Sepenggal Kisah Bersama Mbah

Keriput sudah menghiasi wajah dan seluruh kulitnya. Rambut yang dulu hitam, kini telah berganti warna secara alami menjadi putih sempurna. Tubuh yang dulu tegap pun, kini sedikit membungkuk.

21 April 2022, 07:01 WIB

Nusantarapedia.net — Sepenggal Kisah Bersama Mbah

𝘈𝘭𝘪𝘧 𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘪𝘮.
𝘋𝘻𝘢𝘭𝘪𝘬𝘢𝘭 𝘬𝘪𝘵𝘢𝘢𝘣𝘶𝘭𝘢𝘢 𝘳𝘰𝘪𝘣𝘢𝘧𝘪𝘪𝘩. 𝘏𝘶𝘥𝘢𝘭𝘭𝘪𝘭𝘮𝘶𝘵𝘵𝘢𝘲𝘪𝘪𝘯… .”

“𝘕𝘥𝘶𝘬, 𝘤𝘶𝘤𝘶 𝘮𝘣𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘺𝘶 𝘥𝘦𝘸𝘦.”

“𝘋𝘢𝘭𝘦𝘮, Mbah.”

“Sesibuk apapun kamu besok, jangan pernah tinggalkan salat, ya.”

Seketika ada rasa sejuk yang menjalari dada, saat suara khas Mbah Uti yang sedang mengaji, kembali bisa aku dengarkan setelah selama dua tahun aku merantau ke Batam. Di sana, aku bekerja di sebuah pabrik elektronik, dengan sistem kontrak dua tahun. Otomatis, selama hidup di perantauan aku tidak bisa mendengar secara langsung suara Mbah. Saat rindu, aku hanya bisa melihat dan mendengar suaranya lewat video call saja.

Kebetulan kamarku dan kamar Mbah bersebelahan. Kulangkahkan kaki ke kamar Mbah, di mana beliau mengaji. Ada rasa haru saat melihatnya masih cukup sehat di usia senja. Mukena terusan berbordir bunga mawar dengan benang putih, masih membalut tubuhnya yang kini kian ringkih. Tubuh boleh renta, akan tetapi semangat Mbah tak kalah dengan cucu-cucunya. Begitu beliau sering berucap.

Sebuah al-Quran terjemahan berada dipangkuannya. Ditambah dengan satu bantal sebagai penopang. Beliau masih bisa membaca dengan jelas tanpa kacamata. Sedangkan aku sendiri sudah berkacamata sejak kelas satu SMP kata keseringan membaca sambil tiduran.

Tangan kurus Mbah sibuk mengeja ayat demi ayat sebagai penunjuk, sementara mulut melafazkannya. Semangat Mbah dalam mengaji tidak pernah luntur. Katanya, kalau belum mengaji seperti ada yang kurang. Seperti sebuah kewajiban karena saking seringnya Mbah melakukan itu, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging.

Kalau untuk berjalan kaki, Mbah Uti sudah kepayahan karena penyakit asam urat yang dideritanya dan penyakit tulang yang menyerang lutut. Jadi, beliau sudah tidak sanggup berjalan jauh. Untuk sekadar ke Masjid pun sudah tidak mampu. Jadi, sering salat sendiri di rumah setiap harinya.

Lama aku terpekur, menikmati suara Mbah Uti yang masih melafazkan kalam Ilahi. Hingga sebuah suara membuatku kembali berpijak ke alam nyata.

“𝘕𝘨𝘰𝘱𝘰 𝘬𝘰𝘬 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘕𝘥𝘶𝘬?”

Aku tergeragap dan mendekat ke arah Mbah Uti.

“𝘔𝘪𝘳𝘦𝘯𝘨𝘬𝘦 𝘔𝘣𝘢𝘩 𝘯𝘨𝘢𝘰𝘴.”

Mbah pun hanya tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang sudah tidak utuh lagi. Al-Quran sudah ditutup dan tersimpan di meja. Beliau bangkit dan melipat mukena, kemudian merebahkan tubuh 𝘴𝘦𝘱𝘶𝘩_nya ke atas tempat tidur.

Aku hanya melihat apa yang dilakukan karena Mbah nggak pernah mau dibantu, selama masih bisa mengerjakannya sendiri.

“Nduk, mbah mau istirahat dulu. Nanti kalau sudah Zuhur, tolong dibangunkan, ya?”

“𝘕𝘨𝘨𝘪𝘩, Mbah.”

Genduk adalah panggilan khusus yang Mbah Uti sematkan untukku. Dulu, aku sering protes kenapa beliau memanggilku Genduk, padahal namaku Aina. Kata beliau, genduk itu panggilan umum untuk anak perempuan pada jaman dulu. Maklumlah, dari kelima cucu beliau, aku menjadi satu-satunya cucu perempuan dan paling bungsu (cucu terakhir). Tak heran, beliau begitu sayang padaku. Sehingga, ada kedekatan khusus antara aku dan Mbah Uti.

Aku berlalu dari kamar Mbah Uti, setelah beliau benar-benar tertidur. Sebelum pergi dari kamar, aku tatap garis wajah yang membingkainya saat tertidur pulas.

Keriput sudah menghiasi wajah dan seluruh kulitnya. Rambut yang dulu hitam, kini telah berganti warna secara alami menjadi putih sempurna. Tubuh yang dulu tegap pun, kini sedikit membungkuk. Meski kini usianya sudah senja, akan tetapi, garis kecantikannya pada jaman dulu tidak pudar. Masih jelas terlihat, hidung mbangir, kulit putih bersih, dan bola mata kecoklatan yang beliau miliki. Menjadi ciri khas kecantikan yang terpancar dari Mbah Uti.

Menurut kisah yang beliau ceritakan, Mbah Uti merupakan kembang desa pada masanya. Banyak para pemuda yang tergila-gila dan memperebutkannya. Tak sedikit yang langsung datang ke rumah untuk melamar, langsung pada bapaknya. Hingga pilihan terakhir Mbah jatuh pada sosok Mbah Kakung yang bersahaja dengan kesederhanaannya.

Aku hanya tersenyum menanggapi cerita Mbah kala itu. Dan membayangkan masa muda Mbah dulu seperti apa.

Satu jam kemudian, aku membangunkan Mbah uti karena sudah terdengar azan Zuhur.


Sorenya, aku duduk-duduk dengan Mbah Uti sambil mendengarkan sebuah acara kajian, yang disiarkan secara live lewat radio jadul milik beliau. Kami berdua bercengkrama, bertukar cerita sambil menunggu waktu untuk berbuka puasa.

“𝘕𝘥𝘶𝘬, 𝘤𝘶𝘤𝘶 𝘮𝘣𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘺𝘶 𝘥𝘦𝘸𝘦.”

“𝘋𝘢𝘭𝘦𝘮, Mbah.”

“Sesibuk apapun kamu besok, jangan pernah tinggalkan salat, ya. Seperti disebutkan dalam hadits Nabi,
𝘈𝘴𝘴𝘩𝘰𝘭𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘮𝘢𝘥𝘶𝘥𝘥𝘪𝘪𝘯, yang artinya salat itu adalah tiang agama. Barangsiapa baik sholatnya makan baik pula agamanya dan barang siapa meninggalkan salatnya, maka runtuhlah agamanya.”

Mbah uti berpesan padaku. Persis dengan apa yang disampaikan Pak Ustaz.

“𝘕𝘨𝘨𝘪𝘩, Mbah.”

“𝘛𝘦𝘯𝘢𝘯, 𝘺𝘰, 𝘕𝘥𝘶𝘬.”

Aku mengangguk dan meyakinkannya.

Itulah salah satu PETUAH BIJAK yang Mbah Uti pesan ke aku, hampir setiap harinya. Terlebih saat aku akan pergi ke Batam dua tahun yang lalu. Sebenarnya, Mbah uti keberatan saat aku memutuskan untuk merantau ke Batam. Menurut beliau, tidak baik anak gadis pergi jauh-jauh dari ayah dan ibunya. Namun, karena tekadku sudah bulat, tidak ada yang bisa mencegah. Sebenarnya bukan masalah uang yang membuatku merantau, terlebih karena ingin mencari pengalaman kerja saja.

“InsyaAllah Genduk bisa jaga diri, Mbah.”

“𝘠𝘰, 𝘸𝘦𝘴, 𝘰𝘫𝘰 𝘭𝘢𝘭𝘪 𝘸𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨𝘦 𝘔𝘣𝘢𝘩 𝘺𝘰? “

“Insya Allah, Mbah.”

Terhitung sejak saat itu aku menjalani kehidupan di Batam. Dan ternyata hidup di sana sendirian, jauh dari keluarga merupakan tantangan tersendiri. Tak semudah yang dibayangkan. Aku harus selalu menyimpan rindu untuk keluarga di rumah.


Pagi ini adalah Ramadan ke sepuluh yang telah dilalui. Tepat sebulan sejak kepulanganku dari Batam. Aku memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang kontrak kerja. Rasanya tak sanggup lagi, bila harus berjauhan dengan Mbah, melihat kondisinya yang semakin sepuh.

Ada keinginan dari hati untuk membuka online shop yang akhir-akhir ini banyak diminati. Toh, modal sudah ada sedikit, tinggal bagaimana mengelolanya.

Saat aku mengutarakan keinginan itu, Mbah mendukung sekali.

“𝘈𝘱𝘪𝘬 𝘬𝘶𝘪, 𝘕𝘥𝘶𝘬. 𝘖𝘫𝘰 𝘭𝘢𝘭𝘪, 𝘬𝘢𝘣𝘦𝘩 𝘥𝘪𝘯𝘪𝘢𝘵𝘪 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘩. 𝘒𝘦𝘳𝘫𝘰 𝘺𝘰 𝘥𝘪𝘯𝘪𝘢𝘵𝘰 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘶 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘩. 𝘔𝘶𝘨𝘰-𝘮𝘶𝘨𝘰 𝘥𝘢𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘩.”

“Amin, Mbah.”


Ramadan tiba,
Ramadan tiba,
Marhaban yaa Ramadan
Marhaban yaa Ramadan

Aku menyetel lagu religi melalui chanel yutup. Sebuah NYANYIAN yang dicover oleh penyanyi cilik Aiswa Nahla itu, enak didengar dengan cengkok khas si Aishwa. Video itu pun sudah ditonton lebih dari sepuluh juta kali. Emang, bikin gemes suara dan juga wajahnya.

Mbah uti pun kelihatan menikmati lagu yang aku putarkan di hape. Saat ini, sambil duduk di teras depan rumah. Kata beliau, saat melihat Aishwa bernyanyi, teringat akan masa kecilku yang cukup enerjik.

Mengingat masa kecilku, memang lebih banyak bersama Mbah, karena Ibu bekerja dari pagi sampai sore. Sekadar untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.

Mulut ini sesekali ikut menggumamkan lagu itu, sambil tak ketinggalan tangan menyirami tanaman yang ada di teras rumah dengan sebuah GAYUNG. Ada beberapa tanaman yang sempat viral. Di antaranya janda bolong, aglonema, dan adenium dengan berbagai varian warnanya. Itu semua Ibu yang menanam, saat kemarin aku pergi merantau. Kalau bunga favoritku, tetap aja mawar yang berkelopak merah, yang sudah tumbuh cukup banyak. Dulunya, bunga mawar itu aku yang tanam. Saat mekar baunya wangi semerbak. Bunganya pun bisa diambil untuk taburan saat berziarah ke makam Mbah Kakung, yang sudah pergi sepuluh tahun yang lalu.


Hari ini Mbah Uti mengeluh tidak enak badan. Tubuhnya lemas dan nafas terasa sesak. Namun, beliau tetap bersikeras untuk tetap berpuasa, saat ibu meminta untuk tidak puasa dulu.

“Nduk, malam ini kamu ngaji untuk Mbah, ya?” pinta Mbah saat aku menemaninya.

“𝘕𝘨𝘨𝘪𝘩, Mbah.”

Aku segera mengambil Al-Quran, kebetulan baru selesai salat tarawih, jadi tidak harus mengambil air wudu. Kubaca Surah Ar Ra’du, atas permintaan Mbah uti sendiri.

Ayat demi ayat aku lantunkan. Hingga sampai ayat terakhir, dan terdengar lirih Mbah menggumamkan sebuah kata-kata yang tidak jelas.

Kupandangi dan kuperhatikan orang terkasihku itu. Mata seperti memandang ke atas. Sesungging senyum nampak menghias bibirnya. Hingga kulihat dengan jelas tarikan nafas terakhir yang diembuskan Mbah Uti.

Seketika aku menjerit dan memeluk tubuhnya yang masih hangat. Kedua matanya kini menutup, sementara tangan sudah siap bersedekap, seperti orang sedang salat.

Aku memanggil ibu yang kemudian langsung datang ke kamar. Ibu memeriksa nafas dan denyut nadi sebentar, hingga sebuah kalimat tarji’ terlantun lirih.

“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Mbah Uti sudah pergi dengan tenang Aina. Kamu yang ikhlas, ya. Doakan semoga husnul khatimah, di akhir hidup Mbahmu.”

Ibu mengenggam erat tanganku. Pandanganku pun mengabur. Air mata jatuh satu persatu. Membasahi jilbab warna toska yang aku pakai.

Kulihat mata ibu juga berkaca-kaca meski tidak sampai menangis. Ibu menguatkanku untuk tidak berlarut dalam kesedihan.

Aku masih belum percaya dan tak menyangka Mbah Uti akan pergi ke haribaan_Nya secepat ini. Baru beberapa hari aku bersama beliau, selepas pulang dari Batam. Baru kemarin rasanya, menemani Mbah sahur dan berbuka. Aku merasa masih kurang menjalani kebersamaan dengan beliau.


Tanah merah di depanku penuh dengan taburan bunga mawar. Mbah Uti dimakamkan bersebelahan dengan makam Mbah Kakung. Aku masih tersedu, meski hati sudah benar-benar iklas melepaskan kepergiannya.

Di tengah kesedihan, ada rasa syukur yang tak henti-hentinya aku gaungkan. Bersyukur masih diberi kesempatan membersamai Mbah meski hanya singkat saja. Tak bisa aku bayangkan seandainya saat ini aku masih di perantauan. Mungkin kepergian Mbah, akan menjadi penyesalan paling dalam selama hidupku.

Mbah Uti pergi di bulan Ramadan yang mulia, dalam kondisi beliau masih berpuasa dan tidak meninggalkan salat. Semoga ini menjadi pertanda akhir yang indah untuk Mbah.

‘Ya Allah, semoga Kau kurniakan Surga tanpa hisab, dan menempatkan beliau di tempat terbaik_Mu.’

Aamiin ya Rabb.

Magelang, 21 April 2022

Catatan kaki :
_Mbah Uti : Nenek
_Mbah Kakung : Kakek
_Nggih : Iya
_Dalem : Saya
_Sepuh : Tua
_Ngopo kok ngalamun : Kenapa melamun
_Mirengke mbah ngaos : Mendengarkan mbah ngaji
_Putune mbah sing paling ayu dewe : cucunya mbah yang paling cantik sendiri
_Yo wes ojo lali welinge mbah yo : Ya sudah, jangan lupa pesan Mbah
_Apik kui nduk. Ojo lali kabeh diniati ibadah. Kerjo yo diniati kanggo sangu ibadah mugo-mugo dadi berkah : Bagus itu, Nduk. Jangan lupa semua diniati ibadah. Kerja ya diniatkan untuk bekal ibadah. Semoga menjadi berkah.

Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Bapak, Jangan Menangis
Kejutan
Perempuan, Sastra dan Uforianya

Terkait

Terkini