Tolak Jabatan Kades Skema 9X2! Bukan Pula 6X3, Dorong Revisi UU Desa 5X2

- Tidak terciptanya regenerasi kepemimpinan di desa dengan waktu yang ideal, harus menunggu lama, berakibat pada gairah demokrasi menjadi apatis bagi generasi muda -

20 Januari 2023, 23:41 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Tolak Jabatan Kades Skema 9X2! Bukan Pula 6X3, Dorong Revisi UU Desa 5X2

“Masa jabatan Kepala Desa yang paling ideal adalah skema 5X2, yaitu masa jabatan lima tahun, dapat dipilih kembali selama dua periode baik jeda maupun langsung. Justru inilah poin bila revisi UU Desa mengandung urgensitas”

UNTUK kedua kalinya, penulis “urun rembug” ihwal wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun 3 periode menjadi 9 tahun 2 periode.

Pada tulisan sebelumnya, bahwa kedudukan Desa terhadap negara saat ini masih belum jelas meskipun telah terbit Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa), bahwa negara membagi wilayahnya ke dalam pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota, tidak kepada Desa. Desa adalah bagian dari Kabupaten/Kota. Maka, penafsiran UU Desa bukan dimaknai sebagai pemberian otonomi desa seluas-luasnya, sebagaimana otonomi daerah pada Kabupaten.

Jika memang Desa benar-benar diberikan kedudukan sebagai pemerintahan otonom di tingkat desa (Pemerintah Desa), maka revisi UU Desa dirubah dengan nomenklatur UU Pemerintahan Desa, sebagaimana Undang Undang No 32 Tahun 2004 yang telah dirubah menjadi UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Percuma saja kalau revisi UU Desa hanya menyangkut Pasal 39, yang mana perubahan dengan skema 9X2 adalah merusak/memundurkan demokrasi.

Bunyi Pasal 39 Ayat (1) dan (2) :
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Seperti diketahui, unjuk rasa para Kades melalui asosiasi/forum kepala desa seluruh Indonesia ke DPR beberapa hari yang lalu dengan tuntutan merevisi UU Desa dengan substansi; terkait masa jabatan Kades, yang mana saat ini jabatan Kades selama 6 tahun dengan tiga kali batasan pencalonan (3 periode), menjadi 9 tahun masa jabatan kades selama 2 periode, serta tuntutan yang lain mengenai pengelolaan dana desa, moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, dll. Namun stressing-nya pada poin masa jabatan pada Pasal 39 UU Desa.

Bak “gayung bersambut” atau “bersambut gayung”, unjuk rasa yang “murni” atau “by design,” yang jelas arahnya bisa ditebak, diduga-duga dan dibaca.

Yang jelas kata Budiman Sudjatmiko mewakili Presiden Jokowi dan sepertinya dirinya sendiri, ia setuju dengan perpanjangan jabatan. Rerata pimpinan DPR, Fraksi-fraksi juga setuju, sepertinya mulai dari tokoh Sufmi Dasco Ahmad, Cak Imin, Sinyal Gerindra, pihak Kementerian Desa, dan deretan tokoh lainnya.

Secara mekanisme pintu telah dibuka untuk dilakukan pembahasan revisi UU Desa antara DPR dan Pemerintah, Badan Legislasi pun tinggal mencari celah penjadwalan.

Intinya, Pemerintah dan DPR bisa memuluskan (mudah saja) skema perpanjangan jabatan 9X2 dengan merevisi UU Desa. Argumentasi substansi dan teknis pembahasan sudah pasti dengan narasi yang gahar, kalau memang para penyelenggara memutuskan merevisi skema 6X3. Kalau penulis sangat setuju bila benar-benar dilakukan revisi dengan skema 5X2, bahkan revisi menjadi UU Pemerintahan Desa. Bila tidak, tetap tidak setuju alias menolak. Tolak!!

Tahun 2024 adalah Pemilihan Umum, aneka pemilihan dari Pileg, Pilpres dan Pilkada dihelat. Harus jujur diakui, raja dari segala raja yang punya kuasa ada para Kepala Desa. Mengapa? Budaya pemilu yang terjebak pada politik elektoralisme yang transaksional, wani piro, dsb., tidak hanya terjadi pada Pemilihan Kepala Desa saja, biting demi biting, gundul demi gundul adalah perebutan suara yang mutlak dilakukan dengan segala cara agar menang. Pendek kata, diduga-duga dan dibaca-baca, para partai-partai, bahkan individu-individu, kekuasaan-kekuasaan, tidak ingin kehilangan suaranya di tingkat desa, karena jumlah Kelurahan/Kota seluruh Indonesia hanya 8.506 Kelurahan, sedangkan Desa sejumlah 74.961. Artinya, lumbung suara itu ada di Desa. Maka by design-nya, Kades diposisikan dalam bargaining politik tukar tambah. Dan, tentu tidak ingin kehilangan bassis masa gras root di tingkat Desa. Sederhana saja, Kades adalah figur paternal di Desa.

Yang jelas, siapa pun tidak usah kawatir lah, suara akan ambruk di desa-desa. Toh masih banyak celah untuk mengamankan suara.

Argumentasi Tolak Jabatan Kades Skema 9X2

Terkait

Terkini