Status Justice Collaborator Eliezer Tidak Dianggap?

- Berbicara tentang tuntutan hukum di pengadilan, berarti juga merepresentasikan kehendak masyarakat -

19 Januari 2023, 20:13 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Status Justice Collaborator Eliezer Tidak Dianggap?

Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH UBAYA Surabaya

“Mata publik mengarahkan harapannya kepada majelis hakim agar memberikan putusan seadil-adilnya terutama untuk RE sebagai justice collaborator.”

ADANYA reaksi keras dari warganet dan terutama pengunjung sidang pembacaan tuntutan pidana penjara 12 tahun terhadap Bharada Richard Eliezer (RE). Wajar respons publik merasa aneh terhadap tuntutan 12 tahun penjara untuk Richard Eliezer pada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Pasalnya, dinilai adanya kehendak masyarakat dan terutama  keluarga korban yang tidak diakomodir.

Dari aspek proses peradilan pidana, maka eksistensi dan kewenangan Lembaga Kejaksaan mewakili rasa keadilan masyarakat dan atau korban. Keinginan keluarga dan atau korban tindak pidana kepada lembaga penegak hukum yang satu ini dalam memberikan suatu tuntutan adalah mewakili oleh negara untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan korban, bukan untuk siapa-siapa.

Dalam hal ini, Penuntut Umum (PU) dalam membuat tuntutan kepada terdakwa RE pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, bukan hanya dalam konteks normatif yang dilihat, tetapi rasa keadilan masyarakat.

Berkaca pada tuntutan terhadap terdakwa PC (Putri Candrawati), KM (Kuat Maruf), RR (Ricky Rizal) masing-masing 8 tahun, wajar publik jagat Tanah Air kecewa dan curiga kepada tim PU dalam tuntutan pidana penjara ini bertindak mewakili negara dan keadilan bagi masyarakat kecil atau kepada oknum-oknum tertentu dalam persidangan tersebut?

Berbicara tentang tuntutan hukum di pengadilan, berarti juga merepresentasikan kehendak masyarakat.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga termasuk merasa kecewa dengan tuntutan yang diperoleh RE. Walaupun LPSK sangat menghormati dan memahami tuntutan PU adalah wilayah kewenangan independen yang tidak bisa diintervensi dari manapun dan oleh siapapun.

RE, pemuda dari kampung menjadi polisi adalah suatu berkat. Pria jujur lugu terbukti tidak mau hidup dengan penuh tipu daya atas sandiwaranya FS (Ferdy Sambo) dan PC memberanikan diri menghadap Kapolri menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Padahal awal kasus ini penuh rekayasa dan tipu daya, justru atas keberanian dan kejujuran RE tabir kebohongan ini terkuak.

Tetapi aneh, PU tidak bergeming terbukti  tuntutan penjara 12 tahun. Status justice colloborator RE tidak dianggap. Jujur ada suatu keanehan. Padahal dalam praktik berperkara, ketika keluarga korban Brigadir Yosua sudah memaafkan perbuatan RE dan memohon agar dituntut rendah seharusnya menjadi pertimbangan, ternyata tidak dianggap oleh PU.

Mata publik mengarahkan harapannya kepada majelis hakim agar memberikan putusan seadil-adilnya terutama untuk RE sebagai justice collaborator. Hal ini sesuai Pasal 10 ayat 2 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.

Semoga semboyan hakim bahwa “Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sungguh terbukti melalui “palu” majelis hakim dalam putusan perkara kematian Brigadir Yosua.

Pakai Barang Sitaan, Oknum Polres Sikka Sewenang-wenang

PT Ruang Berpikir Jernih Menuju Pemilu yang Bermartabat
“THE ONLY ONE WHO CREATE THE PRESIDENT” Yakinlah! Megawati Tidak Mendapatkan Alasan Menolak Ganjar
Tolak! Revisi UU Desa Perpanjangan Jabatan 9 Tahun, Bila Revisi Sekalian “UU Pemerintahan Desa”
YLBHI: Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Sekedar Retorika dan Ilusi

Terkait

Terkini