tahun 1725-1890 Masehi

Disinilah, era baru telah dimulai, yakni dimatikannya atau ditutup ruang geraknya pada Kedatuan Gribig Jatinom oleh VOC Belanda.

Diketahui, setelah Sultan Agung wafat, tahta Mataram dilanjutkan oleh putra mahkotanya, yaitu Amangkurat Agung atau Amangkurat I yang berkraton di Pleret (Bantul). Pada tahun 1680 kekuasaan Mataram jatuh ke tangan VOC .

Akibatnya, kerajaan-kerajaan di Jawa beserta seluruh isinya dikuasai dan dikendalikan oleh VOC. Peran raja sebagai “Kalifatullah Tanah Jawa”, perannya semakin dilucuti oleh VOC. Termasuk kedatuan-kedatuan, pondok pesantren, dan pusat-pusat kebudayaan Islam kewenangannya menjadi berkurang.

Dalam analisa penulis, Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom mulai dibekukan atau dikurangi ruang geraknya pada tahun 1725. Akibatnya, Kedatuan Ki Ageng Gribig sebagai pusat dan poros kekuatan Islam di daerah-daerah seperti di Masjid nge-Song pengaruhnya menjadi melemah. Dan, eksistensi keberlangsungan peradaban Islam pun tidak menampakkan ciri aslinya. Meski secara praktik terus berlangsung, namun dalam haluan dan greget yang sudah berkurang.

Pada era ini, hubungan antara Ki Ageng Gribig dengan Masjid nge-Song sengaja di jauhkan oleh VOC. Politik VOC secara langsung tidak merusak kebudayaan Islam di nge-Song, tetapi VOC memotong komunikasi antara Ki Ageng Gribig dengan Masjid nge-Song, dengan harapan agar keberadaannya melemah dan hilang dengan sendirinya, karena memutus hubungan bawahan dengan atasan. dalam hal ini hubungan Jatinom dan nge-Song.

(bersambung bagian 4)

Foto: ©2022/Npj/lipsus

Sejarah Masjid “Tiban” Baitur Riyadloh Keposong, Tamansari Boyolali (4)
Kedatuan Ki Ageng Gribig Jatinom Klaten dalam Historiografi Penyebaran Islam (1)
Kedatuan Bayat Klaten dalam Sejarah Geologi, Pusat Spiritual dan Inisiasi Industri, Bagian Metroplex Kuno (1)
Alun-alun dan Pergeseran Maknanya
Tradisi Padusan dan Pergeseran Nilainya
Sejarah Kota Boyolali, Napak Tilas Perjalanan Ki Ageng Pandan Arang
Pesanggrahan Pracimoharjo Paras Boyolali, Miniatur Keraton Surakarta
Simpang PB VI Selo, Patung Pakubuwono VI Simbol Perjuangan Melawan Belanda
Desa Wisata Lencoh Boyolali, Titik Pandang Indahnya Merapi
Ketep Pass, Paduan Sejuknya Wisata Alam dan Wisata Edukasi
Mbah Iko, Penjaga Literasi Kuno
Gondola Kaca dan Jembatan Gantung, Pesona Wisata Girpasang
50+ Tradisi Nusantara di Bulan Sya’ban dan Ramadan (1)
Pembukaan Pasar Wisata Pertapan Indrokilo, Berbasis Budaya dan Ekonomi

Terkait

Terkini