Tilik Simbah-Milik Simbah, Borobudur Penjaga Identitas Kultural

Tak heran bila saat ini gairah kebudayaan bangsa terhadap sejarah masa lalu sebegitu kuatnya. Signal kebudayaan asli (warisan leluhur) terus mengemuka di Jawa khususnya dan umumnya Nusantara (Indonesia), hadir sebagai simbol-simbol di ruang-ruang baru

6 Juni 2022, 16:23 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Tilik Simbah-Milik Simbah, Borobudur Penjaga Identitas Kultural

“Wajar saja, romantisme tersebut tidak hanya sebagai sesuatu fenomena yang dibuat-buat (by desain politik) meski itu ada. Namun apa adanya telah melahirkan sebuah ingatan, kerinduan dan keterkaitan antara masa lalu dan saat ini. Keterkaitan tersebut sebagai sebuah ikatan kultural dalam satu kesatuan wilayah (entitas) kebudayaan. Terlebih sebuah ingatan besar akan kesejarahan leluhur dengan tingkat peradaban yang tinggi.”

GOOD GOVERNANCE, dalam hal ini Good Government, adalah tata laksana yang baik berupa seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik negara (pemerintahan) maupun swasta untuk menentukan keputusan.

Tata laksana yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu tujuan akan menjadi sempurna, namun paling tidak mendekati tujuan yang ideal. Apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan, kewenangan dan kepentingan-kepentingan.

Secara pemerintahan, suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanat konstitusi. Dengan demikian diperlukan good will (niat baik) dari para penyelenggara organisasi (negara), baik secara politik dan administratif hingga praktik di lapangan sesuai dengan fakta.

Niat baik tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, berkeadaban. Dalam konteks amanat konstitusi bagaimana tujuan maju, adil dan makmur dapat tercapai oleh segenap bangsa dan negara, dalam artian rakyat.

Good governance (government) pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan seluruh isi di dalamnya bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.

Saat ini sedang viral rencana pemerintah menaikkan harga tiket masuk Candi Borobudur, yang disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan.

Diketahui, pada Sabtu (4/6/2022), dilansir dari nusantarapedia.net, Luhut Binsar Panjaitan mengeluarkan pernyataan terkait dengan pengembangan kepariwisataan Candi Borobudur, salah satunya menyangkut kenaikan HTM (Harga Tiket Masuk) Candi Borobudur.

“Kami juga sepakat dan berencana untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur sebanyak 1.200 orang per hari, dengan biaya 100 dollar untuk wisman dan turis domestik sebesar 750 ribu rupiah. Khusus untuk pelajar, kami berikan biaya 5.000 rupiah saja,” kata Luhut.

Untuk HTM wisatawan mancanegara, bakal tarif sebesar 100 dollar AS jika dirupiahkan setara dengan Rp 1.443.000, dihitung dengan kurs Rp 14.400.

Menurutnya, langkah tersebut diambil demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara.

Dari informasi yang berkembang, bahwa tiket untuk wisdom (wisatawan domestik) sebesar Rp.750 ribu tersebut bagi yang ingin naik sampai ke puncak candi. Apabila tidak sampai ke puncak, tarif tetap berlaku sebesar Rp.50 Ribu, dalam artian tetap masuk di kawasan candi.

Adanya wacana tersebut, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, namun tetap saja ada yang pro. Beragam pendapat dari politisi dan opini publik masyarakat dari berbagai perspektif telah menjadi viral.

Muncul kecurigaan dan dugaan-dugaan. Apakah wacana tersebut benar-benar akan diterapkan, atau sekedar “prank” untuk mengalihkan perhatian publik atas kepentingan-kepentingan/isu-isu (maksud dan tujuan) politik. Prank yang dimaksud misalnya, membuat teori konflik/gaduh, setelah itu ada pahlawan yang muncul dengan seolah-olah bijaksananya dengan pernyataan wacana kenaikan tersebut batal.

Ataukah, manajemen (konflik) informasi publik seperti di atas untuk mengalihkan perhatian atas rivalitas politik dan tujuan politis, misalnya agar pamor dari gelaran Formula E di Jakarta meredup karena terselenggara dengan sukses, agar kenaikan harga minyak goreng menjadi lupa, ataukah sudah tidak kondusifnya kabinet guna kepentingan masing-masing pada langkah 2024 mulus, ataukah isu-isu yang lain.

Ataukah juga, spekulasi wacana kenaikan tersebut memang karena negara sedang dalam keadaan gawat kondisi keuangannya, hingga segala potensi yang menghasilkan uang terus di maksimalkan sampai benar-benar terserap potensinya dengan kalkulasi-kalkulasi bisnis. Dalam artian untuk mencicil menutupi kekurangan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara).

Selain itu, kenapa juga harus Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri Kemaritiman dan Investasi Indonesia, padahal urusan kepariwisataan seharusnya menjadi tupoksi domain Menparekraf (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) dalam hal ini Sandiaga Uno. Kenapa Luhut selalu menjadi “bumper” dari setiap keputusan-keputusan besar.

Fadli Zon, selaku legislator, menyematkan sebuah nama jabatan kepada Luhut dengan julukan “Menkosaurus” (Menteri Koordinator Segala Urusan).

“Yang perlu diurus tak diurus. Yang tak perlu diurus malah diurus, bikin urusan baru. #Menkosaurus. Tulis Fadli di akun Twitter-nya.

Sementara itu, Rocky Gerung di Youtube FNN Hersubeno Arif mengatakan bahwa, “Kekuasaan Luhut Sampai di Puncak Borobudur,” bagai seorang Perdana Menteri.

Dan masih banyak lagi reaksi dari masyarakat Indonesia perihal wacana kenaikan tarif tiket masuk tersebut.

Lantas, logiskah langkah kenaikan HTM tersebut diambil demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Dimanakah letak korelasinya, antara langkah menjaga kelestarian budaya dengan menaikkan tarif. Terdapatkah koherensinya? bahwa upaya pelestarian tersebut hanyalah alih-alih saja karena fokus dari kebijakannya langsung menuju pada point kenaikan tarifnya sebagai langkah ekonomi, bukan langkah praktis konservasi/pelestarian, terlebih edukasi.

Tentu, dalam hal ini, lagi-lagi persoalan ekonomi dan bisnis (uang) telah benar-benar menjadi “Dewa” dengan seribu narasi yang dibuat dengan alasan kelestarian candi itu sendiri. Namun lupa, bahwa candi sebagai benda mati sejatinya masih hidup dan tersambung sebagai monumen hidup (living monument) oleh masyarakat karena ikatan kebudayaan. Ikatan kebudayaan atas sejarah (historis) dan spirit sebuah peradaban bangsa. Dalam hal ini bangsa Jawa dalam wilayah kebudayaan Borobudur.

Inilah kemudian pembangunan (isme) Indonesia benar-benar telah membuat “uang” menjadi “Dewa”, hubungan historis sebagai landasan kultural bangsa dari proses peradaban yang panjang harus tersandera dalam permainan politik ekonomi dan keuangan. Lantas, di mana lagi landasan kultural bangsa diletakkan sebagai sebuah pondasi.

Terkait

Terkini