Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”
Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka!
Mataram Menjadi Negara
Daulat Agung Utsmaniyah atau Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman mengakhiri dominasi Kekaisaran Romawi Timur, seiring penundukan ibu kotanya di Konstantinopel (1453). Kemudian, sekira tahun 1600-an, Utsmaniyah menjadi kekuatan politik utama dunia, sepertiga wilayah dunia menjadi bagian dari kekaisaran ini pada abad ke-16 dan 17. Banyak kerajaan-kerajaan berporos pada Kesultanan Utsmaniyah sebagai tren. Dalam konteks kekinian, seperti halnya China yang terus berproyeksi untuk menguasai dunia dengan beragam strategi, termasuk proyek jalur sutera atau OBOR-nya. Banyak negara yang berporos ke Beijing. Begitu juga dengan Mataram, Kekaisaran Utsmaniyah dijadikan kiblat.
Pada tahun 1640 dan kembali lagi ke Mataram tahun 1641, utusan Sultan Agung Mataram menghadap Sultan Murad IV (1623-1640), untuk hubungan internasional diplomatik. Dari bentuk kerja sama itu, Prabu Anyakrakusuma dihadiahi gelar “Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Jawi Matarami'”, selanjutnya secara resmi Prabu Anyakrakusuma dengan gelar takhta “Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Matarami’ Susuhunan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi”.
Tak hanya itu, Mataram secara resmi menjadi negara/kerajaan Kesultanan Mataram dengan nama “Nagari Kasultanan Mataram” atau “Daulat Nuubil Mataram” yang berarti Mataram yang luhur.
Penegasan dari Turki Utsmaniyah kepada Mataram sebagai bentuk bagian persekutuan, secara simbolis disertai dengan bukti-bukti, yaitu simbol topi/songkok/kuluk penutup kepala yang dinamakan tarbusy sebagai mahkota. Selanjutnya diadopsi oleh Mataram hingga kini menjadi kuluk Kanigara berwarna biru yang dipakai oleh para raja Mataram dari era ke era sebagai kuluk (mahkota) penobatan raja. Atau kuluk pengantin pria dalam busana adat perkawinan di Solo dan Yogya, terutama untuk gaya pakaian basahan.
Tak hanya tarbusy, Utsmaniyah juga memberikan sepasang bendera berupa sejahit bagian kiswah Ka’bah dan sejahit lagi bagian satir makam Rasulullah, menjadi pusaka keraton dengan nama Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Pare Anom. Utsmaniyah juga memberikan guci atau enceh tempat menyimpan air yang dinamakan Enceh Kyai Mendung, kini berada di makam Sultan Agung di Imogiri Bantul.
Sepeninggal Sultan Agung, hubungan Mataram Pleret dengan Turki tidak ditemukan jejak sejarahnya, bahkan putra Sultan Agung yang meneruskan takhta Mataram, yaitu Susuhunan Amangkurat Agung di Pleret hingga Sunan Pakubuwana II, tidak menggunakan gelar Sultan, kembali memakai gelar Sunan atau Susuhunan. Hemat penulis, VOC tidak menginginkan gelar Sultan dipakai, karena Sultan adalah seorang umaro atau pemimpin negara. Tentu gelar Sultan berimplikasi pada kekuasaan yang mengancam supremasi VOC secara politik. Selanjutnya, gelar Sultan dihidupkan lagi ketika Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Hamengkubuwana I dengan kerajaan berbentuk Kesultanan (Yogyakarta), berbalik dengan Surakarta dengan bentuk Kasunanan.
Pada era kekinian, perbandingan perjalanan Mataram dari era ke era, hanya Mataram Sultan Agungan ini yang disebut mewariskan kebudayaan asli monarki Jawa.