Tahap Tarikat Inti dari Tashawwuf
- Jika dalam syariat eksistensi kemanusiaan yang ciri khasnya adalah memerankan fungsi akal (logika) itu harus kita maksimalkan dan optimalkan, secara bertahap peran akal mulai dikurangi agar fungsi perasaan lebih dominan, pada tahap tarikat -
Nusantarapedia.net, Gerai | Resensi — Tahap Tarikat Inti dari Tashawwuf
Jika dalam syariat eksistensi kemanusiaan yang ciri khasnya adalah memerankan fungsi akal (logika) itu harus kita maksimalkan dan optimalkan, secara bertahap peran akal mulai dikurangi agar fungsi perasaan lebih dominan, pada tahap tarikat.
SETIAP mukmin dituntut untuk menjadi muslim kaffah (seutuh dan sepenuhnya) yang secara terperinci telah dituangkan dalam konsep syariat Islam. ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam agama Islam secara utuh dan sempurna (kaffah) dan janganlah kamu mengikuti langkah setan sebab sesungguhnya setan itu adalah musuh nyata bagimu (Q.S. Al-Baqarah, 208)”.
Proses menjadi muslim kaffah melalui syariat membutuhkan perjuangan yang berat dan panjang. Perjuangan di dalam bersyariat inilah tashawwuf, yakni upaya menghakikatkan syariat melalui tarikat untuk mencapai makrifat.
Ketika kita akan memasuki perjuangan dalam tashawwuf—yang dituntut pertama kali ialah istikamah dalam syariat. Akan tetapi, pada saat kita sedang menjalani tarikat, di sinilah perjuangan kian berat sebab kita harus bertarung dengan hawa nafsu dan setan yang senantiasa menghalangi perjalanan kita menuju hakikat. Jadi, tahap tarikat inilah sebenarnya inti dari tashawwuf (hlm. 128). Bahkan, syariat dan tashawwuf merupakan hal yang mulazim atau melekat tidak terpisahkan (hlm. ii).
Jika dalam syariat eksistensi kemanusiaan yang ciri khasnya adalah memerankan fungsi akal (logika) itu harus kita maksimalkan dan optimalkan, secara bertahap peran akal mulai dikurangi agar fungsi perasaan lebih dominan, pada tahap tarikat. Pada saat inilah dalam diri kita ada pergolakan, tarik-menarik antara tugas dan cinta. Pada sisi syariat, kita harus memenuhi hak dan kewajiban kita sebagai kepala keluarga, orang tua, tokoh masyarakat, pemimpin, dan seterusnya, sedangkan pada sisi lain kita harus bertawakal, bersabar, ber-qana’ah, dan ber-riyadlah yang lain sebagai upaya pencerahan rohani (tazkiyatun nafs) yang merupakan upaya mematikan nafsu diri untuk mejadi diri yang hakiki. Hal itulah perjuangan dan seperti itulah tashawwuf.
Buku yang terdiri atas lima bab pembahasan ini mengajak pembaca untuk mengalami sendiri perjalanan rohani. Dengan cara ini, penulis yang juga pengasuh Yayasan Kelompok Ad-Dzikir Sumenep menegaskan bahwa sebenarnya sufi ber- tashawwuf merupakan hal biasa. Seorang sufi bukanlah orang istimewa, melainkan juga tetap sebagai manusia biasa. Hal yang istimewa, yakni kemauan keras (irodah) para sufi untuk ber-tashawwuf sebab ingin mencapai posisi (maqam) dari Tuhan meskipun hakikatnya (tercapai atau tidaknya) masih sangat bergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah semata. Hal inilah yang ditegaskan-Nya dalam Q.S. Al-Insan, 29—31).
Peresensi Edi Warsidi, tinggal di Bandung. Alumnus Sastra Indonesia FIB Unpad. Kegiatan tulis-menulis ditekuni sejak 1991 sampai sekarang. Selain menulis, ia juga menjadi pengajar LB untuk Mata Kuliah Bahasa Indonesia, Literasi, Penulisan Artikel, dll. di STAI Sabili Bandung dan Universitas Winaya Mukti (Unwim).
Perjalanan Pencarian Jati Diri dan Cinta Sejati
Memang Jodoh, Novel Semiautobiografi Marah Rusli
Kisah Autisme dalam Novel
Melihat Jejak Masa Lalu Melaka
Aalsmeer: Tempat Lelang Bunga Terbesar di Dunia