Tobbyas Ndiwa, Kuasa Hukum Kapolres Nagekeo Bantah Tuduhan Framing Sepihak TPDI

Nusantarapedia.net, Nagekeo, NTT — Tobbyas Ndiwa membantah framing sepihak oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang selama ini terus didengungkan terhadap Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata.
Hal itu disampaikan Tobbyas Ndiwa melalui keterangan resminya usai dia dan rekannya Oscar Rasi dari TOV Lawyer Jakarta ditunjuk sebagai Kuasa Hukum Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata S.I.K, S.H., berdasarkan surat kuasa Nomor: 080/TOV/V/2023 per-tanggal 02 Mei 2023.
“Saya menganggap apa yang disampaikan kawan-kawan TPDI terlalu sumir dan sepihak,” kata tokoh Nagekeo yang akrab disapa bung Tobbyas ini kepada nusantarapedia.net, Rabu, (03/05/2023).
Menurut Tobbyas, TPDI seharusnya mengedepankan asas imparsialitas alias tidak memihak dalam membuat berita, kecuali sudah adanya keputusan yang memastikan kliennya bersalah melalui proses sidang etik.
“Yang dituduhkan kepada klien kami selama ini, dalam istilah hukum, itu premature. Mengapa, karena proses di Mabes saja belum, kok sudah menyimpulkan dan menuntut pencopotan, ada motif apa sih?,” tanya Tobbyas.
Dia menegaskan, narasi-narasi yang disampaikan dan menyudutkan kliennya sangat sarkas dan tidak adil dari sisi perlindungan hukum maupun moral. Bagaimanapun, lanjut dia lagi, kliennya juga sama sebagai warga negara juga berhak mempunyai hak perlakuan yang sama di depan hukum.
“Siapa saja sih, sebagai pihak pengadu, seperti apa uraian kronologi peristiwa, lalu apa saja kerugian hukumnya, kan, harus ada alasan hukum yang jelas dan runut sebagai legal standingnya. Hal ini perlu saya sampikan ke publik, karena TPDI sudah terlebih dahulu memvonis dan melakukan ‘playing victim dan toxic’ terlebih memframing di media massa tuntutan pencopotan klien kami,” lugasnya.
“Memangnya TPDI itu lembaga peradilan kah untuk mengadili sesorang. TPDI menggunakan metode apa dalam menyimpulkan menyikapi persoalan ini, yang salah satu poinnya menuntut pencopotan klien kami. Barang bukti valid dan saksi-saksi hasil investigasi di lapangan apa saja, dengana siapa saja yang diwawancarai. Masa hanya dari Jakarta, lalu menyimpulkan dari potongan video, dan naras-narasi yang beredar di sosial media, kemudian dijadikan rujukan menuntut pencopotan Kapolres. Kalau begitu TPDI mengalami degradasi kredibilitas yang luar biasa dalam prinsip penegakan hukum yang transparan dan akuntable. Karena hanya menggunakan hasil investigasi sosial media, tetapi tidak melakukan investigasi secara holistic,” tambah Tobbyas.
Ia juga mempertanyakan perihal metode investigasi yang dilakukan oleh TPDI kemudian menuntut Kapolres Nagekeo agar dicopot dari jabatannya.
Menurut Tobbyas, justru keterangan yang dihimpun oleh pihaknya, hingga saat ini belum ada pihak TPDI maupun tim investigasi independen lainnya yang mendatangi Nagekeo, kecuali tim dari Polda NTT yang informasi sementara bahwa tidak ada kesalahan yang dilakuakan kliennya.
“Ataukah mungkin TPDI memiliki perangkat canggih ‘cyber crime investigation’ sendiri yang bisa mendeteksi dan menyimpulkan secara detail sebuah barang bukti hasil dugaan tindak kejahatan melalui informasi elektronik? Wah canggih dong! Kapan pihak TPDI mendatangi dan melakukan investigasi secara utuh di Nagekeo terutama kepada pihak-pihak yang berkaitan. Siapa saja yang diwawancarai termasuk barang bukti valid apa saja yang menjadi pegangan. Apabila tidak pernah dilakukan investigasi maka ini off side, ikut membuat kegaduhan publik Nagekeo. Karena telah mendahulukan kesimpulan tanpa melewati proses sebagaimana proses sidang etik bagi anggota Polri yang diadukan. Apalagi keterangan yang kami himpun, sampai saat ini belum ada pihak TPDI maupun tim investigasi independen lainnya yang mendatangi Nagekeo. Kecuali tim dari Polda NTT, yang informasi sementara, tidak ada kesalahan yang dilakuakan klien kami. Bicara hukum hal yang paling utama adalah kwalitas fakta, bukan naras-narasi,” lirihnya.
Diutarakan bahwa, dalam prinsip negara hukum yang berlaku secara equal, siapapun boleh mengadu atau melaporkan seseorang atau pemimpin suatu institusi pemerintahan, apabila diduga melanggar hukum atau telah melakukan perbuatan tercela, termasuk pengaduan TPDI kepada kliennya.
Menurut Tobbyas, seharusnya TPDI mengedepankan asas ‘presumption of innocence’, meski ini dalam kaitan dugaan pelanggaran kode etik dalam dimaksud, semua aduan harus diuji validasinya baik barang bukti, maupun keterangan saksi-saksi yang benar-benar mengetahui, melihat dan mendengar semua peristiwa secara runut dan utuh.
“Saya tegaskan ini masih dugaan. Tapi dalam faktanya selama ini, TPDI langsung membuat framing seolah telah terbukti klien kami bersalah. Yang prosedural, dong, ada tahapan proses, apa benar klien kami terbukti bersalah atau tidak. Dipanggil ke Mabes Polri saja belum, proses sidang etik saja belum, putusan sidang etik saja belum, kok secara massif membuat isu menuntut pencopotan klien kami, dengan narasi-narasi berupaya meyakinkan kepercayaan publik. Ingat ya, semua aduan harus diuji validasinya barang bukti, maupun keterangan saksi-saksi yang benar-benar mengetahui, melihat dan mendengar semua peristiwa secara runut dan utuh. Institusi Mabes Polri bukan organisasi abal-abal yang langsung memproses aduan satu pihak. Apabila klien kami dipanggil Divisi Propam Mabes Polri, kami tegaskan tentu ada konsekuensi pidana bagi pihak yang memberi kesaksian palsu atau mengarang cerita yang telah menyeret dan memfitnah klien kami. Dalam waktu dekat kami juga akan mendatangi Mabes Polri untuk membeberkan bukti-bukti versi klien kami. Biar fair, mari kita sama-sama menunggu, dalil-dali, bukti dan kesaksian pihak mana yang diterima,” tandas Tobbyas.
Selaku kuasa hukum Kapolres Nagekeo, Tobbyas meminta TPDI stop membuat gaduh yang terkesan provokatif dan menggiring opini di media, apalagi mulai mencari dukungan menggandeng banyak pihak, seolah di Nagekeo mengalami kegentingan yang luar biasa, faktanya saat ini di sana tetap aman damai.
Masyarakat tetap berjalan aktifitas dengan normal. Petani, nelayan dan pelayanan publik berjalan seperti biasanya, tak setegang yang terjadi seperti di media dan dunia maya. Taka ada pembelahan kelompok secara membabi buta di Nagekeo seperti yang digembar-gemborkan TPDI.
“Meski saat ini Bupati dan DPRD diam membisu. Kalau terus menggiring opini publik tentang drama sangkur oleh karena potongan video dianggap meresahkan dan menyeramkan, maka banyak orang luar NTT pun merasakan hal yang sama saat pertama datang ke NTT khusunya di Nagekeo dan Ngada. Melihat budaya kita yang selalu membawa parang ke mana-mana. Menurut kita itu hal biasa, bagi mereka itu menyeramkan. Lalu seandainya hal demikian misalnya kita praktikan di pulau Jawa dll., dengan membawa parang ke mana-mana. Saya yakin Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 pasti menjerat orang-orang kita. Mungkin bagi kita itu hal biasa, namun bagi mereka itu pengalaman yang juga menyeramkan dianggap berbahaya. Kira-kira itu bagaimana? Atau mau UU tersebut diterapkan di NTT, saya yakin masyarakat kita akan demo besar-besaran menganggap negara tidak menghargai budaya kita. Padahal yang terjadi saat itu, klien kami sedang diskusi dengan warga Kawa yang menunjukan kesetiaannya sebagai parjurit Bhayangkara sejati bukti kesetiaan kepada bangsa dan negara. Iya, kalau menonton hanya sepotong penggalan video yang beredar luas, ya, terkesan negativ. Beda halnya apabila sangkur itu diarahkan kepada seseorang yang hadir di situ, maka hal itu tidak dibenarakan secara etika yang bisa masuk dalam kategori pengancaman. Menilai sebuah konten harus secara sempurna, bukan dengan cara sepotong-sepotong lalu menghakimi orang lain. Itu bukan tindakan yang bijak, apalagi tuduhan pelanggaran hukum dan kode etik. Hal lain, dalam konsepsi kepolisian, polisi mempunyai banyak cara dan strategi dalam hal pendekatan, memediasi konflik antar kelompok di masyarkat maupun dalam penegakan hukum pidana. Saya pikir semua advokat profesional yang sering mendampingi perkara pidana pasti paham tentang hal dimaka
sud,” jelasnya.