Semangat Kebangkitan Nasional, Sesemangat Menahan Laju Kebangkrutan
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Semangat Kebangkitan Nasional, Sesemangat Menahan Laju Kebangkrutan
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Ibnu Khaldun (1332-1406) seorang historiograf mengatakan, ‘Di antara tanda sebuah negara akan hancur adalah semakin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut ke rakyatnya'”
NAMPAKNYA, penumbuhan kesadaran untuk merubah nasib bangsa tidak hanya berlaku saat era kebangkitan 1908, saat ini pun penumbuhan kesadaran terus diparadekan kepada rakyat, yang mana rakyat selalu diposisikan sebagai obyek marginal yang perlu “diangkat segalanya”. Cilakanya nich, rakyat dengan “gulung komingnya” sudah tersadar mengangkat dirinya sendiri, sedangkan yang memparadekan — yang itu seharusnya bertindak sebagai poros cendekiawan, tak lain adalah para penyelenggara negara, justru abai. Meski begitu, kita hargai semangatnya yang tampak sibuk dengan parade seremoni tahunan belaka, atau sibuk dengan urusan kepentingannya yang sudah “selingkuh” dengan para borjuis sang pemilik kapital. Lupa tujuan utamanya!
Jika waktu itu kesadaran timbulnya semangat kebangkitan karena keterbelengguan akan hak hidup yang telah dirampas oleh “kolonial” atas hak kodrati — hak penciptaan, melekat beserta sumber daya alamnya, semestinya saat ini pun juga tetap sama, sebagai kesadaran atas cita-cita konstitusi. Sayangnya, alih-alih — seolah-olah menjaga nyala perjuangan menuju tujuan, yang itu semakin impossible dicapai, justru daya upaya dilakukan sedemikian rupa agar negara ini tidak bangkrut terlebih bubar. Petanya itu di sini, bertahan saja, ibarat fenomena”gunung es”, bukan tujuan ngayawara Indonesia Emas 2045, dari mana peta jalan itu.
Dengan begitu, masihkah ada yang kita harapkan lagi, jika semangat kebangsaan — daya upaya rakyat yang “niba tangi” untuk sekadar hidup saja, tak lagi linier dengan keberadaan negara yang tugas utamanya harusnya bertindak sebagai mandatory. Mengingat, sumber daya alam yang melimpah sudah semakin menipis akibat penguasaan dan konsesi yang ugal-ugalan. Pada bagian yang mana lagi harapan itu ditumbuhkan! Sadari ya, bahwa bangsa (rakyat) adalah subyek, sedangkan negara adalah alat, bukan sebaliknya, yang mana mindset keterbalikan itu menjadikan praktik penyelenggaraan yang “kwalik-kwakik”, rakyat yang seharusnya dilayani justru melayani. Di atas cilaka, telah terjadi praktik market society, obyek perahan pelaku praktik liberal-kapital oleh oligarki-globalis, bersama oknum pejabat yang “nyambi” sebagai pengusaha kakap.