Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya
Nyumbang biasa dilakukan pada acara hajatan. Dari hajatan kelahiran, pernikahan hingga kematian. Di masyarakat Jawa Timur nyumbang popular dengan istilah ‘Buwuh’ atau di masyarakat lain ada yang menyebutnya ‘Mbecek’ atau ‘Jagong’.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya
“Perangkat nyumbang yang dibawa seseorang untuk sohibul hajat adalah simbol bagaimana manifestasi gotong royong diwujudkan kendati kini telah bergeser nilainya. Tradisi nyumbang ini membentuk pola perilaku masyarakat bagaimana berpikir sebuah pengembalian yang impas.”
“Nyumbang dalam terminologi tradisi tidak seperti nyumbang dalam arti istilah yaitu memberi ‘Cuma-Cuma’ dan tak mengharap imbalan. Dalam kajian budaya, nyumbang adalah simbol benteng sosial bagi masyarakat.”
Orang Jawa dalam kehidupannya, baik pribadi maupun bermasyarakat memiliki prinsip dan pandangan hidup. Prinsip dan pandangan hidup itulah yang mempengaruhi pola perilakunya.
Prinsip dan pandangan hidup ini tentu mencakup bagaimana hidup seimbang antara hidup sebagai pribadi maupun di lingkungan masyarakat. Kita tentu paham dan mengenal perinsip-prinsip Jawa yang begitu kokoh menjadi prinsip masyarakatnya seperti, ‘Sepi ing gawe, rame ing pamrih’, ‘mamayu hayuning bawono, rukun agawe santosa, dsb.
Prinsip-prinsip di atas bermakna, Sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja tanpa pamrih). Mamayu hayuning bawono (ikut mendukung kebaikan dunia), rukun agawe santosa (kerukunan menumbuhkan keamanan dan kenyamanan). Konsep pemikiran ini menjadi etos kerja orang Jawa, menumbuhkan spirit semangat bekerja dan berbagi saling membantu sesama agar tercipta kerukunan, ketertiban dan keselarasan hidup bermasyarakat.
Spirit berbagi pada masyarakat Jawa termanifestasi dalam bentuk kerja-kerja nyata yang telah menjadi tradisi, misalnya; gotong royong. Gotong royong pada masyarakat Jawa terwujud dalam banyak bentuk. Gotong royong ini bertujuan utama ikut meringankan beban orang lain, dilakukan secara suka rela dan tidak menuntut balasan atau bayaran.
Nyumbang adalah salah satu bentuk gotong royong. Nyumbang juga merupakan tradisi masyarakat Jawa, untuk membantu sesama yang sedang mempunyai hajat. Nyumbang biasanya berwujud pemberian barang dalam bentuk materi baik uang maupun barang. Dahulu, masyarakat Jawa nyumbang dengan memberikan kebutuhan pokok berupa; beras, mi, gula, teh, juga beberapa kebutuhan lain. Kini, masyarakat berkecenderungan memilih barang yang lebih simpel. Akhirnya nyumbang diganti dengan pemberian dalam bentuk uang, lebih simpel dan fleksibel.
Nyumbang biasa dilakukan pada acara hajatan. Dari hajatan kelahiran, pernikahan hingga kematian. Di masyarakat Jawa Timur nyumbang popular dengan istilah ‘Buwuh’ atau di masyarakat lain ada yang menyebutnya ‘Mbecek’ atau ‘Jagong’.
Nilai Nyumbang
Nyumbang berkembang dari masyarakat lampau yang masih sangat kental dan tinggi solidaritasnya. Entitas-entitas berupa paguyuban, kelompok masih banyak sehingga tradisi nyumbang tumbuh begitu subur. Nilai-nilai yang tersemat dalam tradisi ini adalah nilai gotong royong dan guyub rukun. Namun, menariknya tradisi nyumbang masih juga bertahan dan berkembang di masyarakat modern yang sudah kental dengan individualistiknya. Sifat masyarakat modern yang organis ternyata tak serta merta menghilang tradisi nyumbang ini. Hanya saja, banyak nilai-nilai yang kemudian bergeser.
Faktanya, kini nyumbang tidak lagi berangkat dari spirit gotong royong, keikhlasan dan tanpa pamrih melainkan balas jasa yang sifatnya keharusan. Parahnya lagi, nyumbang kini menjadi projek nitip harta, dan projek kapitalisasi. Mengapa ‘nitip’ harta? Ya, harta yang disumbangkan oleh orang lain akan dicatat yang esok suatu hari yang menerima sumbangan memiliki kewajiban untuk mengembalikan dengan nilai nominal yang sama. Kita bisa lihat dengan jelas bagaimana kotak-kotak sumbangan nangkring gagah di dekat pintu masuk ruang resepsi, juga sering kita temukan tulisan yang tersemat di undangan, ‘maaf hanya menerima sumbangan dalam bentuk uang’, bukankah itu projek kapaitalisasi? Yang karenanya nilai-nilai nyumbang yang diwariskan oleh nenek moyang menjadi bias.
Prasetyo (2007) menyebut bahwa tradisi nyumbang merupakan asuransi sosial yang berbentuk sangat sederhana.
Menyumbang merupakan bentuk perilaku masyarakat dalam meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, terlebih dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian masa depan.
Seperti misalnya, seseorang menyumbang banyak materi seperti beras, kambing, ayam, sayur, bumbu dapur, dan sembako yang lain, maka di masa depan dia merasa telah memiliki jaminan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut dari orang yang sudah diberi,
Dari sini terlihat bagaimana konsep menyumbang dengan landasan gotong royong, kerukunan dan keikhlasan telah pudar nilainya. Yang ada adalah budaya ‘titip bandha’ yang suatu saat titipan itu harus dikembalikan. Melihat fenomena ini, spirit gotong royong pun juga semakin surut. Mereka yang tidak mampu ‘mengembalikan’ sumbangan memilih berhutang dari pada digunjing.
Jelas bukan semangat gotong royong lagi yang menjadi landasan, terlebih kerukunan dan keikhlasan. Mereka memaksakan diri agar bisa mengembalikan titipan bandha tersebut. Bagaimana dengan si miskin yang juga takut digunjing dan dikucilkan? Sementara ketika musim hajatan, ‘keharusan’ menyumbang ini tak hanya satu tempat saja. Tentu ini akan menjadi tradisi yang sangat memberatkan, juga merugikan. Alih-alih ingin mengikuti pola kepatutan umum, yang ada malah menciptakan hutang yang menumpuk.
Tak heran, pada perayaan hajatan sekarang ini yang terlihat adalah upaya akumulasi modal sang sohibul hajat (yang punya hajat). Serupa mengumpulkan modal untuk mengganti modal hajatan yang telah keluar dan menyimpan kembali sisanya. Ini sudah bukan rahasia umum. Kendati ada sebagian sohibul hajat yang mengeluhkan justru uang yang terkumpul dari hasil penyumbang tidaklah cukup mengkaver modal untuk acara hajatan.
Ini tentu lebih konyol lagi. Hajatan memiliki nilai berbagi, dalam agama Islam kita mengenalnya sedekah. Nilai-nilai ini yang menjadi spirit ‘wani tuna’, berani rugi karena memang niatnya sesuai dengan nilai yang terkandung dalam konsep hajatan, yaitu berbagi kebahagiaan kepada sesama. Namun, nilai ini pun bergeser. Layaknya berdagang hajatan seolah harus ada ‘turahan’. Setidaknya impas dengan modal yang sudah dikeluarkan.
Tradisi nyumbang dalam hajatan kini tak lagi mengacu pada nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang. Budaya gotong royong sudah dikapitalisasi, nyumbang bukan lagi tentang kerukunan, melainkan keharusan atas alasan ‘pekewuh’ dan tidak enak dsb.
Nyumbang dalam Kacamata Sosiologis
Dasar dari teori interaksionisme simbolik adalah teori behaviorisme sosial, yakni memusatkan diri sendiri pada interaksi alami yang terjadi antara individu dalam masyarakat dan sebaliknya, masyarakat dan individu. Interaksi yang muncul berkembang lewat simbol-simbol yang diciptakan, meliputi kebendaan, gerak tubuh, suara, gerak fisik, ekspresi hingga dilakukan dengan sadar.
Pada simbol-simbol yang dihasilkan oleh masyarakat mengandung makna yang bisa dimengerti oleh orang lain, Herbert menyebut gerak tubuh sebagai simbol signifikan sementara gerak tubuh mengacu pada tiap tindakan yang memiliki makna. Makna yang ada ditanggapi oleh orang lain dan memantulkannya lagi sehingga terjadi adanya interaksi.
Perangkat nyumbang yang dibawa seseorang untuk sohibul hajat adalah simbol bagaimana manifestasi gotong royong diwujudkan kendati kini telah bergeser nilainya. Tradisi nyumbang ini membentuk pola perilaku masyarakat bagaimana berpikir sebuah pengembalian yang impas. Nyumbang dalam terminologi tradisi tidak seperti nyumbang dalam arti istilah yaitu memberi ‘Cuma-Cuma’ dan tak mengharap imbalan. Dalam kajian budaya, nyumbang adalah simbol benteng sosial bagi masyarakat.
Menurut BRM. Kusumo Putro, SH, MH, ketua Yayasan Forum Budaya Mataram (2022), spirit atau semangat nyumbang didasari atas jiwa gotong-royong. Dimana inti dari semangat gotong-royong adalah bersatu untuk mewujudkan sesuatu. Dengan semangat gotong-royong, maka semua merasa berkewajiban untuk ikut andil dalam sebuah event, ataupun sebuah ide gagasan dalam komunitas atau koloninya. Jelas, dalam budaya atau tradisi sumbang-menyumbang tersebut, sarat akan nilai-nilai positif kearifan lokal. Misalnya tentang persatuan, juga keberagaman status sosial atau ekonomi yang bisa melebur menjadi satu tanpa diskriminasi apapun. Selain itu, tradisi tersebut juga menjadi semacam benteng sosial bagi masyarakat. Artinya menjadi semacam pertahanan atau solusi terakhir dalam memecahkan sebuah masalah.
Tradisi Nyumbang, Benteng Sosial Bagi Masyarakat
Perempuan, Sosok Penanggung Hutang
Lagu ‘Pok Amai-amai’, dan Konstruksi Sosial
Sanjungan Batu Sandungan
Wangsa Mataram, Cabang Ningrat Baru
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Aktualisasi Semangat Kebangkitan Nasional Indonesia Sebagai Substansi Bukan Sensasi
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia