Selamat Natal dan Tahun Baru (2024/2025)

15 Desember 2024, 15:25 WIB

“Semoga kita semua selalu dalam perjumpaan kemanusiaan” (ASM)

KITA menantikan dengan penuh pengharapan, bahwa era Society 5.0 itu benar-benar nyata (keniscayaan), hadir atas nama kesetaraan manusia. Era di mana “masyarakat super pintar” dalam hubungan yang linier dan ideal antar manusia/entitas/bangsa di tataran universal.

“Pintar” yang dimaksud bukan dalam konteks perangkap budak digitalisasi dan pencapaian bidang teknologi, atau atas nama intelektualis namun sempit, pongah, nan pandir. “Pintar’ yang diharapkan, menjadi pribadi yang berintelektual dan berspiritual, atau menjadi “sarjana kang martapi”. Maka sesuatu yang ditafsirkan sebagai buah dari prestasi atau pencapaian tertentu tidak dianggap/dikesampingkan, bila nir kemanusiaan.

Maka dari itu, segala bentuk aktivitas manusia seyogyanya berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan (humanity/humaniora) yang benar-benar jernih.

Seperti dalam konteks spiritual, bahwa perjumpaan kemanusiaan itu menjadi yang lebih utama, bukan dipandang atas nama dogma tertentu, atau primordialisme yang sempit, yang lantas mengubur nilai kemanusiaan itu sendiri.

Dalam konteks kehidupan-penghidupan duniawi, menjadi manusia yang agony nan materialistik dengan ego keduniawian, yang seringkali menabrak kaidah kemanusiaan, termasuk menimbulkan problem ekologi, seharusnya mulai dihentikan dengan jalan kesadaran. Kesadaran diri, bangsa dan negara (individu dan kelompok).

Apalagi dalam konteks penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, bahwa atas nama kesetaraan manusia adalah bicara soal keadilan. Esensi didirikannya negara adalah untuk melayani hajat hidup rakyat sesuai dengan hak kodratinya. Negara itu mandatory, atau mandatory spending dalam tata kelola administrasi. Yang perlu dipahami, diimplementasikan dan diwujudkan adalah: tujuan konstitusional itu sejatinya adalah tujuan kemanusiaan, maka perbedaan pendapat atas hegemoni kepentingan, bersumber dari, seperti; “keserakahan”.

Untuk itu, negara ini butuh gerakan sosial atau gerakan peradaban, gerakan “cancel culture” yang dimulai dari para penyelenggara hingga rakyat di dalamnya untuk merevolusi mental, yang mana berkaitan dengan nilai-nilai etik (moral clarity). Maka, sifat dan watak “kecendekiawanan” itu harus menyanubari pada setiap insan, terlebih bila dalam posisi punya “privilege” tertentu, seperti; para penyelenggara negara, tokoh spiritual, akademisi, intelektual, dan semuanya.

Dengan demikian, manifesto kebangsaan, negara, bahkan lintas keyakinan, ideologi-politik, dan semua sumber big data ilmu pengetahuan kehidupan, adalah alat menuju kesetaraan. Di situlah keadilan sosial akan terwujud, di situlah atas nama kemanusiaan terukir, atas (hak/kodrat) penciptaan manusia itu sendiri. (ASM)

AddText 12 15 11.04.25

Bhre Ari Koeswanto ASM | founder media Nusantarapedia Journals

B Ari Koeswanto ASM

Terkait

Terkini