Songkok Senapaten dan Rungkat, Tafsir Kosmologi Jawa Indonesia Emas “World View”
Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka!
Indonesia Tak Boleh Rungkat
Diakui atau tidak bahwa sejarah orang-orang Nusantara adalah manusia-manusia spiritualitas yang bebas dari jerat agony materialistik. Dalam konteks ke-Indonesiaan saat ini, jerat agony materialistik yang dimaksud hemat penulis adalah, bahwa kekuatan nilai spiritual sebenarnya mampu meletakkan hal agony – materialistik yang condong berorientasi pada bentuk pembangunan (isme) saat ini, ke dalam kebutuhan/porsi yang pas. Maka, orientasi pada revolusi mental atau pembangunan manusia Indonesia seutuhnya adalah mutlak sebagai alas.
Dari ide dan gagasan di ruang spiritual, menjadikan rumusan ilmu pengetahuan, yang selanjutnya menjadi wujud kekaryaan, bahkan hingga legacy kultural masa depan. Bagian ini perlu diperhatikan bila dipercayai sebagai konstruksi menuju Indonesia Emas 2045.
Dari cerminan pakaian adat Nusantara di pentas peringatan hari kemerdekaan di Istana Merdeka tersebut, khususnya pada Songkok Senapaten yang dikenakan presiden, terlebih presiden Jokowi berasal dari kultur Jawa yang mempercayai hal kosmologi Jawa. Seperti kala menyatukan tanah-tanah se-Indonesia dalam peletakan batu pertama pembangunan IKN di Kalimantan.
Ya, kosmologi Jawa yang didalamnya berupa khazanah spiritual berisi landasan filosofi (filsafat), yang fundamental, eksistensial, atas tema, nilai, emosi, dan etika yang normatif, harus menjadikan poros pencerah dalam setiap tindakan kita dalam bahtera berbangsa dan bernegara.
Maka, pandangan Jawa menilai bahwa segala sesuatunya harus ada kebijaksanaan spiritual. Memandang dunia seperti proyeksi Indonesia Emas 2045 haruslah menyeluruh, mulai dari orientasi kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat yang mencakup banyak aspek, spiritual dan material.
Konsep kehidupan yang kadang dikerdilkan sebagai ajaran/piweling/tanda alam/sasmita yang mistis, otak-atik gathuk, (menghubung-hubungkan), bagi manusia modern itu sah-sah saja, tapi tidak dalam konteks pandangan kebudayaan spiritual-supranatural Jawa, bahwa itu semua adalah satu kesatuan paduan atas kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik kekuatan alam maupun Tuhan, seperti dalam tulisan S. Pitana, 2007.
Dari gelaran peringatan kemerdekaan di Istana Merdeka tersebut, Songkok Senapaten yang dikenakan oleh presiden Jokowi sudah tepat, seperti yang penulis uraikan di atas, mengandung pesan keberanian dan kedaulatan Indonesia. Perkara kondisi real rakyat saat ini dan proyeksi Indonesia Emas 2045 dari kebijakan yang diambilnya sudah tepat atau belum tepat, itulah PR-nya.
Namun kiranya, penulis beranggapan bahwa nilai kosmologi Jawa terutama pada kepemimpinan sifat Jawa, juga memenuhi aspek sumbangsih dalam hal etika lingkungan. Ini sebagai bentuk implementasi real selain penerapan nilai-nilai etik.
Kepemimpinan atau penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara oleh seisi didalamnya, alangkah baiknya bila berpandangan, bahwa alam semesta sebagai bagian dari makrokosmos (jagat gedhe), sedangkan manusia di posisi sebagai makhluk alam (jagat cilik) untuk tidak berbuat eksploitatif terhadap tatanan alam (kosmos). Ini terkorelasi dengan semangat pembangunan (isme) yang dibaca sudah kebablasan, yang terjebak pada kepentingan ekonomi sebagai keutamaan.
Dalam filsafat Jawa, yang berorientasi pada nilai kesempurnaan, memang berbeda dengan point of view ala filsafat barat yang berpijak pada rasionalitas. Meski keduanya sebenarnya di titik akhir mempunyai tujuan yang sama. Seperti konsep “Hamemayu Hayuning Bawana”, sebagai bentuk kehidupan yang selaras, antara manusia dan kehidupan alam semesta (Masruri 2013).
Untuk itu kiranya, pembangunan Indonesia harus dimulai oleh para penyelenggara negara atau pemerintahan di semua level dengan sikap ngangkah, artinya berniat dan bersungguh-sungguh terhadap pekerjaannya. Bersungguh-sungguh di sini untuk berpihak kepada rakyat yang mana mereka sadar bertindak sebagai poros cendekiawan.
Selanjutnya, sengebet-ngebetnya mewujudkan Indonesia yang maju dalam aspek ekonomi dan keuangan, haruslah bertindak dengan cara ngikut, yaitu menjauhkan perilaku yang dapat merusak alam atau meninggalkan problem ekologi, harus dihentikan, karena tanggung jawab negara adalah keberlanjutan (sustainable).
Langkah yang ketiga, kemudian ngiket, atau diikat atau difokuskan dalam menuju tujuan yang sebenarnya, yaitu tujuan manusia Indonesia seutuhnya. Bila itu tercapai, hal ekonomi akan menyertainya. Maka hendaknya, ada tiga elemen penting sebagai bentuk rambu-rambu yang harus dijadikan konstruksi pembangunan, yaitu; guruloka (pikiran), janaloka (hati), serta indraloka (hawa nafsu) untuk berhati-hati dalam bertindak. Konteks kekiniannya, Indonesia harus kembali merekonstruksi konsep pembangunannya, tidak sekedar narasi globalisasi – liberalisasi yang bagian itu, kepentingan global hanya sekedar berbisnis belaka.
Dalam penyajian lagu Rungkat disertai joged gembira di Istana Merdeka tersebut, memang tidak ada yang salah. Hanya saja, penulis tidak sependapat. Secara etik itu kurang pas. Istana sebagai kedaton atau rumah bagi raja haruslah sakral. Baik buruknya pemimpin, kedaton adalah tempat paling utama dalam mengambil keputusan besar akan kelangsungan sebuah negeri. Maka wajib dijaga kesakralannya, jangan sampai energi negatif sekecil apapun masuk di dalamnya (steril). Bila para kawula (rakyat) ingin berdemo, atau berjoget ria sepuasnya telah ada infrastruktur kota untuk mengekspresikan hal itu, seperti lapangan atau Alun-alun.
Terlebih, Istana Merdeka mendendangkan lagu Rungkat, yang makna lagunya adalah roboh:tumbang:ambruk, seperti pohon yang rungkat, tercabut hingga seakar-akarnya.
Dalam pandangan spiritual – supranatural dan makna simbolik di dalamnya, tidak menampakkan koherensi antara spirit Songkok Senapaten dengan isi lagu Rungkat. Justru dibaca secara supranatural sebagai sasmita atau perlambang, “jangan-jangan” apakah itu tanda-tanda Indonesia akan rungkat/roboh. Entah, rungkat ekonominya, alamnya, kekuatan politiknya, juga hilangnya kedaulatan Indonesia di semua aspek.
Semoga, dendang Rungkat di Istana bukan tanda alam atau sasmita alam dan peringatan Tuhan akan rungkatnya Indonesia. Semoga ini hanya imajinasi penulis saja, alias sedang nglindur saja, atau bila sepakat dijadikan refleksi perjalanan Indonesia merdeka selama 78 tahun.
Sebuah permohonan oleh penulis di HUT Kemerdekaan RI Ke-79 tahun 2024, semoga tidak ada lagi joged ria di Istana Merdeka.
Istana Merdeka adalah kedaton agung milik rakyat, simbol negara di luar bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan menurut UU 24 Tahun 2009, melainkan simbol spiritual kepemimpinan negara, karena di situlah kebijakan besar lahir untuk menentukan kelangsungan Indonesia.
Istana Merdeka adalah poros utama bagian dari kosmologi spiritual Nusantara untuk menjaga asa Indonesia terus ada. Tak boleh Rungkat seisinya, tak boleh habis-habisan, yang pada akhirnya rakyat berebut makan antar saudara sendiri, sedangkan Tuan dan Nyonya pergi tak pernah kembali. Merdeka! (asm)
B. Ari Koeswanto ASM | pemerhati budaya Nusantara
Serba Liberal, Bagaimana Capres 2024? Hadirnya Negara untuk Rakyat yang Sehadir-hadirnya!
Menolak Pengesahan Revisi UU Desa! Hal Penambahan Masa Jabatan Kades & Dana Desa
Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law! (Pencabutan Mandatory Spending 5% APBN, Justru Minimal 10-20%)
Orkestrasi Peta Koalisi Capres, Sebuah Keniscayaan antara “Titah Panglima” hingga “Gerbong Kosong Belaka”