Sejarah Sistem Perekonomian Indonesia, Potret Perlawanan Kapitalisme
Awal abade ke-20, dimulainya penderitaan petani dan buruh. Eksploitasi besar-besaran terhadap dua kaum itu semakin menambah penderitaan rakyat. Akhirnya muncullah oposisi kaum sosialis yang cukup mempengaruhi kebijakan pemerintah Belanda kala itu.

Nusantarapedia.net — Sejarah Sistem Perekonomian Indonesia, Potret Perlawanan Kapitalisme
Menengok sejarah, perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan tatanan ekonomi yang menyejahterkan dimulai dengan system ekonomi liberal masa kolonialisme antara tahun 1830 – 1870. Meluasnya kapitalisme Eropa hingga benua Asia dan Afrika dalam bentuk kolonialisme ekspansif guna menguasai sumber-sumber alam, tenaga kerja yang murah juga untuk menguasai kesediaan tanah.
Eksploitasi sumber daya manusia semakin masif ketika ekonomi uang meluas, justru ketergantungan perekonomian kita pada colonial semakin menguat. Penguasaan tenaga kerja juga semakin tak terkendali hingga melebihi batas-batas kemanusiaan.
“Jadi prinsip-rinsip ekonomi Pancasila tidak boleh memperburuk nasib golongan lemah dan miskin, justru sebaliknya peningkatan mutu hidup golongan lemah dan miskin harus mengurangi dan bila mungkin meniadakan kesenjangan antara lapisan dalam masyarakat.”
Awal abade ke-20, dimulainya penderitaan petani dan buruh. Eksploitasi besar-besaran terhadap dua kaum itu semakin menambah penderitaan rakyat. Akhirnya muncullah oposisi kaum sosialis yang cukup mempengaruhi kebijakan pemerintah Belanda kala itu. Muncullah golongan-golongan Belanda, Hindia dan juga kelompok etnis politik. Kemudian tahun 1900 pemerintah Belanda memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik, akses pendidikan dan otonomi mengelola desa yang lebih besar.
Tak disia-siakan oleh pribumi, kesempatan memperoleh pendidikan, membuat putra putri pribumi belajar tentang dasar-dasar demokrasi barat, yang memang tumbuh bersamaan dengan kapitalisme dan liberalisme.
Setelah perang dunia pertama tahun 1914 -1918, pengendalian kapitalisme sudah mulai dijalankan. Terlebih setelah krisis ekonomi dunia, politisi dan pakar ekonomi Barat semakin yakin bahwa kehadiran pemerintah dalam mengawasi roda ekonomi sangat diperlukan agar kesejahteraan ekonomi rakyat merata.
Kebangkitan Nasionalisme
Bangkitnya nasionalisme bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme Asia. Dipimpin oleh para cendekiawan India, Jepang dan Asia Tenggara. Terlebih setelah perang Jepang-Rusia, dimana kemenangan satu bangsa Asia merupakan prestasi kemenangan sepanjang sejarah peperangan Asia waktu itu. Kemenangan ini berembus ke seluruh dunia dengan sangat cepat hingga bermunculan entitas-entitas nasionalis sebagai awal semangat nasionalisme bangkit, lahirlah Kuomintang, Sarekat Islam, congres party, dsb.
Nasionalisme masuk dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosialhampir di seluruh daerah jajahan di Asia dan sedikit banyak merangkul sosialisme. (Tjondrongoro, 1996, Wertheim, 1959).
Di Indonesia, pendekar-pendekar nasional kita seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ir. Maruto Darusman, Syahrir dan masih lebih banyak lagi menggali nilai-nilai keadilan, kesamarataan, kesejahteraan rakyat dan sebagainya karena suatu proses yang mengakar terhadap penjajahan dan ketidakadilan. (Blumbergerm, 1931, Rutgers, 1937).
Setelah perkembangan ekonomi tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diidamkan, dan masalah pertanahan juga tak berhasil dipecahkan, dicarilah jalan keluar yang lain. Sistem ekonomi yang antara 1958-1965 cendderung tertutup untuk modal asing dibuka kembali dan dengan ketenangan/stabilitas politik tatanan ekonomi dapat diatur kembali dengan bantuan Bank Dunia dan negara-negara di luar blok Sosisalis.
Pertumbuhan ekonomi meningkat juga karena sektor swasta diberi peluang lebih besar disamping BUMN, tetapi dalam periode Orde Baru setelah kita menghadapi pasaran dunia yang semakin terbuka ternyata BUMN semakin tidak sffisien dan kurang mampu menunjang kesejahteraan yang lebih merata.
BUMN yang dimodali pemerintah mampu menumbuhkan suatu lapisan menengah, tetapi seberapa jauh mereka juga menunjang perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan sehat masih sangat dipertanyakan.
Dari latar belakangnya dapat disimak bahwa gerakan kooperasi lahir dari keinginan meningkatkan kesejahteraan jutaan pengusaha semasa Sarekat Islam (1912), bahkan sebelumnya.
Dalam gerakan ini memang ada unsur politik juga, ialah lebih membantu masyarakat pribumi dan ikatan melalui agama Islam.
Pecahnya Sarekat Islam menjadi ‘Merah’ dan ‘Hijau’, menunjukkan betapa ideologi sosialis, yang berpihak pada rakyat kecil, mewarnai unsur politik tadi.
Setelah Indonesia merdeka kooperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia dan ideologi Pancasila pun sudah sepenuhnya menggarisbawahi anggaran dasar tersebut. (Hatta, 1962). Sejak tahun 1980 bahkan didirikan suatu Departemen Koperasi secara khusus, karena sebelumnya masih digabung dengan Departemen Transmigrasi, yang sebagai diketahui, membantu golongan petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Ini satu jenis distribusi tanah pertanian berskala relatif kecil.
Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau pasaran antara lain karena turut pedagang perantara.
Ada kalanya pula pemerintah terlalu memanfaatkan koperasi sebagai satuan usaha ditingkat bawah untuk melaksanakan program pemerintah. Misalnya diawal tahun 1960-an dalam program Bimas. Manajemen ditangan lurah tidak selalu baik dan pilihan komoditi padi sebagai usaha koperasi belum tentu tepat. Akhirnya koperasi dirasakan sebagai paksaan sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah menjadi BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Sampai sekarang pun, setelah 30 tahun pembangunan, koperasi bertambah jumlahnya, tetpai bukan effisiensinya, dan akibatnya kesejahteraan rakyat belum terangkat dengan koperasi.
Kemiskinan Berkurang
Menurut angka-angka Statistik berbagai sumber kemiskinan telah berkurang secara spektakuler sejak 1970-an dan kita bersyukur ada proyek-proyek yang dapat menarik tenaga kerja cukup banyak. Faktor lain adalah ketersediaan kredit (KUK, KIK, KMKP dll), tetapi semua itu dalam rangka industrialisasi dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi belum mampu mencapai Full employment. Definisi pengangguran terbuka BPS tidak realistik ataupun manusiawi, dan definisi pengangguran terselubung yang lebih realistik melahirkan presentase yang tinggi, serta akan bertahan kalau tidak meningkat sampai tahun 2019.
Setelah kemiskinan di tekan sampai 11% (22 juta orang) di Pelita VI, mencapai golongan miskin yang tersebar dan merupakan inti (care poverty) semakin sulit. Pemberian kredit saja mungkin belum cukup untuk mengentaskan kemiskinan, mungkin sebagian tetap pharus disubsidi oleh pemerintah mengingat bahwa persaingandiberbagai sektor ekonomi akan bertambah tajam. Subsidi pemerintah bagi simiskin sebenarnya adalah proteksi terhadapnya.
Ekonomi Pancasila dan Berbagai Liberalisasi
Yang menjadi pertanyaan; prinsip-prinsip dasar apa yang perlu melandasi Ekonomi Pancasila agar mekanisme pasar dalam Ekonomi Liberal dapat dikendalikan demi melindungi si miskin?
Jawabannya sebenarnya adalah Welfare State dengan ekonomi yang terkendali melalui: Sistem perpajakan yang progresif, pembagian asset yang lebih merata, menciptakan kesejahteraan kerja yang memadai, dibantu public invesment bila perlu, tingkat upaya/gaji yang mencukupi, dan semua itu tentu bersendi pada sistem hukum. Sistem monopoli, oligopoli dan sebagainya tak dibenarkan agar kesenjangan sosial tidak melebar.
Semua faktor yang disebut di atas rupanya belum atau baru sebagian terwujud, sehingga Ekonomi Pancasila rupanya harus mampu merealisasikan idam-idaman tersebut dalam suasana/sistem liberalisasi global. Apa yang harus dilakukan untuk merubah sistem ekonomi dewasa ini, itulah sudah menjurus ke arah pembangunan Ekonomi Pancasila.
Pertumbuhan ekonomi harus diiringi dengan industrialisasi, dimana ada keseimbangan antara sektor industri padat modal dan industri padat karya, mengingat bahwa tingkat teknologi yang mampu kita serap maupun kualitas sumber daya kita dewasa ini masih perlu ditingkatkan. Sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untukmengurangi pengangguran pada umumnya. Menurut proyeksi Aris Ananta (1995) pengangguran kita masih akan bertambah sampai tahun 2020.
Kalaupun pemerataan belum sepenuhnya tercapai keadaan Full employment (4% pengangguran, berdasarkan definisi yang manusiawi), akan mengurangi kesenjangan, meningkatkan produktivitas pada umumnya dan mempertebal rasa keadilan dalam masyarakat.
Konsep Welfare State tampaknya lebih mencerminkan sasaran yang diunggulkan dalam Negara Pancasila. Karena itu selama liberasisasi global yang dewasa ini berkembang sejalan dengan Welfare State, tampaknya masih dapat kita terima.
Individu dan persaingan bebas yang tajam, semata-mata mengikuti hukum pasar seperti yang dikenal dalam tahap kapitalisme, sangat berlawanan dengan dasar-dasar Ekonomi Pancasila.
Ekonomi Rakyat
Lebih dari setengah abad setelah Indonesia merdeka rakyat kecil yang relatif merana itu masih berjumlah puluhan juta orang masih lebih dari penduduk Malaysia, hampir setengah penduduk Thailand dan sebagainya, dan merekalah yang ingin kita bantu. Dalam periode yang sama juga sudah tumbuh suatu golongan konglomerat, yang lebih gembira menyambut Era Globalisasi, dan kurang mempedulikan nasib rakyat kecil.
Keadaan ini yang ingin kita ralat, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, pemerataan, mitra kerja, sejajar dan sebagainya. Caranya, sebagian telah dikemukakan tentu melalui sistem hukum, sistem pajak, yang progresif, perluasan kesempatan kerja dan cara-cara lainnya yang sesuai dengan proses demokratisasi menuju masyarakat modern (civil sosiety). Dalam ekonomi klasik abad ke-18 pun sebenarnya prinsip-prinsip tersebut sudah dikemukakan oleh John Stuart Mill dan John Locke. Variant ekonomi kapitalisme gaya A. Smith atau R. Malthus, yang dapat ditarik ke gagasan Alfred Marshall seabad kemudian, tampaknya tidak serasi dengan pengertian globalisasi abad ke-21 nanti.
Tahap pengentasan kemiskinan yang kita masuki dalam menghapus core poverty tampaknya tetap tidak bisa mengesampingkan peranan pemerintah, bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai pemberi kredit, bahkan subsidi untuk jangka waktu lebih dari satu-dua masa Pelita.
Jadi prinsip-rinsip ekonomi Pancasila tidak boleh memperburuk nasib golongan lemah dan miskin, justru sebaliknya peningkatan mutu hidup golongan lemah dan miskin harus mengurangi dan bila mungkin meniadakan kesenjangan antara lapisan dalam masyarakat. Keadilan dan pemerataan kesejahteraan akhirnya adalah terwujudan Demokrasi Pancasila. Inilah suatu alternatif baru terhadap Demokrasi Barat, apabila kita berhasil menciptakannya. Singkatnya bila Ekonomi Pancasila mencakup prinsip-prinsip dasar, Ekonomi Rakyat adalah pengejawantahan dan operasionalisasinya sehingga ketimpangan dan kesenjangan antara lapisan sosial ditiadakan. (Sediono MP Tjondronegoro, 2000)
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (1)
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia