Tradisi Nyumbang, Benteng Sosial Bagi Masyarakat
Atau kembali ke spirit tradisi nyumbang tempo dulu. Yaitu spirit kerelaan, spirit gotong-royong, yang penuh dengan ruh persatuan tanpa harus membebani anggota masyarakat lainnya.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Tradisi Nyumbang, Benteng Sosial Bagi Masyarakat
Oleh : Dr. BRM Kusumo Putro SH, MH
“Jelas, dalam budaya atau tradisi sumbang-menyumbang tersebut, sarat akan nilai-nilai positif kearifan lokal. Misalnya tentang persatuan, juga keberagaman status sosial atau ekonomi yang bisa melebur menjadi satu tanpa diskriminasi apapun.”
– Celakanya lagi, pejabat sekelas Bupati, Mentri, DPR, bahkan mungkin hingga Presiden, justru memberikan kesan tegas, terkait sumbangan kapital tersebut. Semakin tinggi jabatannya, tentu yang diundang juga kolega yang status atau strata sosialnya tinggi. Sehingga sumbangan diprediksi bakal menggelembung fantastis. Bahkan UU gratifikasi sepertinya juga tak mempan –
SEKARANG ini, setiap musim hajatan, banyak orang merasa pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu seminggu, atau bahkan hanya dalam sehari, sudah menumpuk surat undangan hajatan.
Dengan kata lain, yang menerima undangan, harus bersiap merogoh kocek ekstra. Tentunya untuk menyumbang dalam acara hajatan tersebut. Jika kebetulan kondisi ekonomi sedang tidak longgar, itulah saatnya mereka pusing tujuh keliling.
Karena jika tidak menyumbang, tentu akan mendapat sanksi sosial. Jikapun tidak menjadi gunjingan, setidaknya yang bersangkutan akan merasa malu sendiri. Jika memang begitu perkembangannya, lalu budaya nyumbang dalam masyarakat kita sekarang ini, masihkah layak untuk dipertahankan?
Budaya nyumbang atau memberikan sumbangan, seharusnya menjadi budaya yang sangat luhur. Dalam sejarah budaya nyumbang, terkandung banyak sekali makna positif.
“Budaya nyumbang itu sendiri, sebenarnya sudah menjadi tradisi dari kearifan lokal masyarakat Jawa. Bahkan juga menjadi bagian tradisi, untuk seluruh adat atau masyarakat di seluruh Nusantara,” terang Kusumo Putro yang juga ketua dari Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM), saat ditemui beberapa waktu lalu.
Hal tersebut, karena spirit atau semangat nyumbang didasari atas jiwa gotong-royong. Dimana inti dari semangat gotong-royong adalah bersatu untuk mewujudkan sesuatu. Dengan semangat gotong-royong, maka semua merasa berkewajiban untuk ikut andil dalam sebuah event, ataupun sebuah ide gagasan dalam komunitas atau koloninya.
Karena dilandasi semangat gotong-royong, maka mereka menyumbang, atau mendonasikan segala kemampuan berdasarkan sifat kerelaan atau sukarela. Baik harta, ataupun tenaga mereka sumbangkan dalam wujud keguyuban atau gotong royong tersebut. Misalnya dalam hajatan perkawinan.
Bagi yang punya uang, akan menyumbang uang. Bagi yang punya barang, misalnya bahan makanan juga akan menyumbang bahan makanan. Seperti sembako, palawija, sayur-mayur, buah-buahan, dll. Bagi yang mempunyai material mungkin juga akan menyumbang material. Seperti kayu, semen, atau pasir, jika kegiatan tersebut memang memerlukan tambahan pembangunan fisik.
“Sementara bagi yang merasa tidak mempunyai uang atau barang, juga dengan bersemangat menyumbang atau membantu dalam bentuk tenaga. Entah apapun yang bisa dikerjakan dalam event tersebut, mereka akan menyumbangkan tenaganya tanpa pamrih. Karena semua demi semangat gotong-royong tersebut,” papar Kusumo lebih lanjut.
Jelas, dalam budaya atau tradisi sumbang-menyumbang tersebut, sarat akan nilai-nilai positif kearifan lokal. Misalnya tentang persatuan, juga keberagaman status sosial atau ekonomi yang bisa melebur menjadi satu tanpa diskriminasi apapun.
Selain itu, tradisi tersebut juga menjadi semacam benteng sosial bagi masyarakat. Artinya menjadi semacam pertahanan atau solusi terakhir dalam memecahkan sebuah masalah.
Faktanya, tradisi nyumbang itu, tak hanya hadir dalam sebuah perhelatan atau hajatan keluarga saja. Namun juga dalam kegiatan yang sifatnya kolektif. Seperti kerja-bakti dalam membangun sesuatu. Atau juga kegiatan tertentu yang fungsi atau dampaknya melibatkan semua warga yang ada.
Tradisi nyumbang, sekaligus mengajarkan kepada masyarakat dan setiap generasi, bahwa dalam hidup ini, kita tidak sendirian. Anggota masyarakat lainnya, sebagai makluk sosial akan selalu hadir dan siap membantu semua masalah kita.
Dengan budaya nyumbang, semua warga tidak merasa kawatir akan gagal dalam sebuah kegiatan yang menjadi tujuannya. Entah itu hajatan, ataupun kegiatan lain. Dengan kata lain, tradisi nyumbang, bisa dianggap meringankan beban anggota masyarakat yang tengah melaksanakan hajat atau upacara selamatan.
Namun seiring perkembangan jaman, budaya nyumbang itu pelan namun pasti mulai bergeser nilainya. Budaya luhur yang semula dilandasi semangat gotong-royong dan kerelaan, kini mulai menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat.
“Apalagi bagi masyarakat yang mungkin hidupnya masih di bawah standar. Dengan adanya kegiatan nyumbang tersebut, jelas akan merasa keberatan. Sudah uang pas-pasan, dan mungkin waktu dan tenaganya juga sebagian besar digunakannya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya,” lanjutnya lagi.
Di sisi lain, sekarang juga sudah jamak, terlebih di kota-kota besar, maupun desa-desa yang berdekatan dengan kota. Bahwa sebuah perhelatan yang terkait tradisi nyumbang. Seperti misalnya hajatan perkawinan, sudah jarang menggunakan sistem gotong-royong terkait dengan pengolahan masakan untuk suguhan atau hidangan pestanya.
Semua rata-rata mengandalkan jasa katering atau jasa boga, untuk memenuhi kebutuhan hidangan, ataupun kerap juga satu paket dengan jasa hiburan dan sewa tenda atau gedungnya.
“Sehingga masyarakat yang dulunya bisa menyumbang tenaga, sekarang seperti tersisih. Dan mau tidak mau dipaksa harus menyumbang dalam bentuk uang,” ujarnya setengah heran.
Dan lebih ironis lagi, di jaman sekarang juga bukan hal yang tabu, saat si pemilik hajatan mengirim undangan dengan embel-embel tulisan “Kami Hanya Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Uang”. Atau yang lebih halus “Kami Tidak Menerima Sumbangan Dalam Bentuk Kado” dan di samping tulisan trersebut ada gambar celengan, kotak uang, ataupun gambar uang.
Sehingga dengan jelas bisa diartikan, sumbangan dalam wujud kado, barang, terlebih tenaga jelas tidak berlaku di sini. Dan lagi-lagi masyarakat dengan kelas ekonomi di bawah standar yang menjadi korban.
Kalau ingin menyumbang, mereka tak punya uang. Kalau nekat tak menyumbang, pasti juga malu. Sementara jika tidak datang, atau tidak menitipkan sumbangan, takut dikira memutus tali silaturahmi. Maju kena mundur kena.
“Bahkan sudah bukan cerita baru, dimana banyak wilayah, masyarakatnya terpaksa harus menjual aset berharganya, seperti sawah, hewan ternak, sepeda motor, kebun, atau perhiasan, demi bisa memenuhi tradisi nyumbang tersebut,” jelasnya.
Tradisi kearifan lokal yang dulunya penuh dengan nilai-nilai positif, kini bergeser menjadi tradisi yang semakin tipis semangat kegotong-royongannya. Malah di banyak kasus, tradisi nyumbang dijadikan semacam bisnis aji mumpung bagi sebagian masyarakat. Artinya mereka sengaja menciptakan, atau mengadakan event hajatan dengan tujuan mengumpulkan uang lewat tradisi sumbangan.
Atau dengan kata lain menjadi tradisi pengumpulan kapital atau modal bagi keluarga yang mengadakan event hajatan tersebut. Bahkan tanpa malu, mereka juga akan mencatat siapa-siapa saja yang nilai sumbangannya mungkin di bawah rata-rata. Atau dianggap di bawah harapan mereka selama ini.
Celakanya lagi, pejabat sekelas Bupati, Mentri, DPR, bahkan mungkin hingga Presiden, justru memberikan kesan tegas, terkait sumbangan kapital tersebut. Semakin tinggi jabatannya, tentu yang diundang juga kolega yang status atau strata sosialnya tinggi. Sehingga sumbangan diprediksi bakal menggelembung fantastis. Bahkan UU gratifikasi sepertinya juga tak mempan.
Tradisi nyumbang yang sekarang menjadi semacam keharusan, jelas sangat membebani sebagian besar masyarakat. Perhelatan atau hajatan, dulunya merupakan wujud syukur atau rasa bahagia dari keluarga yang bersangkutan. Sehingga mereka mengundang banyak orang agar bisa ikut menikmati rasa kebahagiaan tersebut.
Mereka tidak peduli, akan disumbang atau tidak. Juga tidak peduli, akan disumbang dalam wujud uang atau apapun. Bagi mereka yang terpenting motto “Tiada kesan Tanpa kehadiaran anda, benar-benar dipegang teguh.
Bahkan bagi keluarga yang benar-benar mampu, akan mencantumkan kalimat, “Mohon maaf kami tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Sehingga mereka memang murni ingin membagi kebahagiaan, dengan mengundang banyak orang tanpa harus membebani pihak yang diundang.
Nah jika kita sekarang mencermati budaya nyumbang yang ada, sudahkah selaras dengan apa yang dulu dilakukan oleh nenek moyang atau leluhur kita. Tentu saja, tradisi nyumbang perlu revitalisasi.
Atau kembali ke spirit tradisi nyumbang tempo dulu. Yaitu spirit kerelaan, spirit gotong-royong, yang penuh dengan ruh persatuan tanpa harus membebani anggota masyarakat lainnya. (***)
Dr. BRM Kusuma Putra, S.H., M.H | budayawan Solo, Ketua Umum Yayasan Forum Budaya Mataram (FBM) dan Ketua DPPSBI (Dewan Pemerhati Penyelamat Seni Budaya Indonesia)
Perempuan, Sosok Penanggung Hutang
Disabilitas, Jangan Eksploitasi (lagi)! (Refleksi Wheel Chair Day)
Tinjauan Kritis Beban Perempuan dengan Anak Penyandang Disabilitas
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia
Lagu ‘Pok Amai-amai’, dan Konstruksi Sosial
IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan
Sanjungan Batu Sandungan
Buya Syafii Telah Berpulang, Pembaharu Pemikiran Intelektual Muslim Indonesia (1)