Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”

Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka!

22 Agustus 2023, 15:17 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, SOSBUD — Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”

Oleh : B. Ari Koeswanto ASM

“Dalam pandangan spiritual – supranatural dan makna simbolik di dalamnya, tidak menampakkan koherensi antara spirit Songkok Senapaten dengan isi lagu Rungkat. Justru dibaca secara supranatural sebagai sasmita atau perlambang, apakah itu tanda-tanda Indonesia akan rungkat/roboh.”

DANANG SUTAWIJAYA yang selanjutnya menahbiskan diri sebagai penguasa baru tanah Jawa, tidak benar-benar dinobatkan sebagai raja Jawa, semata untuk menghormati ayahandanya (tiri) Prabu Adi Wijaya di Pajang. Karena, di luar cerita yang romantis, heroik, penuh intrik, bahkan ruwet-mbulet-mbundet, di balik berdirinya Pajang hingga Danang Sutawijaya menginisiasi lahirnya emporium baru tanah Jawa, yaitu Kerajaan Mataram, pun hingga perjanjian Giyanti 1755 yang menjadikan dinasti Mataram Kasunanan Surakarta rela dipecah, lahirlah Kasultanan Yogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi (HB I) yang bertekad mengembalikan spirit Mataram. Sutawijaya mungkin dalam hatinya meniscayakan pada dirinya sendiri yang telah mengkudeta ayahandanya, maka cukuplah dengan sebutan “Panembahan Senapati”.

“Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng Kangjeng Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayyidin Panatagama”. Itulah nama takhta Danang Sutawijaya, yang mana gelar takhtanya sebatas “Senapati” atau panglima perang. Senapati berbasis di Keraton Kota Gede tahun 1586-1601, dengan nafas Islam, sebagaimana tren pada waktu itu Islam telah menghegemoni dunia, juga sebagai kekhasan (corak) kerajaan, dari sebelumnya kepahaman Hindu-Buddha era Majapahit. Selain tentunya fungsi legitimasi, sebagai pemimpin spiritual tertinggi.

Panembahan Senapati, bila kekinian pantas diberikan gelar Jenderal bintang lima, karena kepemimpinannya dalam pendudukan kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai panglima perang di medan laga, terutama wilayah Jawa Timur dengan kampanye militernya. Senapati telah menerapkan politik ekspansi. Panembahan Senapati benar-benar bergairah ingin menjadikan Mataram kerajaan besar di Jawa, hingga ambisi menjadi raja besar tanah Jawa.

Sepeninggal Panembahan Senapati, taktha Mataram dilanjutkan oleh putranya Susuhunan Adi Prabu Anyakrawati (1601-1613), nama (gelar) Susuhunan disematkan, yang berarti sebagai pemimpin atau junjungan. Tentu mewarisi kepiawaian ayahandanya sebagai panglima perang dan pemimpin spiritual juga. Meski hanya singkat memimpin Mataram, Prabu Anyakrawati tetap meneruskan tradisi ayahandanya melanjutkan pendudukan Jawa dengan politik ekspansi.

Tahun 1613-1645, inilah raja besar tanah Jawa, susuhunan Mataram ke-3, putra dari Susuhunan Adi Prabu Anyakrawati, juga cucu Panembahan Senapati, ialah Sultan Agung Anyakrakusuma. Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma dengan gelar takhta “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi”.

Gelar taktha tersebut jelas mengisyaratkan, bahwa kedudukan raja adalah penyambung spiritual rakyat. Raja memposisikan sebagai poros egosentris, yaitu antara Tuhan-Raja-Rakyat. Jelas, raja sebagai wakil/utusan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-Nya di muka bumi ini. Di sinilah Sultan Agung semakin mempertegas dirinya sebagai imam dan pemimpin tertinggi untuk menata keagamaan di tanah Jawa.

Pada kalimat “Senapati ing Ngalaga”, yang mana gelar takhta pada waktu itu tidak sebatas seremoni saja, mengandung konsekuensi praktik. Di situ Sultan Agung membuktikannya dengan misi perang menundukkan Banten dan Batavia atas kolonialisasi dari VOC, tahun 1628-1629. Sultan Agung bertekat menyatukan seluruh Jawa dan mendirikan kerajaan adi kuasa Nusantara. Bagian perang Batavia ini merupakan geo-politik dan strategi Sultan Agung menuju pentas dunia, meski gagal total, bahkan sepeninggalnya, Susuhunan Amangkurat Agung di Pleret, putra dari Sultan Agung tidak mampu menjadikan Mataram berdaulat atas kolonialisasi VOC, hingga tahun 1680 Mataram kocar-kacir dan harus pindah ke (Mataram) Kartasura, yang mana mulai saat itu Jawa dikuasai oleh matahari kembar, yaitu VOC dan raja.

Prabu Anyakrakusuma yang selanjutnya tahun 1641 bergelar Sultan Agung, bahkan pada akhirnya tahun 1636 berhasil mendudukkan Giri Kedaton di bawah kepemimpinan Sunan Kawis Guwa. Prabu Anyakrakusuma benar-benar tidak menginginkan adanya surya kembar di Jawa, termasuk kekuasaan para wali yang akhirnya melemah, tunduk kepada raja. Prabu Anyakrakusuma dalam kesatuan proyeksinya menyatukan Jawa dan Nusantara, bahkan rela mematikan sektor kelautan di pesisir utara Jawa, termasuk dakwah perwalian di utara. Itu dilakukan agar steril, sekalipun harus mengurung Jawa, terutama untuk menghadapi VOC yang ekspansif. Pada pokoknya, Sultan Agung menjadikan supremasi Mataram yang kuat dan berdaulat. Hanya ada satu kekuatan politik di Jawa, yaitu Mataram.

Terkait

Terkini