Tembang Pangkur Sindiran untuk Manusia Modern
- diharapkan kita mampu untuk mencapai tahapan religious, tanpa hal doktrinasi maupun dogma, murni berdasarkan hal yang Transenden, karena manusia itu sendiri pasti ada “Spot God” (tempat tuhan) di dalam dirinya -
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sastra — Tembang Pangkur Sindiran untuk Manusia Modern
Oleh : Krisna Wahyu Yanuar, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
“Mengapa manusia pada hari ini mengalami kejenuhan dan kelelahan yang hebat, hidupnya terlalu diatur oleh sebuah sistem atau kumpulan manusia yang rumit, dan pada akhirnya ia kehilangan prinsip dalam berkehidupan.”
TEMBANG Macapat merupakan nuansa kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, pada zaman dahulu macapat merupakan sebuah seni dalam memaknai kehidupan, dan kemudian ditembangkan menjadi sebuah syair irama yang merdu sesuai titi laras. Sederhananya macapat merupakan sastra kuna yang memiliki pakem tertentu. Dalam sejarahnya asal mula macapat atau didefinisikan “membaca empat-empat” sebuah syair, kidung, gubahan. Menurut beberapa ahli sastra jawi, tembang ini diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Sri Banjar Sari di Sigaluh sekitar tahun 1279 Masehi. Dan juga ada yang mengatakan tembang ini dibawa oleh para wali untuk menyebarkan Islam. (Haidar, 2018)
Tembang Macapat dengan Manusia
Seluruh tembang macapat ada konektivitas dengan kehidupan manusia, maka setiap yang terkandung terkadang memiliki nilai-nilai filosofis sekaligus eksistensialis. Eksistensialnya adalah dimana tembang tersebut representasi manusia sebagai cermin untuk manusia lainya dalam menanggapi suatu fenomena. Misalnya tembang Mijil yang bermakna keluar, merupakan fase dimana manusia keluar dari rahim ibunya dan semata-mata menggenggam hakikat ia sebagai manusia. Mijil bersinonim dengan kata lawing, juga bermakna tumbuh-tumbuhan yang berbunga yang baunya wangi. Untuk macapat Maskumambang berarti emas, sesuatu yang berharga dan kumambang yang mengapung, sebuah sindiran untuk manusia ketika ia dalam rahimnya merupakan suatu yang berharga menjadi manusia, atau juga berasal dari kata premas yaitu punggawa dalam upacara shaministis. Kumbang dari kata Ka dan Ambang atau kamwang dan kembang. (Noviati, 2018)
Sinom yang berarti juga si enom, fase dimana manusia mengalami proses awal kehidupan, atau juga perkumpulan pemuda untuk membantu menemukan tujuannya di dunia ini. Tetapi ada juga menurut pendapat lain bahwa sinom merujuk upacara anak muda zaman dahulu. Kemudian Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama atau sebuah benda menunjukan sisi simbolis sebagai tuntunan untuk mencari suatu pelajaran yang baik.
Untuk tembang Asmarandana berasal dari kata asmara dan dhana yang menunjuk dewi percintaan, menggambarkan manusia yang dilabuh asmara membakar jiwa. Tembang Gambuh yang berasal dari kata jumbuh atau kecocokan juga berarti ronggeng, tahu, terbiasa, dimana manusia akan terbiasa dan cocok atas asmara yang sedang dijalinnya. Untuk tembang bermetrum Dhandhanggula yang bermakna kata dandang yang berupa penanak nasi, gula yang bermakna manis, memiliki nilai filosofis masa dimana manusia sudah berhasil membina rumah tangga, kata ini juga diambil dari nama raja Kediri Prabu Dandang Gendis. (Noviati, 2018)
Tembang Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau atau bahasa filosofisnya “munduring tata krama”, fase dimana manusia ada kalanya mengalami keimanan yang menipis, yang terkadang cenderung bisa berbuat jahat maupun baik tergantung nafsunya.
Sedangkan tembang Pangkur merupakan kata yang diambil dari piagam-piagam jawa kuna. Dalam Serat Purwaukara, pangkur diberi arti buntut atau ekor, juga bisa dimaknai “mungkur”, maksudnya ada dimana manusia harus meninggalkan hawa nafsu yang negatif yang menggerogotinya. Untuk tembang Megatruh berawal dari awalan am, pegat dan ruh yang berarti, putus atau pisah, atau “Megat- Ruh” fase dimana manusia diangkat rohnya dan kembali kepada “sangkan paraning dumadi”. Yang terakhir tembang Pocung yang berasal dari nama biji kepayang, dalam bahasa lain bisa dimaknai “Pocong”, yang mana manusia yang sudah dibungkus kain kafan dan dipertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan. (Noviati, 2018)
Itulah tematik tembang macapat, semua memiliki dimensi yang berbeda, dan memiliki karakteristik yang berbeda pula, keberagaman itu merujuk suatu objektifikasi yakni manusia sebagai “Homo Sentris”, yang mana keberadaan manusia beserta perlengkapanya dalam kehidupan.