Sejarah TNI dalam Linimasa, Penjaga Kedaulatan Negara, Politik Praktis dan Refleksi
Perjalanan ABRI pada era 90-an telah diwarnai isu adanya kelompok-kelompok yang turut tersandera dalam kepentingan ideologi/kepahaman. Disebut dengan ABRI Merah, ABRI Putih dan Hijau
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Sejarah TNI dalam Linimasa
“Dengan demikian, TNI saat ini sebagai bagian yang sangat penting dalam keutuhan NKRI, agar terus untuk menjadi TNI yang benar-benar bisa menempatkan pada peta IPOLEKSOSBUDHANKAM Indonesia, yaitu bagaimana TNI bisa memposisikan secara tepat berada di wilayah pemerintahan, ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.”
HARI ini 5 Oktober 2022, Tentara Negara Indonesia (TNI) tepat berumur 77 tahun. Dihitung dari berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tahun 1945, dari keberadaan sebelumnya berupa Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Tentu usia TNI yang juga seusia umur negara Indonesia telah berbuat banyak untuk negara sesuai fungsinya sebagai penjaga kedaulatan Indonesia. Terlepas dari dinamika kiprah TNI dalam linimasa sejarah TNI yang terang dan gelap, terutama dalam konteks pertahanan dan keamanan negara, maka TNI didefinisikan sebagai institusi yang mengandung nilai-nilai pengabdian dan kepahlawanan.
Meskipun dinamika tersebut dalam posisi TNI yang benar dan salah, baik atas nama institusi maupun oknum (personal), menjadi hal yang wajar selama 77 tahun, asalkan kemudian niatan untuk terus menuju TNI yang ideal terus dilakukan.
Terseret dalam kepentingan politik, sering nampak di dalamnya, bahkan TNI secara resmi pernah berada di politik praktis saat pemerintahan orde baru dengan dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). ABRI turut menjadi pengambil keputusan di DPR (ranah legislatif) dalam kapasitasnya sebagai Fraksi ABRI.
Sebelumnya, pada peristiwa G/30/S/PKI 1965, TNI/ABRI dituding turut serta dalam peristiwa pemberontakan tersebut. Apakah kala itu posisinya sebagai pihak yang benar atau salah, alat kekuasaan atau murni manuver di tubuh ABRI, peristiwa G/30/S/PKI sendiri masih bias, tidak jelas bagaimana sebenarnya peristiwa itu terjadi.
Pada saat runtuhnya Orde Baru, diduga TNI ikut bermain di dalamnya, meskipun tidak tampak jelas dibuktikan bahwa ABRI kala itu turut menggulingkan kekuasaan dengan “kudeta militer”, namun dari manuver yang dilakukan oleh oknum-oknumnya nampak jelas bahwa di situ ada permainan ABRI dari sisi personal (oknum) dalam kepentingan masing-masing. Hingga kemudian isu-isu pelanggaran HAM masih belum menunjukkan sisi terang hingga kini.
Peristiwa 65 dan peristiwa lengsernya Soeharto, merupakan dua peristiwa besar yang dialami TNI telah berada di pusaran kekuasaan yang tidak netral sesuai dengan fungsinya.
Selain itu, perjalanan ABRI pada era 90-an telah diwarnai isu adanya kelompok-kelompok yang turut tersandera dalam kepentingan ideologi/kepahaman. Disebut dengan ABRI Merah, ABRI Putih dan Hijau. Dengan adanya pelabelan tersebut dibaca telah terjadi rivalitas di tubuh ABRI dengan poros-poros kekuatan masing-masing dari lingkaran kekuasaan maupun kekuatan di luar kekuasaan/organisasi.
Dalam konteks kekinian, TNI sudah jauh lebih baik, baik dari sisi organisasi, struktural maupun personal. Tugas yang diemban TNI dalam menjaga keutuhan/kedaulatan wilayah NKRI sudah sangat baik. Hanya saja masih ada beberapa hal yang perlu dijadikan refleksi dalam HUT (Hari Ulang Tahun) TNI yang ke-77 ini.
Seperti contoh kasus yang dilontarkan oleh Effendi Simbolon Anggota DPR RI kepada Panglima TNI, meski kemudian Effendi telah meminta maaf, bahwasanya “ada asap ada api”. Artinya dugaan hubungan tidak harmonis atau rivalitas di tubuh TNI, misalnya antara Panglima dan KSAD tidak harmonis, itu ada benarnya secara kultural. Dengan demikian, kesimpulannya bahwa di tubuh TNI pun tidak hanya Polri, butuh perbaikan struktural untuk memperbaiki hal kultural.
Pada ranah eksekutif dalam hal tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, hendaknya tubuh TNI benar-benar netral bila sudah memasuki wilayah politik, terlebih bila sudah ada institusi/lembaga yang menanganinya. Seperti contoh oknum anggota TNI yang terlibat dalam penurunan spanduk organisasi massa, entah itu perintah dari pimpinan maupun kesatuan.
Kemudian, yang trending di Twitter, ketika oknum anggota TNI ikut mengamankan pertandingan sepakbola antara Arema Malang vs Persebaya Surabaya yang kemudian berujung “Tragedi Kanjuruhan”, telah ternodai dengan oknum aparat TNI yang melakukan tindak kekerasan terhadap suporter. Hal tersebut perlu untuk dievaluasi lagi, bagaimana SOP-nya bila TNI diperbantukan dalam event seperti sepak bola tersebut.
Selain itu, ada hal yang perlu dievaluasi kembali dari evaluasi yang dilakukan oleh Panglima TNI Andika Perkasa, yaitu soal penurunan tinggi badan masuk anggota TNI, dari tinggi badan 163 sentimeter menjadi 160 sentimeter untuk putra, dan calon taruna putri dari 157 sentimeter menjadi 155 sentimeter. Hal tersebut menurut hemat penulis untuk dikaji ulang karena pelaksanaan tugas pokok seorang prajurit dalam wilayah militer.
Saat ini menyangkut anggaran TNI yang berada di wilayah Kementerian Pertahanan, itu sudah tepat. Antara TNI dan Kementerian Pertahanan sebagai mitra terdapati keseimbangan sebagai fungsi kontrol cheks and balances.
Kemudian, secara kultural TNI sudah tidak nampak lagi diskriminasi pada jabatan petinggi TNI yang berasal dari salah satu matra saja sebagai anak emas, melainkan jabatan strategis TNI sudah digulirkan merata di ke tiga Matra, yaitu Angkatan Darat, Laut dan Udara. Sejarahnya, ini dimulai oleh Presiden Gus Dur ketika mengangkat Laksamana Widodo AS sebagai Panglima TNI.
Dan masih banyak lagi yang perlu diperbaiki oleh TNI, baik secara struktural maupun kultural, juga prestasi yang telah ditorehkan oleh TNI kepada negara.
Dengan demikian, TNI saat ini sebagai bagian yang sangat penting dalam keutuhan NKRI, agar terus untuk menjadi TNI yang benar-benar bisa menempatkan pada peta IPOLEKSOSBUDHANKAM Indonesia, yaitu bagaimana TNI bisa memposisikan secara tepat berada di wilayah pemerintahan, ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.