Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”

Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka!

22 Agustus 2023, 15:17 WIB

Busana Raja Presiden Jokowi

Pada saat Presiden Joko Widodo memimpin upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan di Istana Kepresidenan, Kamis (17/8/2023), nampak presiden mengenakan pakaian kebesaran bertajuk “Ageman Songkok Singkepan Ageng”. Pakaian kebesaran ini juga dikenakan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana (PB) VI di Surakarta (1823-1830).

Sejarahnya, merunut dari alur di atas, songkok tersebut bernama “Songkok Senapaten”. Istilah Senapaten mewakili gaya atau ciri khas wujud budaya warisan dari Panembahan Senapati. Dari nama Senapati (orang) menjadi Senapaten (sifat). Jelas, kata Senapati ing Alaga berarti panglima perang di medan laga. Bersifat heroik. Namun pada era Panembahan Senapati, songkok ini belum ada. Songkok ini dikreasikan (diciptakan) oleh Sultan Agung. Tentu Sultan Agung terinspirasi untuk meneladani sifat eyangnya yang penuh heroik.

Selain songkok, gaya busana Senapaten hasil warisan (ide) dari masa Panembahan Senapati, seperti pada Blangkon Senapaten, dengan ciri pada bagian sintingan atau jebehan yang memanjang. Sintingan yang lurus mendatar menandakan pemakainya masih muda dengan segala ambisi. Sedangkan sintingan yang turun ke bawah menandakan pemakainya sudah menep. Diperkirakan, blangkon era Panembahan Senapati bentuknya masih sederhana, yaitu berupa kain yang diikatkan di kepala, atau disebut iket-iketan.

Jadi, Songkok Senapaten yang dipakai presiden adalah songkok era Sultan Agungan. Langgam budaya pada era Sultan Agungan ini disebut dengan gaya Hanyakrakusuman. Songkok Senapaten ini bukan kuluk ala tarbusy yang dinamakan kuluk Kanigara atau kuluk Mathak dari duplikasi budaya Utsmaniyah.

Secara filosofi jelas, songkok Senapaten menyiratkan pemakainya adalah seorang raja/pemimpin sekaligus sebagai panglima perang. Bersifat heroik dan patriotik, berani mengambil keputusan. Bila dilihat dari literasi yang ada, raja setelah Sultan Agung jarang memakai songkok gaya Senapaten ini, meski semua raja dari wangsa Mataram juga mengenakannya. Karena, konsekuensinya, bahwa songkok Senapaten tersebut adalah songkok simbol keberanian mengambil keputusan hingga perang di medan laga. Tentu, spirit ini tidak disenangi oleh VOC maupun Hindia Belanda, yang memang menginginkan spirit Mataram pudar. Mengapa kemudian Pakubuwana (PB) VI yang memakainya, karena juga mengisyaratkan hal yang sama, bahwa PB VI bagian dari perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Hindia Belanda.

Untuk jariknya atau kain utama penutup badan bagian bawah, hampir seperti gaya dodotan, presiden mengenakan jarik motif parang rong (barong) gaya Surakarta. Motif batik parang barong diciptakan oleh Sultan Agung, pengembangan dari motif parang rusak yang diduga hasil budaya dari era Panembahan Senapati. Bentuk dasar dari motif parang keduanya ini sama, seperti membentuk huruf S atau seperti gambar ombak laut. Ini berasal dari legenda Panembahan Senapati yang gemar bertapa di pantai Parangkusuma hingga pertemuannya dengan Kanjeng Ratu Kidul, dimana dikisahkan Panembahan Senapati sedang bertapa, karena kesaktiannya berhasil menjadikan laut kidul bergemuruh (tsunami), yang kemudian meluluhkan hati Kanjeng Ratu Kidul untuk tunduk kepada Panembahan Senapati dan bersedia menjadi istrinya.

Filosofi dari jarik motif parang ini menggambarkan kekuatan raja, dengan gambar atau ornamen hiasan yang jelas, lugas dan besar. Awalnya, motif parang hanya diperuntukkan untuk raja saja, tetapi saat ini sudah diperbolehkan dipakai oleh masyarakat umum.

Untuk atasan, presiden memakai baju Sikepan atau semacam jas buka atau beskap bukaan. Baju ini disebut dengan Rasukan Sikepan (baju luar). Untuk model Sikepan ini dengan paket baju dalam warna putih, disebut dengan Rasukan pethak asta panjang. Baik Sikepan luar dan dalam dihiasi dengan kancing baju warna emas. Untuk jenis baju ini diciptakan oleh VOC-Hindia Belanda. Awalnya, kolonial ikut mendesain gaya busana para raja dari perpaduan gaya busana era Sultan Agungan dicampur dengan gaya Eropa, khususnya pakaian dinas militer Eropa yang dinamakan Admiral.  Raja pertama yang berbusana pakaian dinas militer Belanda adalah Sunan Amangkurat II di Kartasura (1677-1703). Selanjutnya disebut dengan Sunan Amral/Admiral, adalah raja pertama Mataram Kartasura yang dirajakan oleh VOC. Lambat laun, perpaduan ini terus berkembang, seperti munculnya baju atasan sikepan, beskap, jas buka, dengan ditambah desi kupu-kupu berlian maupun desi panjang, hingga munculnya blangkon gaya Surakarta, tanpa mondolan. Untuk baju atasan gaya Surakarta yang umumnya dipakai adalah beskap, hasil kreasi dari kolonial. Awalnya, pakaian atasan dalam budaya Mataraman disebut dengan Surjan, baik bermotif lurik maupun bunga-bunga (Ontrokusuman).

Presiden Jokowi juga menyematkan pin berupa Bintang Suryo Wasesa di dada kanannya dan memakai kalung ulur warna emas.

Untuk celananya, presiden mengenakan celana hitam biasa. Pada umumnya raja, bagian celana ini disebut dengan Lancingan cinde lis bludiran blenggen. Kemudian presiden juga mengenakan Sabuk lontong stagen dan kamus (ikat pinggang).

Busana presiden yang oleh perancangnya disebut “Ageman Songkok Singkepan Ageng” ini adalah busana kebesaran raja dari wangsa Mataram. Hasil kombinasi dari gaya mataraman dan kolonial.

Dalam konteks busana presiden yang dikenakan saat peringatan kemerdekaan di Istana Merdeka, kiranya sudahlah tepat, makna simboliknya bahwa Indonesia harus berani mengambil keputusan besar, meneladani kepemimpinan Panembahan Senapati dan nasionalisme Sultan Agung.

Terkait

Terkini