Simpang PB VI Selo, Patung Pakubuwono VI Simbol Perjuangan Melawan Belanda

Atas jasa-jasa dari Pangeran Dipanegara dan Sinuhun Pakubuwono VI dalam memerangi pemerintah kolonial Belanda, Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

17 Mei 2022, 13:03 WIB

Nusantarapedia.net, Boyolali, Jawa Tengah — Simpang PB VI, patung Pakubuwono VI di Selo Boyolali, simbol perjuangan melawan Belanda

“Sedangkan Pakubuwono VI ditangkap Belanda di daerah Mancingan, Wedi Klaten, dan diasingkan ke Ambon pada 8 Juli 1830. Di pengasingan, PB VI tetap tidak mau mengakui bahwa dirinya terlibat membantu Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa. Akhirnya, PB VI tewas ditembak oleh Belanda, namun Belanda berkilah bahwa kematian Pakubuwono VI karena terjadi kecelakaan di laut saat pelesir.”

“PB VI berdiri di dua sisi, yang seolah-olah meyakinkan Belanda dengan kepatuhan pada kontrak politik yang telah disepakati. Peran gandanya merupakan keputusan politik yang berani, yang jarang ditempuh oleh penguasa monarki Jawa era pemerintahan Hindia Belanda.”

Selo atau ‘Sela’, dalam bahasa Indonesia berarti batu (kata benda), dan menunjukkan tempat, di antara : di tengahnya. Adalah kota kecamatan di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Letak kota kecamatan Selo di jalan besar yang pernah dicanangkan sebagai jalan nasional sebagai kawasan terintegrasi, yakni jalan/jalur wisata SSB (Solo-Selo-Borobudur).

Pencanangan jalur wisata SSB telah dimulai sejak tahun 2002-2003, dengan harapan menjadi destinasi wisata unggulan untuk provinsi Jawa Tengah.

SSB adalah jalur (jalan) alternatif dari kota Solo, melewati kota kabupaten Boyolali, kecamatan Cepogo-Selo, menuju kecamatan Sawangan-Muntilan kabupaten Magelang.

Jalur SSB begitu indah untuk dinikmati, sepanjang perjalanan setelah kota Boyolali melewati jalan pegunungan di tengahnya atau di sela-selanya Gunung Merapi dan Merbabu. Pemandangannya begitu indah dengan kelok-kelok jalan dengan melihat pemandangan gunung dengan lereng-lereng yang di tanami sayur mayur. Tentu, hawanya yang sejuk.

Sepanjang jalan tersebut diharapkan menjadi kesatuan paket-paket wisata yang melibatkan kerjasama antar pemerintah daerah, yakni kotamadya Surakarta, kabupaten Boyolali dan kabupaten Magelang.

Destinasi wisata seperti Keraton Surakarta, Pesanggrahan Pracimoharjo Paras, Kelok Irung Petruk, Pasar Sayur Mayur Cepogo, Jalur pendakian New Selo, Desa wisata Samiran-Lencoh, Museum Ketep Pass, Agro wisata Sawangan, dan Candi Borobudur, serta destinasi lainnya dalam satu kesatuan jalur perjalanan wisata.

Letak dari kota kecamatan Selo berada di tengahnya/di sela-sela Gunung Merapi dan Merbabu. Jadi, nama Selo dari kata “sela-selaning gunung.”

Sepanjang jalan tersebut diharapkan menjadi kesatuan paket-paket wisata yang melibatkan kerjasama antar pemerintah daerah, yakni kotamadya Surakarta, kabupaten Boyolali dan kabupaten Magelang.

Patung Pakubuwono VI di Kota Kecamatan Selo

Kota kecamatan Selo telah mempunyai ikon baru dengan berdirinya Patung Sinuhun Pakubuwana VI, Raja Kasunanan Surakarta.

Patung ini terletak di jantung kota kecamatan Selo dengan utilitas dan infrastruktur sekelas kota kecamatan. Awalnya merupakan simpang tiga jalan dan lapangan, kemudian dinamakan Simpang PB VI, sekarang.

Berdirinya patung tersebut, dibangun di atas tanah milik Keraton Surakarta, yang mana pihak keraton mempunyai banyak tanah di kawasan Cepogo dan Selo.

Pembangunan dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Boyolali seijin pemilik tanah dari keraton. Selain itu, keberadaan patung diharapkan sebagai penghormatan sejarah pada jasa-jasa PB VI di Selo. Juga sebagai ikon baru untuk menunjang kepariwisataan kawasan Selo sebagai tujuan wisata dan bisnis baru, tentunya juga dalam integrasi kawasan SSB.

Sebelumnya, kawasan Simpang PB ini adalah lapangan sepak bola, terletak di Desa Samiran, Kecamatan Selo. Selain pembangunan patung, kawasan Simpang Tiga ditata sebagai ruang publik dengan taman dan fasilitas lainnya, seperti perkiosan, perkantoran dan fungsi lalu lintas itu sendiri.

Diketahui, pembangun kawasan tersebut pada awalnya dari anggaran APBD Boyolali Tahun 2021 sebesar 647,4 juta. Kini kawasan tersebut telah selesai menjadi ruang publik kota Selo dengan nama ‘Simpang PB VI.’

Jejak Pakubuwono VI di Selo

Pada awalnya, kawasan Cepogo-Selo adalah kawasan pelesir para raja Kasunanan Surakarta. selain kegiatan berwisata, sang raja yang juga sebagai penguasa wilayah/negara (Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat), bersama-sama dengan pemerintahan administratif Hindia Belanda (Kerajaan Belanda) berkuasa atas Jawa dan Indonesia menjalankan tata kelola pemerintahan.

PB VI sering meninjau daerah-daerah di barat, seperti di Cepogo dan Selo ini untuk meninjau tanaman perkebunan kopi. PB VI termasuk yang menginisiasi pembangunan Pesanggrahan Pracimoharjo di Paras Cepogo, yang kemudian puncak keemasan pesanggrahan saat pemerintahan PB X.

Dengan demikian, kedatangan PB VI ke Selo dalam kapasitas sebagai raja atau penguasa atau pemerintah kerajaan bersama dengan pemerintah Hinda Belanda dalam menjalankan fungsinya sebagai penguasa untuk menjalankan tata kelola pemerintahan.

Pakubuwono VI memerintah Nagari Kasunanan Surakarta pada tahun 1823 – 1830. Putra dari PB V, dengan nama kecil Raden Mas Sapardan. Lahir dari permaisuri Raden Ayu Sosrokusumo pada 26 April 1807, yang masih keturunannya dari Ki Juru Mertani, Patih pertama Kesultanan Mataram era Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).

Mangkatnya PB V pada 5 September 1823, takhta selanjutnya jatuh pada Raden Mas Sapardan, kemudian naik takhta menjadikan PB VI saat usianya baru 16 tahun.

Seperti halnya raja-raja di Nusantara, PB VI terikat kontrak politik dengan Belanda yang harus dipatuhi. Namun di sisi lain, nuraninya terus bergejolak akibat kebijakan Belanda yang tidak berkeadilan dan semena-mena terhadap rakyatnya.

Pada tahun 1825 meletuslah perang Jawa dengan tokoh sentralnya Pangeran Dipanegara, akibat ketidakpuasan pangeran pada kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memihak pada kebenaran, bertindak memeras dan semena-mena terhadap rakyatnya, hingga muncul perlawanan dari kalangan istana sendiri di Kasultanan Yogyakarta, yakni Pangeran Dipanegara. Di tubuh istana, terutama para pangeran muncul faksi baru yang pro dan kontra dengan Belanda dan istana.

Pangeran Dipanegara yang merupakan paman dari Sinuhun Pakubuwana VI, terus melakukan kontak fisik melawan Belanda hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah dan Timur digunakannya untuk ajang medan pertempuran perang Jawa, antara gabungan pasukan Dipanegara dibantu milisi rakyat melawan kompeni Hindia Belanda yang di dukung faksi istana.

PB VI terpanggil untuk membantu pamannya, dan diam-diam membantu perjuangan Pangeran Dipanegara, meski harus berisiko besar apabila diketahui pihak Belanda. PB VI berdiri di dua sisi, yang seolah-olah meyakinkan Belanda dengan kepatuhan pada kontrak politik yang telah disepakati. Peran gandanya merupakan keputusan politik yang berani, yang jarang ditempuh oleh penguasa monarki Jawa era pemerintahan Hindia Belanda.

Beberapa agenda pertemuan antara PB VI dan Dipanegara berlangsung, namun sangat rahasia. Beberapa pertemuan tersebut untuk menyusun strategi melawan Belanda.

PB VI yang ikut berjuang di belakang layar, turut serta memfasilitasi dan membiayai biaya perang tersebut, meski dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan, pertemuan keduanya di keraton Surakarta sempat diketahui oleh pihak Belanda, hingga keraton dilakukan penggeledahan se isi keraton. Benar saja pertemuan tersebut, tetapi keduanya pura-pura berselisih dan bertengkar, hingga berkelahi, namun hanya sandiwara, dan akhirnya Pangeran Dipanegara berhasil melarikan diri dari keraton.

Ada tempat rahasia di Selo yang digunakan untuk pertemuan PB VI dan Dipanegara untuk mengatur strategi melawan Belanda. Tempat pertemuan rahasia tersebut bernama Goa Raja. Dinamakan goa raja, karena sebelumnya goa tersebut digunakan oleh Sinuhun untuk bermeditasi atau bertapa, yang menjadi kegemaran laku prihatin sang raja. Hingga PB VI pun dijuluki sebagai ‘Sinuhun Bangun Tapa.’

Lokasi goa raja berada di lereng Gunung Merbabu, sekitar 1,5 kilometer dari patung Simpang PB VI saat ini. PB VI sengaja memilih goa raja sebagai tempat penyusunan strategi dan pendistribusian logistik, karena letaknya yang tersembunyi di antara gunung Merbabu dan Merapi, sehingga sulit dideteksi oleh Belanda.

Selo, termasuk peta gerilya pasukan Dipanegara, yang mana merupakan garis lurus ke Yogyakarta melalui jalur lereng Merapi, wilayah Musuk, Kemalang (Klaten), hingga Sleman, mengikuti alur struktur perbukitan Ijo (Merapi tua). Jalur yang strategis namun cukup tersembunyi untuk pergerakan, selain taktik gerilya dengan memanfaatkan teknik spionase dan kode sandi. Maka, jalur tersebut merupakan jalur komunikasi, terdapat banyak sisa-sisa pasukan telik sandi, di antaranya sandi Soijoyo warga Musuk.

Agar mobilitas Pangeran Diponegoro saat keluar masuk daerah Selo aman, ada pasukan khusus bernama ‘Banteng Komunikasi,’ yaitu pasukan intelijen yang dibekali dengan sandi-sandi dan kode rahasia sebagai pasukan rahasia dalam sebuah operasi militer.

Hubungan komunikasi antara PB VI dan Dipanegara terus dilakukan, pengiriman senjata dan logistik terus dikordinasikan dengan operasi-operasi yang sangat rahasia.

Dalam perang Jawa tersebut, Belanda kewalahan, terbukti perang selama lima tahun, dari tahun 1825 hingga 1830 benar-benar menguras finansial pihak kompeni Belanda. Bertempur siang malam dengan tanpa diketahui kapan diserang, membuat Belanda kewalahan, karena pola gerilya perang dengan memanfaatkan alur alam Jawa dan musim benar-benar membuat pasukan Belanda kocar kacir.

Hingga akhirnya, Belanda menggunakan strategi yang licik untuk menangkap Pangeran Dipanegara dengan cara dijebak dengan perundingan damai. karena tidak mungkin Belanda terus-terusan berperang dengan pasukan Dipanegara dengan potensi menang.

Akhirnya, Pangeran Dipanegara ditangkap di Magelang setelah sebelumnya dijebak dengan perundingan damai. Kemudian Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, selanjutnya dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung di kirim ke Batavia dan akhirnya di buang ke Ujung Pandang (Makassar) Sulawesi Selatan hingga meninggal di pengasingan penjara Benteng Fort Rotterdam.

Sedangkan Pakubuwono VI ditangkap Belanda di daerah Mancingan, Wedi Klaten, dan diasingkan ke Ambon pada 8 Juli 1830. Di pengasingan, PB VI tetap tidak mau mengakui bahwa dirinya terlibat membantu Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa. Akhirnya, PB VI tewas ditembak oleh Belanda, namun Belanda berkilah bahwa kematian Pakubuwono VI karena terjadi kecelakaan di laut saat pelesir.

Setelah penangkapan, Belanda terus kawatir, keduanya masih menjalin komunikasi, hingga keputusan Belanda dengan kejam membuang keduanya ke pengasingan yang jauh dari Jawa, di Ujung Pandang dan Ambon.

Tahun 1957, jasad PB VI di pindah dari Ambon ke pemakaman raja-raja di Astana Raja Mataram Imogiri, Yogyakarta. Sedangkan Pangeran Dipanegara tetap kubur di Ujung Pandang.

Atas jasa-jasa dari Pangeran Dipanegara dan Sinuhun Pakubuwono VI dalam memerangi pemerintah kolonial Belanda, Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

(disarikan dari beberapa sumber)

Pesanggrahan Pracimoharjo Paras Boyolali, Miniatur Keraton Surakarta
Sejarah Wonogiri, Jejak Perlawanan Raden Mas Said
Belanda Bagian Leluhur Nusantara, namun Harga Mati Penghapusan Penjajahan
Pertempuran Surabaya dalam Peristiwa 10 November, Mempengaruhi Opini Dunia
Mendulang Keteladanan Pahlawan, Semboyan “Merdeka atau Mati” hingga “Tiji-Tibeh” dalam Aktualisasi Modern
Keroncong Perjuangan, antara Cinta dan Medan Pertempuran
Kontradiksi Nilai Kepahlawanan Sejarah Nusantara dengan Strategi Usang Pemilu
Bangunan Monumen Sebagai Living Monument, Penjaga Keluhuran Nilai Sejarah
Lagu ‘Pok Amai-amai’, dan Konstruksi Sosial
Obyek Itu Bernama Perempuan
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Tiba di Tanah Air

Terkait

Terkini