Spirit Menjaga Trah, di Tengah Hasrat Individualistik
Tujuan filosofisnya tak lain adalah agar tidak saling melupakan satu sama lain (kepaten obor).
Nusantarapedia.net — Spirit Menjaga Trah, di Tengah Hasrat Individualistik
“Interaksi sosial yang ada dalam komunitas trah akan melahirkan hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (mis, gejala ekonomi, politik, hukum, dsb) yang akan menguntungkan kehidupan manusianya sendiri.”
“Kalimat tersebut menjelaskan bahwa sejarah penguasa Mataram Islam adalah keturunan orang-orang besar, baik dan hebat.”
Di musim halalbihalal, kita sering menemukan kelompok yang menamakan diri trah menggelar kegiatan akbar pertemuan seluruh anggota yang masih ada dalam garis keturunan trah tersebut. Nuspedian, apa itu trah?
Kata trah lebih dikenal di masyarakat Jawa, khususnya masyarakat keraton karena istilah ini sejak dulu digunakan oleh keluarga Raja ataupun keluarga ningrat untuk menunjukan keturunan. Namun, kini mengalami pergeseran. Penggunaan kata trah oleh masyarakat umum kini sudah biasa untuk menunjukan hubungan atau garis keturunan.
Menurut KBBI, kata trah memiliki “lema” yang kurang-lebih sama dengan ‘wangsa.’ Yaitu; [1] keturunan raja; keluarga raja. [2] bangsa. Seiring perkembangannya yaitu yang berawal dari kerajaan Mataram Kuno dengan corak Hindu-Buddha, istilah wangsa itu sendiri digunakan untuk menyebut suatu dinasti, bukan lagi trah. Sebagai contoh adalah Wangsa Syailendra, ataupun Wangsa Sanjaya.
Ketika Mataram Kuno berakhir, berganti Mataram Islam, maka istilah wangsa pun berubah menjadi trah. Hal ini tergambar dalam sebuah ungkapan yang akrab pada masa kerajaan Mataram Islam hingga kini, yaitu “Trahing kusuma, rembesing madu, wijining naratapa, tedhaking andana warih,” yang kurang-lebihnya memiliki arti “keturunan bunga rembesan madu, benih pertapa, dan turunan orang-orang besar. Kalimat tersebut menjelaskan bahwa sejarah penguasa Mataram Islam adalah keturunan orang-orang besar, baik dan hebat.
Jadi, tak heran jika kita sering menemukan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah mengadakan helat pertemuan trah. Yang artinya, pertemuan yang dihadiri oleh kelompok keluarga yang masih ada garis keturunan yang di’trah’kan. Misalnya, Trah Karto Dimejo, berarti anak cucu Karto Dimejo dan semua keturunannya termasuk dalam trah tersebut.
Jadi trah adalah sesuai dengan yang dikutip dari laman Wikipedia, adalah sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain. Terdapat suatu buku/catatan silsilah yang biasanya menjadi rujukan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan itu. Hubungan kekerabatan ini kadang-kadang tidak hanya bersifat biologis tetapi juga sosial, dalam arti ada anggota yang diangkat (karena adanya perkawinan kedua atau adopsi, umpamanya) walaupun tidak terkait secara biologi.
Pertemuan-pertemuan keluarga trah biasanya menyajikan aktivitas yang bertujuan agar semua anggota turut serta dalam kegiatan tersebut. Ini dimaksudkan agar setiap pertemuan semua anggota tetap hadir. Tujuan filosofisnya tak lain adalah agar tidak saling melupakan satu sama lain (kepaten obor). Contoh kegiatannya adalah, arisan keluarga, di mana semua anggota wajib berpartisipasi dengan alasan tersebut di atas. Ada juga setiap akhir tahun mengagendakan kegiatan outing bersama untuk menjaga kekompakan.
Mengumpulkan angggota keluarga dalam satu trah memungkinkan banyak sebab dan faktor. Silsilah panjang dan memperjelas siapa moyangnya (nasab) adalah dasar dari terbentuknya keluarga besar trah. Tujuan ideal mengumpulkan keluarga yang tergabung dalam trah adalah menjaga eksistensi keluarga, dengan tetap menjaga nilai luhur, aspek kekeluargaan, gotong royong, dan nilai solidaritas.
Mengumpulkan kembali anggota keluarga dalam satu trah ini setidaknya sudah dilakukan (kembali) oleh masyarakat kita sejak sepuluh tahun terakhir, di mana penggunaan teknologi digital sedang panas-panasnya menjangkiti masyarakat modern. Kehidupan individual begitu kental di masyarakat kekinian. Gadget telah mengambil alih komunikasi dan interaksi sosial.
Di masa-masa ini saat teknologi mendominasi segala urusan, komunikasi verbal dengan sesama manusia menjadi moment langka. Koordinasi tetap melibatkan teknologi apapun bentuknya. Terlebih keluarga, dengan teman pun sudah jarang kita temukan komunitas yang intens bertemu dan mengobrol serius face to face. Virtual meeting sudah mengambil alih budaya itu.
Inisiasi pengumpulan anggota keluarga dalam satu trah adalah langkah luar biasa dalam menekan individualitas. Setidaknya ada komunikasi yang lebih intens (baik verbal maupun virtual) dari pada mereka yang tidak bergabung dalam kelompok trah.
Semenguasai teknologi komunikasi macam apapun, manusia tetaplah sebagai makhluk sosial, yang pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan yang lainnya. Pandangan Sosiologi terhadap penyelarasan fungsi-fungsi sosial dan kebutuhan manusia: adalah Interaksi sosial. Dalam pandangan Habermas disebut dengan Tindakan Komunikasi. Sosiologi Komunikasi perspektif kajian sosiologi tentang aspek-aspek khusus komunikasi dalam lingkungan individu, kelompok, masyarakat, budaya dan dunia.
Interaksi sosial yang ada dalam komunitas trah akan melahirkan hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (mis, gejala ekonomi, politik, hukum, dsb) yang akan menguntungkan kehidupan manusianya sendiri. Sosiologi komunikasi melihat bagaimana manusia berinteraksi dengan media, bagaimana efek media sebagai akibat dari interaksi tersebut, dan bagaimana perubahan dan konsekuensi sosial yang ada di masyarakat sebagai akibat dari efek media.
Teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa komunikasi sebagai bagian dari perilaku sosial yang mengandung makna sosial, baik komunikasi verbal maupun non-verbal. Komunikasi non-verbal disebabkan oleh penggunaan media sebagai perantara. Kekuatan internet yang mendukung komunikasi via media elektronik sangat mendukung interaksi hingga lintas negara sedunia. Kecepatan penerimaan pesan mempermudah memahami arti interaksi itu sendiri.
Terdapat dua pengertian mengenai interaksionisme simbolik atau teori interaksi yang diutarakan oleh para ahli, yaitu;
Herbert Blumer, mendefinisikan interaksionisme simbolik atau teori interaksi simbolik sebagai sebuah proses interaksi dalam rangka membentuk arti atau makna bagi setiap individu. Komunitas trah meskipun terhubung melalui teknologi komunikasi yang dikemas dalam grup virtual, di dalamnya memiliki pola interaksi sosial yang lebih dalam. Pembentukan komunitas trah merupakan proses pembentukan interaksi yang lebih bermakna.
Scot Plunkett, mendefinisikan interaksionisme simbolik sebagai cara kita belajar menginterpretasi serta memberikan arti atau makna terhadap dunia melalui interaksi kita dengan orang lain. Trah, sebagai cara memahami masing-masing karakter anggota keluarga. Ikatan silsilah atau keturunan memberi warna interaksi yang berbeda dan lebih bermakna dari pada bukan trah.
Trah di Tengah Individualisme Masyarakat
Kemunculan komunitas trah memberi warna tersendiri dalam mencerminkan sebuah kelompok yang memiliki tujuan yang jelas dan menyatukan. Berbeda dengan komunitas yang tidak berdasar silsilah hanya terbentuk karena kesamaan kepentingan di mana ketika anggota sudah tidak selaras dengan kepentingan, ia bisa keluar sesuka hati dari komunitas tersebut. Berbeda ketika dasar berkomunitas karena kesamaan silsilah, keberlangsungan keanggotaan menjadi tahan lama karena ada nilai-nilai di dalamnya yang diperjuangkan, yaitu keutuhan keluarga besar. Ini nilainya jauh lebih besar dari kepentingan itu sendiri.
Trah menjadi sarana mengembalikan fitrah manusia yang senang bersosialisasi, berkumpul, bergotong royong. Oleh karena perkembangan peradaban teknologi fitrah itu semakin bias dan bergeser. Manusia modern menjadi memilih dunianya sendiri berteman dengan teknologi yang bisa mengantarkannya pada dunia luar yang lebih mencerahkan. Kemunculan trah, sejenak mengembalikan mereka pada fitrahnya dari individualisme yang melenakan.
Individualisme berkepanjangan akan berakibat; kehilangan rasa solidaritas terhadap sesame, egoisme yang tak terbatas, kesulitan dalam bersosialisasi. Belakangan telah kita saksikan bagaimana kita hidup di tengah lingkungan yang miskin empati, kental bullying dan sikap acuh tak acuh. Masih ingat, pemberitaan media yang mengulas kematian seorang lansia hingga sebulan tidak diketahui orang-orang sekitarnya. Merunut sebab, individualisme adalah sebab utamanya. Manusia modern sibuk dengan urusan digitalnya hingga melupa ada manusia lain yang butuh uluran, sapaan dan senyuman kita.
Kemunculan komunitas berdasar trah adalah salah satu cara menekan individualitas tersebut. Tanpa meninggalkan perkembangan teknologi, aktivitas trah tetap bisa memanfaatkan teknologi digital untuk tetap dapat menyambungkan kepentingan. Bahkan teknologi bisa menyediakan kemudahan untuk berinteraksi agar keberlangsungan trah terjaga.
Zinidin Zidan, Kena Mental dan Dramaturgi
Obyek Itu Bernama Perempuan
Lagu ‘Pok Amai-amai’, dan Konstruksi Sosial
Kemunduran Attitude, di Tengah Masifnya Pendidikan Karakter
Prepegan, Tradisi Penjaga Pasar Tradisional
Peran E-Commerce Bagi Ekonomi Kreatif di Bulan Ramadan
Sejarah Wonogiri, Jejak Perlawanan Raden Mas Said
Mabok ISBN, Akhirnya Ditegur, Ayo Sadar Mutu!
Simpang PB VI Selo, Patung Pakubuwono VI Simbol Perjuangan Melawan Belanda
Pesanggrahan Pracimoharjo Paras Boyolali, Miniatur Keraton Surakarta
Meminta Pemerintah Lindungi Tenaga Kerja di Era Digitalisasi Industri
Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)