Silat Fisik, Silat Pikir dan Silat Batin, bukan Silat Lidah
Nusantarapedia.net | OPINI, HUMANIORA — Silat Fisik, Silat Pikir dan Silat Batin, bukan Silat Lidah
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“olah okol (otot) akan kalah dengan olah akal, dan olah akal akan kalah dengan olah batin”
– Bahkan beladiri-beladiri dari negara-negara Buddhis seperti kung fu shaolin, samurai, karate, dan muaythai itu juga menekankan aspek olah meditasi (mindfulness) untuk memperoleh “ketajaman konsentrasi” serta “keseimbangan dan ketenangan batin” dalam pertarungan, hanya ketika masuk ke negara Non Buddhis seperti Indonesia saja maka beladiri-beladiri tadi menjadi sekuler dan dipreteli aspek spiritualitasnya –
INI yang sejak dulu saya amati ketika latihan silat di beberapa perguruan: orang yang (mohon maaf) bodoh secara intelektual itu ketika sambung atau bertarung silat juga akan selalu kalah di bawah orang yang cerdas secara intelektual, meskipun yang bodoh itu badannya besar dan fisiknya kuat. Orang yang cerdas dalam sambung pasti tidak pernah mati langkah, bisa menggunakan jurus dengan praktis dan tepat (meski hanya belajar di satu perguruan dan baru mendapatkan sedikit jurus saja), bisa membaca dan memprediksi pola gerakan lawan secara tepat dan bahkan sangat matematis, juga bisa membuat tipuan-tipuan langkah yang cerdik untuk mengecoh konsentrasi lawan. Sementara orang yang bodoh meski sudah menguasai banyak jurus dan ikut banyak perguruan tetapi akan cenderung blenk dan tidak efektif menggunakan jurus atau teknik-teknik beladiri praktis, sering mati langkah dan mudah terbaca pakem gerakannya, dan sebaliknya ia gelagapan tidak bisa menganalisa atau membaca pola gerakan lawan dengan tepat, tidak bisa juga membuat tipuan-tipuan cerdik untuk mengecoh arah baca dari lawan, singkatnya ia hanya mampu memukul dan menendang sekeras-kerasnya tanpa perhitungan yang tepat dan hanya buang-buang energi.
Jadi memang benar perkataan guru saya dulu: olah okol (otot) itu pasti akan kalah dengan olah akal. Hal ini juga mengingatkan dengan isi buku “Pencak Silat Setia Hati” yang ditulis oleh saudara tua seperguruan saya mas Agus Mulyana dari Sumedang, bahwasanya kata pendekar itu berasal dari bahasa Minang “pandeka” yang berarti pandai akal, dan juga di tanah Minang sana pengertian silat itu juga tidak terbatas pada “silat fisik”, tetapi ada juga “silat pikiran” dan “silat batin”. Dan khusus “silat pikiran” ini juga yang menjadi ciri khasnya orang Minang.
Dulu di zaman pergerakan nasional banyak aktor-aktor intelektual dan diplomat-diplomat ulung dari Minangkabau seperti misalnya Tan Malaka, Bung Hatta, dan Agus Salim. Sejak kecil para pemuda Minang tidak hanya digembleng olah silat fisik tetapi juga ditekankan dengan ilmu mantiq/ilmu logika/silat pikir (yang termasuk di dalamnya juga silat kata atau yang dipahami secara peyoratif sebagai silat lidah itu), kecakapan olah silat pikir itu menjadi modal penting bagi bangsa perantau dan pedagang seperti suku Minang. Jadi tidak heran di masa pergerakan nasional banyak tokoh intelektual yang lahir dari tanah Minang. Dalam khazanah pengetahuan orang Minang itu, seorang pandeka (pendekar) tidak terbatas pada orang yang menguasai ilmu silek (silat), melainkan siapa pun yang pande akal atau pandai akalnya pantas disebut dengan pendekar, jadi yang pantas disebut pendekar itu bukan orang yang sakti dan hobi berkelahi tetapi yang (mohon maaf) kosong/bodoh isi akalnya.