Tawa Di Balik Derita, Cerita Kelam Tradisi Panjat Pinang
Berangkat dari hal-hal itulah mental kompetitif dan menjatuhkan sesama anak bangsa lahir, hingga menjadi pewarisan kultural saat ini di segala bidang.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Tawa Di Balik Derita, Cerita Kelam Tradisi Panjat Pinang
“Budaya saling jegal, saingan, berebut atau rayahan untuk mendapatkan material, kedudukan, kekuasaan, adalah hal yang telah umum dilakukan. Padahal melanggar nilai-nilai keluhuran, kemanusiaan, keadilan dan keadaban bagi golongan yang mampu berfikir, yaitu manusia. Disitulah, bung, mental feodal!”
Hari ini tanggal 17 Agustus, kita sambut detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan penuh syukur atas karunia-Nya. Bangsa Indonesia memasuki usianya yang ke-77 sejak ikrar kemerdekaan tahun 1945 yang lalu, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta.
Rangkaian panjang perjalanan bangsa untuk membentuk menjadi negara yang berhak menentukan nasibnya sendiri dengan berdaulat dilalui tidak mudah.
Sejak era perdagangan dunia marak, banyak bangsa-bangsa di dunia datang ke Indonesia (Nusantara) untuk tujuan ekonomi dan bisnis, karena kenyataannya akan kekayaan hasil alamnya. Dinamika selanjutnya menjadikan bentuk baru lahirnya era kolonialisme.
Sebelum wilayah Nusantara dikuasai bangsa Portugis, Belanda, Inggris maupun Jepang, wilayah Indonesia dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Selanjutnya, Belanda berhasil menguasai Indonesia melalui pintu kekuasaan kerajaan. Agen by design pun dimulai.
Para agresor dalam upaya untuk menguatkan posisinya di Indonesia, segala cara dilakukan. Dari hal fisik hingga aspek kultural. Secara budaya, Belanda berhasil masuk ke dalam wilayah kultural bangsa, kemudian, lahirlah politik divide et impera atau politik pecah belah. Cara mengadu domba sesama bangsa sendiri untuk melanggengkan kekuasaannya terus dilakukan. Hasilnya selama 280 hingga 350 tahun kolonialisme subur di Indonesia dalam definisi “penjajahan.”
Tradisi merayakan hari kemerdekaan, umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan kegiatan hiburan dan aneka perlombaan yang dibuat meriah. Salah satu lomba yang paling populer, yaitu “panjat pinang,” selain perlombaan yang lain seperti, balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, dsb.
Panjat pinang atau istilah lainnya penek pucang:cembrengan, merupakan lomba yang paling populer. Panjat pinang yang selama ini kita kenal adalah, sebuah perlombaan yang di gelar di tengah lapangan atau di atas sungai, dengan pohon pinang atau pohon bambu dengan diberi olesan oli supaya licin ketika dipanjat.
Para pemanjat untuk memperebutkan berbagai macam hadiah yang di gantung di puncak dari sebatang pohon pinang atau bambu yang ditancapkan cukup dalam batang pohonnya. Kemudian batang pohon tersebut diikat dengan tali sebagai penahan agar pohon pinang tidak roboh. Diadakan di tengah lapangan atau di atas sungai dengan maksud sebagai pengaman peserta lomba agar tidak cidera jika jatuh.
Menurut Hamdi Akhsan, penulis sejarah Indonesia. Panjat pinang yang sekarang selalu memeriahkan acara hari kemerdekaan, ada cerita kelam di balik kemeriahan lomba panjat pinang ini.
Sebagian orang menilai jika lomba panjat pinang merupakan simbol kerja sama antar tim atau kelompok, dimana dengan pembagian tugas. Setiap tim/regu atau kelompok terdiri dari 4 sampai 5 orang, tergantung dari ketinggian batang pohon pinangnya, rata-rata ketinggian batang antara 5 sampai 6 meter, kalau pohon bambu bisa sampai 10 meter.
Peserta yang bertubuh besar ditempatkan pada posisi paling bawah, kemudian peserta bertubuh sedang akan menempati pijakan kedua, di atas peserta bertubuh besar tadi, kemudian disusul sampai peserta yang memanjat pada posisi selanjutnya hingga puncak, dengan ditempatkan orang yang bertubuh tinggi, agak kurus atau jangkung.
Kerja sama tim mutlak diperlukan, guna meraih kemenangan mendapatkan hadiah yang ditempatkan di puncak, sampai bisa meraih dengan memanjat ke atas mengambil berbagai hadiah di atas batang pinang. Hadiah berupa sepeda, barang elekronik, pakaian, uang dan hadiah lainya melambai-lambai di atas puncak batang pinang.
Panjat pinang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, saat itu panjat pinang biasa diselenggarakan pada acara hajatan besar yang dilakukan orang-orang Belanda, seperti acara pernikahan, ulang tahun, serah terima jabatan, dsb, saat itu pesertanya adalah orang-orang pribumi.
Warga pribumi yang hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan akibat penjajahan, harus saling injak menginjak tubuh dan kepala kawannya, hanya demi memperebutkan berbagai hadiah yang digantung di puncak batang pohon pinang yang sudah dilumuri bahan pelicin. Sementara orang-orang Belanda duduk makan roti dan minum bir, tertawa terbahak-bahak, menyaksikan orang-orang pribumi saling injak kepala untuk memanjat berebut barang mewah.
Penduduk pribumi dengan susah payah berebut bahan makanan dan pakaian, yang mana saat itu keduanya merupakan barang berharga yang sangat langka dan mewah, tentu saja mereka tidak mudah untuk mengambil hadiah tersebut karena licinnya batang pinang. Orang-orang Belanda sengaja menciptakan permainan tersebut agar orang pribumi kesulitan mengambil hadiahnya, sebagai maksud hiburan bagi mereka.
Tradisi hiburan panjat pinang selalu ada, setiap kali merayakan hari kemerdekaan, terus diulang-ulang, mungkin kemeriahan lomba ini melebihi kemeriahan upacara bendera yang diadakan untuk memperingati dan menghargai jasa para pahlawan.
Apakah kemudian masih pantas untuk mengikuti atau menyelenggarakan tradisi panjat pinang? Sebuah tradisi yang dibuat oleh penjajah, dengan mentertawakan dan menghinakan bangsa pribumi? Tradisi yang kembali membuka luka lama tentang penderitaan rakyat Indonesia.
Berangkat dari hal-hal itulah mental kompetitif dan menjatuhkan sesama anak bangsa lahir, hingga menjadi pewarisan kultural saat ini di segala bidang. Budaya saling jegal, saingan, berebut atau rayahan untuk mendapatkan material, kedudukan, kekuasaan, adalah hal yang telah umum dilakukan. Padahal melanggar nilai-nilai keluhuran, kemanusiaan, keadilan dan keadaban bagi golongan yang mampu berfikir, yaitu manusia. Disitulah, bung, mental feodal!
Peringatan Kemerdekaan RI di Era Digital
”Bung, Merdeka!”
Tema dan Logo HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia (Rl) Tahun 2022
Mensyukuri Kemerdekaan
Menanti Detik-detik Proklamasi Indonesia Besok, Hari Ini Presiden Sampaikan Pidato Kenegaraan