Soneta Tatengkeng, ”Berikan Aku Belukar” Kekayaan Semesta yang Terabaikan dalam Proses Pembelajaran
Kurikulum yang dibangun berpetak-petak berupa mata-mata pelajaran yang ’tidak bermata’ menjadikan guru SD sebagai guru kelas harus menguasai semua mata pelajaran
Nusantarapedia.net — Soneta Tatengkeng, ”Berikan Aku Belukar” Kekayaan Semesta yang Terabaikan dalam Proses Pembelajaran
“Penghargaan terhadap semesta alam, hutan, laut, gunung, sawah, dan ladang ataupun flora dan fauna yang merupakan simbol dari eksak-sains, tidak mampu dibaca dan ditampilkan dalam kehangatan dialog proses pembelajaran IPA. Begitu juga penghargaan anak terhadap perilaku masyarakat dan kehidupannya pada proses pembelajaran IPS, ternyata juga gagal menggambarkan pemikiran dan hati mereka pada berbagai situasi sosial yang kontekstual.”
“Ya, itulah semak belukar, hidden area/hidden curriculum, kekayaan semesta yang terabaikan dalam proses pembelajaran”.
Oleh Edi Warsidi
Penulis tinggal di Bandung, bekerja di ITB Press
Pada 1930, penyair legendaris Indonesia, Jan Engelbert Tatengkeng, menulis puisi soneta berjudul ”Berikan Aku Belukar”:
Terhanyut oleh aliran zaman/Aku terdampar di dalam taman/ Kuheran amat,/Memandang tempat// Di situ nyata kuasa otak/Taman dibagi berpetak-petak/Empat segi, tiga segi/ Yang coreng-moreng tak ada lagi // Rumput digunting serata-rata/Licin sebagai birun kaca/ Bunga ditanam beratur-atur/Tegak sebagai bijian catur//Jalan digaris selurus-lurus/Bersih, sehari disapu terus!/Indahlah taman/Di mata zaman!// Dan kalau hari sudah petang/Ribuan orang ke taman datang/Berikan daku belukar saja/Tempat aku memuji Rasa! (1970).
Dalam ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/J_E_Tatengkeng, disebutkan bahwa soneta ”Berikan Daku Belukar” dimuat dalam Rindu Dendam cetakan pertama (1934 dan cetakan kedua 1974). Kemudian, sebanyak sepuluh puisi Tatengkeng dimuat dalam antologi Tonggak I (susunan penyair Linus Suryadi A.G., 1987:48—55). Puisi itu cukup menarik pembaca sebab berbicara tentang acuan pendidikan. Larik berpetak-petak, serata-rata, selurus-lurus, dan sehari disapu terus, mengalir deras menuju kondisi yang menggembirakan. Kondisi ini tidak ubahnya dengan perilaku sistem bersekolah saat ini.
Kurikulum yang dibangun berpetak-petak berupa mata-mata pelajaran yang ’tidak bermata’ menjadikan guru SD sebagai guru kelas harus menguasai semua mata pelajaran. Proses pembelajaran yang dikapling-kapling oleh buku teks ajar yang steril, lusuh tanpa warna, telah meracuni dan mematikan berbagai kreativitas guru dan anak. Berbagai kekayaan sebagai keberagaman semesta, tidak mampu dialirkan dalam sebuah proses pembelajaran di sekolah.
Di sisi lain, guru harus menjaga ’taman’-nya supaya tetap bersih melalui sistem evaluasi yang digaris selurus-lurus, serata-rata agar dapat menyapu bersih deretan memori (string of memory) yang harus dijaga anak baik-baik dalam isi kepalanya melalui berbagai hafalan. Mengukur kecerdasan anak hanya di seputar konteks serebral melalui pilihan ganda, betul-salah, dan sedikit esai. Berpikir dengan memori inilah kemudian yang membenturkan antara kepentingan ’otak’ dan ’rasa’.
Sekolah yang dikhayalkan sebagai sebuah taman yang indah, dalam kenyataannya kurang mampu mengundang anak untuk mengapresiasi ’rasa’ terhadap sebuah proses belajar yang bermakna dalam kehidupannya sebagai anak. Penghargaan terhadap semesta alam, hutan, laut, gunung, sawah, dan ladang ataupun flora dan fauna yang merupakan simbol dari eksak-sains, tidak mampu dibaca dan ditampilkan dalam kehangatan dialog proses pembelajaran IPA. Begitu juga penghargaan anak terhadap perilaku masyarakat dan kehidupannya pada proses pembelajaran IPS, ternyata juga gagal menggambarkan pemikiran dan hati mereka pada berbagai situasi sosial yang kontekstual.
Padahal, mengajak anak ke pasar, pantai, hutan, gunung atau melibatkan anak dalam kondisi nyata, merupakan pengembaraan belajar yang indah dan tidak akan pernah terlupakan. Mereka akan merefleksikan proses pembelajaran melalui pengamatannya untuk berpikir tidak sebatas kulit otak, tetapi juga mampu mendialogkannya dengan berpikir kritis. Mereka akan belajar percaya diri ketika menanyai para pedagang, petani, dan profesi lainnya. Mereka riang berpraktik cara menabur bibit tumbuhan yang dibawanya dari rumah. Lalu, mereka berlomba bertanggung jawab untuk menanam pohon, merawat, menyiram, dan memupukinya.
Mengajak anak ke sawah menanam padi, mencelupkan kakinya dengan lumpur, berkawan dengan kerbau, bermain dengan bulir-bulir padi, memetik, dan menumbuknya menjadi beras, lalu memasaknya menjadi sepiring nasi, merupakan proses panjang yang kaya dengan pengetahuan, pengalaman, dan perwujudan multi-kecerdasan serta kearifan. Menghadirkan beragam bentuk pembelajaran yang produktif di sekolah melalui sepetak kebun dan sawah, sebenarnya lebih berharga daripada membangun sebuah perpustakaan yang menyimpan berbagai buku pelajaran, tetapi tidak menarik minat baca anak.
Kegiatan pendidikan bukanlah menjejalkan banyaknya informasi ke dalam otak—yang berkecamuk dan tidak tercerna. Pendidikan idealnya mampu mengasimilasi, menyerap, dan mengintegrasikan beragam gagasan agar dapat membangun kehidupan pembelajar; membangunnya menjadi manusia dan membangun karakternya kelak (tanpa ijazah palsu). Jika mampu melakukannya, kita telah menjadikan si pembelajar lebih berpendidikan daripada siapa saja yang telah menghafal seluruh isi perpustakaan.
Dengan demikian, proses pembelajaran yang memberdayakan semua peranti otak bisa bekerja saling berhubungan, berdialog, dan berupaya memengaruhi untuk dapat mengakses semesta alam; sungguh merupakan semak belukar yang liar, tetapi indah! Di sinilah saripati kemanusiaan tersimpan. Selama ini tersembunyi dalam kurikulum, yang tidak terbaca oleh para pendidik dan tidak mampu terkupas dalam proses pembelajaran. Ya, itulah semak belukar, hidden area/hidden curriculum, kekayaan semesta yang terabaikan dalam proses pembelajaran.
Arah Pendidikan Nasional
Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Merdeka Belajar, Antara Idealisme dan Angan-angan
Manajemen Pengetahuan, Tacit dan Explicit Knowledge, Apakah Itu?
Anies, Capres Paling Sering Dibicarakan
Candi Kalasan, Wujud Toleransi Masa Mataram Kuno