Sementara Gugatan PT 0% Berakhir, Akankah Muncul Gugatan Baru Selanjutnya

PT sebesar dua puluh persen tersebut dapat diturunkan dengan adanya angka yang rasional dan proporsional pada ambang batasnya, yakni dari PT 20% kursi DPR menjadi dalam interval sebesar 7-9% kursi DPR.

9 Juli 2022, 17:42 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Sementara Gugatan PT (presidential threshold) 0% Berakhir, Akankah Muncul Gugatan Baru Selanjutnya

“Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, keduanya menyampaikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion.”

“Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy. Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita.”

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menolak gugatan presidential threshold yang diajukan oleh La Nyalla Mattalitti dan Yusril Ihza Mahendra dan kawan-kawan.

MK membacakan keputusan soal penolakan tersebut pada Kamis, 7 Juli 2022 di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, dengan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman.

La Nyalla Mattalitti, bertindak sebagai penggugat I yang mewakili lembaga DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga selaku Ketua DPD. Sedangkan Yusril Ihza Mahendra selalu penggugat mewakili Partai PBB (Partai Bulan Bintang) yang juga sebagai Ketua Umum PBB.

Dalam hal keputusan ini, MK sudah melakukan empat kali penolakan dalam perkara yang sama sebelumnya, yakni gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dari 20% menjadi 0% tanpa ambang batas. MK menolak gugatan yang diajukan oleh tujuh warga Kota Bandung, kemudian gugatan oleh empat pemohon lainnya, ketiga; ajuan gugatan dari lima anggota DPD RI, dan keempat; gugatan yang diajukan Partai Ummat dan 27 diaspora lainnya pada Maret 2022.

Diketahui, amanat Undang-Undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, terutama pada Pasal 222 yang mengatur mengenai ambang batas presidential threshold sebagai syarat pencapresan. Demikian bunyi pasal tersebut dalam bagian BAB VI, Bagian Kesatu, Paragraf 1.

Pasal 222
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dalam pembacaan amar putusan tersebut oleh Anwar Usman Ketua MK, seperti dikutip dari tempo.com;

“Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya,” kata Ketua MK.

MK dengan pertimbangannya, menolak gugatan tersebut bahwa, DPD tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 222 dalam Undang-Undang Pemilu tersebut. Sedangkan alasan penolakan terhadap PBB adalah; memiliki kedudukan hukum tetapi tidak memiliki argumentasi yang tepat.

Pemohon kedua (Yusril Ihza Mahendra) dengan argumentasi bahwa penerapan ambang batas 25% suara sah nasional dalam pemilu atau 20% kursi DPR RI dapat mengakibatkan berbagai ekses negatif. Dampak tersebut seperti praktik oligarki dan polarisasi masyarakat. Dengan dasar tersebut dirinya meminta PT 20% dihapuskan atau menjadi nol persen tanpa ambang batas.

Dalil MK atas argumentasi pihak penggugat II dengan keputusan menolak gugatan tersebut, seperti yang dikatakan oleh para Hakim MK, dikutip dari tempo.co adalah;

“Tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi,” kata Anggota Hakim MK Aswanto.

“Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif.”

Syarat ambang batas pencalonan merupakan hal konstitusional. Berkenaan dengan besaran persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dalam ranah pembentuk undang-undang.

Namun demikian, ada yang menarik dalam sidang putusan uji materi PT 20% tersebut. Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, keduanya menyampaikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion. Suhartoyo menilai pasal yang mengatur tentang ambang batas pencalonan (Pasal 222) adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Suhartoyo menilai PT 20% merupakan pemaksaan sebagian logika pada pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.

“Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia,” kata Suhartoyo.

Sedangkan Saldi Isra menilai, penggunaan ambang batas mengamputasi salah satu fungsi partai politik, sebagai penyedia atau menyeleksi calon pemimpin masa depan. Dengan demikian, sadar atau tidak, dengan rezim presidential threshold masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk menilai, mengetahui, atau mencalonkan, calon-calon pemimpin bangsa hasil dari rekruitmen atau fungsi partai politik peserta Pemilu.

Jika ambang batas dihapus, menurut Saldi; akan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan capres-cawapres (calon presiden-wakil presiden), untuk melihat ketersediaan calon pemimpin. Selain itu, masyarakat juga disediakan banyak pilihan yang beragam.

Melihat pengalaman situasi terakhir pasca Pilpres 2014, menurut dia, menghapus ambang batas berpotensi akan lebih banyak calon presiden dibanding Pilpres 2014.

“Dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam Pemilu Presiden 2019,” ucap Saldi.

Respon Penggugat

Dengan adanya keputusan tersebut, respon keras datang dari Yusril Ihza Mahendra selaku penggugat II.

Yusril berpendapat bahwa MK terlalu kaku dan membuat demokrasi di Indonesia terancam oleh kekuatan oligarki kekuasaan dengan aturan presidential threshold 20%, sebagaimana bunyi Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Usai MK membacakan keputusan tersebut, Yusril mengatakan, dikutip dari beritasatu;

“Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon presiden dan wakil presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR,” ujar Yusril.

Lebih dalam Yusril menilai bahwa ada hal aneh dalam sistem demokrasi Indonesia. Yakni; capres-cawapres yang maju adalah pasangan calon yang didukung oleh parpol berdasarkan treshold hasil Pemilu Legislatif lima tahun yang lalu (sebelumnya). Padahal, rentang waktu lima tahun sudah banyak perubahan; para pemilih yang berubah, formasi koalisi dan kekuatan politiknya.

“Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK. MK bukan lagi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy. Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita,” ungkap Yusril.

Menurutnya, MK tetap kukuh adanya yurisprudensi yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Yusril juga beralasan, dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Maka dengan menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.

“Tetapi MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional,” tegas Yusril.

Argumentasi yang digunakan MK bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Padahal, UUD 1945 pasca-amendemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara. Dengan demikian, tidak ada korelasi antara presidential treshold dengan penguatan sistem presidensial, sebagaimana MK berdalil untuk memperkuat argumentasinya.

“Pasal 222 itu adalah open legal policy Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional,” tutur Yusril.

Selain itu, Yusril juga mempunyai pandangan dari sisi historis dan dinamika peradaban, terutama pada aspek politik dan hukum. Hal ini karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang. Bahkan, dalam fikih, tokoh sekaliber Imam Syafii yang hidup pada sekitar tahun 767-820 M saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan qaul jadid atau pendapat baru dengan meninggalkan qaul qadim atau pendapat terdahulu. Hal tersebut atas situasi atau ratio legis yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.

“MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan jumud dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita,” tegas Yusril.

Angka Presidential Threshold Turun

Pada Rabu (6/7/2022), Partai PKS (Partai Keadilan Sejahtera), resmi melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dalam hal presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pileg nasional pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Uji materi tersebut dilakukan oleh PKS dan atas nama pemohon kedua yaitu Salim Segaf Al Jufri. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 69-1/PUU/PAN MK/AP3, yang digawangi oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu bersama Sekretaris Jenderal PKS Habib Aboe Bakar Al Habsy.

Ada beberapa poin dan alasan yang mendasari PKS memohon uji materi ke MK ihwal Pasal 222 Undang-undang Pemilu, yakni; atas ambang batas PT 20%, juga sebagai penyambung lidah rakyat yang menghendaki adanya perubahan aturan ambang batas, ingin memperkuat sistem demokrasi dengan membuka peluang lebih banyak lahirnya capres-cawapres terbaik di masa mendatang.

Secara legal, gugatan tersebut (PKS) mendasari pada aturan keputusan MK No.74/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

Dalam permohonan uji materi ini, PKS melalui kajian Tim Hukum, ada sekitar 30 poin sebagai alasan yang diajukan dalam uji materi pada UU No.7 tersebut. Namun dalam poinnya, PT sebesar dua puluh persen tersebut dapat diturunkan dengan adanya angka yang rasional dan proporsional pada ambang batasnya, yakni dari PT 20% kursi DPR menjadi dalam interval sebesar 7-9% kursi DPR.

Jelas sudah, bahwa perjalanan politik Indonesia sampai saat ini dan dalam kesatuan pandang proyeksi Pemilu/Pilpres 2024 telah berjalan sebegitu dinamisnya. Artinya, Indonesia belum menemukan komposisi yang pas dalam sistem demokrasinya untuk menghasilkan kekuasaan, terutama pasca reformasi.

Bila mengacu pada asas demokrasi, atas lahirnya semangat reformasi dan dinamika perjalanan bangsa di era reformasi, yang telah melahirkan banyak kesetaraan dan kesamaan pada pelbagi kehidupan sebagai semangat demokrasi. Juga hak-hak konstitusi warga negara untuk dipilih dan memilih dalam konteks pemilu nasional maupun daerah, sebagai peran legislatif maupun eksekutif.

Dengan demikian, bagaimana hak tersebut dapat tersalurkan dengan baik dan tidak sesak ke dalam pintu-pintu demokrasi itu sendiri, dengan tidak membatasi akan hak itu sendiri dalam semangat reformasi, khususnya amandemen UUD 1945 yang bermuara pada produk perundangan turunannya.

Penulis setuju bila PT 20% di turunkan atau dinolkan, meski implementasi dalam teknisnya diperlukan rumusan yang detail, karena semuanya dapat mencalonkan apabila menjadi tanpa ambang batas. Artinya, masalah pun juga pasti akan ada. Seyogyanya, penurunan ambang batas perlu, dan saya setuju ambang batas presidential threshold atau PT menjadi 9 persen.

Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (1)
Rocky Gerung: LBP Bentuk Protes PT 20%, Mada Sukmajati: Argumentasi dan Konsekuensinya Apa?
Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Gerindra dan PKB Kian Mesra: Kuat-Lemah, Galau, Terkunci-Mengunci, Apa Begitu?
Harga Sembako di Jakarta pada Hari Pertama Idul Adha (Sabtu, 9 Juli 2022)

Terkait

Terkini