Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”

Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka!

22 Agustus 2023, 15:17 WIB

Konteks Kepemimpinan Presiden Jokowi

Apa yang tercermin dalam gelaran peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI di Istana Merdeka, (17/8/2023) yang lalu, dengan harapan berdampak positif. Banyaknya pejabat yang mengenakan pakaian adat Nusantara, menggambarkan kesemangatan akan persatuan – gotong-royong pembangunan yang dilandasi dari nilai-nilai kultural lokal (local genius).

Tentu harapannya, mengenakan pakaian adat dalam acara resmi kenegaraan/pemerintahan tidak hanya sekedar bentuk seremoni belaka, yang justru memparadekan eksploitasi budaya untuk sekedar acara mimetis semata sebagai bentuk (seolah-olah) keberpihakan kepada tradisi Indonesia untuk penguatan jati diri, namun pada praktiknya hak-hak adat seringkali dilupakan, bahkan semakin terpinggirkan akibat pembangunanisme material. Seringkali konflik terjadi akibat ketidakadilan yang menyerobot hak tanah adat hingga ketimpangan akan kesetaraan pekerja lokal.

Dalam konteks hukum, bagaimana RUU Masyarakat Hukum Adat dan regulasi lainnya tentang adat untuk segera digodok dengan komprehensif, mengakomodir kebutuhan masyarakat adat, menjamin hak-hak nya dengan prinsip keadilan, bahwa masyarakat adat adalah masyarakat pribumi (indegenous) yang asli, yang berhak atas kemakmuran dari berkah alamnya atas kodrat hidupnya mendiami tanah (wilayah) tersebut.

Kembali melihat sejarah, makna dan filosofi Songkok Senapaten, tentu semangatnya adalah kedaulatan Mataram/Nusantara/Indonesia. Lagi-lagi, bila ditarik pada konteks kekinian, yang mana telah terjadi patungisasi Soekarno, tentunya spirit Tri Sakti akan kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terimplementasi dan terpraktikkan dalam penyelenggaraan negara ini. Esensinya adalah kedaulatan. Jangan pula, konsep, ide dan gagasan Soekarno yang berdaulat, kemudian seolah-oleh Soekarno hanya milik sekelompok golongan saja. Riuh dan semarak, tetapi esensinya tidak terpraktikkan karena berhaluan liberal.

Songkok Senapaten adalah gambaran keberanian untuk berdaulat. Seperti halnya ketika presiden Jokowi berani melakukan hilirisasi dan industrialisasi sektor ESDM, hingga dikecam oleh WTO, yang khabarnya senilai triliunan rupiah menjadi potensi cash hand uang Indonesia. Bahasanya Prabowo kala itu, uang (kekayaan) Indonesia mengalir keluar (Net Outflow of National Wealth). Meski semuanya itu akan terbukti oleh waktu, karena siapa yang menjamin kebenaran akan data-data strategis Indonesia, itu yang benar-benar tahu adalah pemerintah. Isunya, hilirisasi dan industrialisasi ESDM dalam negeri hanya merubah kartel perdagangan saja yang mana itu hanya menguntungkan China.

Kedaulatan Indonesia yang ditafsirkan dari spirit Songkok Senapaten atas keberanian Jokowi lainnya, seperti, kala presiden bertekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Maka, pembangunan integrasi seperti; tol laut, jalan tol, bandar udara, kereta cepat Jakarta-Bandung, dsb. itu adalah bukti pencapaian pembangunan infrastruktur oleh Jokowi. Namun isunya, bukankah itu pada akhirnya justru menyokong strategi China untuk mewujudkan China sebagai negara adi kuasa dengan proyek OBOR-nya, yang mana banyak negara-negara ditawari dengan aneka paket utang untuk membangun infrastruktur dengan menciptakan proyek-proyek baru, yang pada akhirnya dimaknai sebagai jerat utang. Utang piutang tersebut yang kemudian dijadikan China sebagai politik tukar tambah akan segala potensi keuntungan yang bisa diambilnya.

Isu di atas terkorelasi dengan strategi pembangunan Indonesia yang lebih pada bentuk menjadikan Indonesia pasar bebas. Aneka bentuk investasi dibuka selebar-lebarnya, yang kemudian di-design melalui aneka skema pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui BUMN. Lagi-lagi kita tidak tahu, apakah kebijakan tersebut benar-benar sebagai peta jalan menuju Indonesia Emas 2045 juga urgensinya dengan hak hidup rakyat, ataukah justru menjadikan Indonesia berjaya untuk kelompok oligarki, namun memiskinkan rakyat secara terstruktur. Yang pokoknya, semangat kedaulatan, tujuan konstitusi untuk memakmurkan dan mengadilkan rakyat semakin menjauh. Dengan demikian, dibaca kedaulatan Indonesia semakin terpinggirkan atas hegemoni kelompok liberal, asing, oligarki yang telah masuk melalui infiltrasi regulasi.

Selanjutnya, masih di bidang ESDM dan sektor Migas, kedaulatan Indonesia atas keberanian Jokowi dalam mengambil alih sebagian besar saham PT Freeport, Blok Mahakam, dan Blok Rokan, patut diapresiasi. Namun pertanyaannya, benarkah semua itu. Jangan-jangan itu hanya merubah kepemilikan di tingkat atas saja, namun uang tidak benar-benar mengalir atau bahkan sekedar menetes untuk hajat hidup rakyat.

Keperwiraan presiden Jokowi selanjutnya, keberaniannya dalam memindahkan atau membangun IKN (Ibu Kota Nusantara) dari Jakarta ke Kalimantan. Presiden yakin, bahwa IKN adalah harapan baru Indonesia, peradaban baru Indonesia, pusat segala-galanya Indonesia. Proyek ambisius yang setidaknya memakan biaya Rp500 triliun tersebut adalah keniscayaan akan menjadikan Indonesia berjaya, tanpa problem ekologi atas pembabatan hutan di dalamnya. Namun isunya juga, bahwa telah dibuka investasi seluas-luasnya dalam membangun IKN, karena keterbatasan anggaran negara. Bahkan, investor IKN berhak memakai lahan sampai 180 tahun (konsesi). Isunya, IKN sama saja sebagai proyek global, panggung kapitalisme dunia. Rakyat lagi-lagi hanya sebagai bagian sorak-sorak bergembira saja.

Dibaca juga, grand design pembangunan Indonesia yang condong liberal terkorelasi sebagai pintu masuk dengan diundangkannya Perppu Cipta Kerja, yang mana isi di dalamnya lebih pada membuka ruang investasi untuk para pemilik modal. Perppu Ciptaker yang ditafsirkan sebagai pintu masuk liberalisasi, seperti pada hal; bebasnya impor pangan masuk, liberalisasi sektor kesehatan dengan aturan UU Kesehatan yang baru, yang mana tidak mensyaratkan lagi kewajiban negara (mandatory spending) pada anggarannya untuk rakyat. Kewajiban negara menjadi kabur.

Di atas hanya variabel saja dari segudang contoh, bahwa era presiden Jokowi ini, meskipun juga akumulasi dari kepempimpinan sebelumnya (plus minus), bahwa keputusan Jokowi membawa Indonesia ke dalam paradigma baru memanglah luar biasa untuk diacungi jempol atas usaha dan keberaniannya (enterpreneur government). Kita percayai saja bahwa itu semua adalah bagian dari road map Indonesia Emas 2045. Kita percayai bahwa tidak ada Chinanisasi, tidak ada liberalisasi, tidak ada problem ekologi. Yang ada bahwa segala kebijakan berpihak untuk rakyat.

Saat ini pendapatan per kapita masyarakat Indonesia (PDB) dari sebelumnya 2022 sebesar US$4.783,9 (71 juta) per tahun, naik menjadi US$5000 di tahun 2023 ini (target). Dan mestinya, Indonesia yang akan menuju “Emas” tersebut, kemakmuran rakyat terus meningkat. Seperti misalnya, PDB tahun 2024 akan menjadi US$6000, 7000 ditahun 2025, hingga setara dengan Singapura sekira US$72,794 (2021), bahkan bisa sebesar US$100.000 di tahun 2045. Semuanya itu atas korelasi kebijakan pembangunan infrastruktur, juga kebijakan tata kelola penyelenggaraan dalam negeri lainnya di level hajat hidup rakyat. Dipercayai negara telah berhasil hadir untuk rakyatnya, dapat mengkapitalkan potensi kerakyatan di segala bidang, bukan semakin mengokohkan dominasi oligarki.

Dibaca juga bahwa, atas fakta bumi emas tanah airku, rakyat saat ini telah mampu membiayai hidupnya terutama pada kebutuhan dasarnya, seperti hal pendidikan, kesehatan dan makanan. Bahwa, minyak goreng terjangkau, gas melon subsidi tidak sering menghilang dengan harga terjangkau, tercukupinya makanan rakyat dengan protein tinggi, seperti ikan, susu, daging, ayam, dsb. juga ketaatan dalam membayar aneka pajak.

Di bagian lain, ditafsirkan bahwa rakyat telah dibawa pada lompatan hal produktivitasnya di semua bidang, terutama sektor produksi. Karena, isu mencetak buruh-buruh baru di tengah pesatnya industrialisasi kapital global, itu hanya isu semata, alias tidak terbukti.

Kesimpulannya, Songkok Senapaten presiden Jokowi tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia Emas 2045 nyata peta jalannya, atas keperwiraan kebijakan Jokowi yang berdaulat. Jangan pula dibaca bahwa Songkok Senapaten Jokowi tersebut adalah kode feodalistik bahwa dinasti Jokowi telah lahir. Jokowi menjadi presiden, anak dan anak mantu menjadi kepala daerah. Itu hak dari setiap warga negara untuk berpolitik.

Terkait

Terkini