Transformasi Pertanian Subsisten Menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pertanian — Transformasi Pertanian Subsisten Menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri
Pertanian dalam hakikatnya merupakan bentuk peradaban manusia dengan ciri pokoknya sebagai masyarakat yang mapan dan menetap. Tidak lagi hidup no maden, telah mengusahakan pemenuhan kebutuhan hidupnya bagi diri sendiri. Juga telah mampu menghidupi entitas perkotaan dengan produksi pangan.
Pengusahaan tersebut berupa praktek budidaya tanaman dan ternak dengan basis awal desa yang umumnya mendiami wilayah-wilayah yang subur. Gunung, lembah, sungai telah melahirkan pengalaman sebagai tempat budidaya berupa sawah, ladang maupun hutan, juga kolam ikan, empang, karamba dan lahan perkebunan.
Dengan demikian, usaha pertanian di dalamnya terdiri dari ruang lingkup yang luas. Tidak hanya mengusahakan budidaya tanaman, namun usaha budidaya ternak/peternakan darat dan air/perikanan termasuk satu kesatuan sebagai definisi pertanian.
Kenyataan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumber daya yang melimpah, telah ditangkap sebagai kesatuan pemahaman bahwa ruh kehidupan bangsa Nusantara adalah petani (jiwo nuswantarane wong nuswantara tanpa bisa uwal datan olah tetanen).
Jadi, bangsa Nusantara tidak bisa terpisahkan dengan budaya pertanian bahkan ditempatkan dalam posisi sebagai spirit kehidupan. Sebuah pondasi yang kokoh, bila pola pembangunan tidak mengikuti struktur pondasinya, tentu mudah roboh dan salah arah.
Lantas, posisi kita saat ini sebagai petani subsisten, tentu tidak! Meskipun masih ada praktek ladang berpindah, bercocok tanam hanya untuk bertahan hidup, atau pertanian yang sangat sederhana tanpa berpikir surplus produksi dan produktivitas, namun itu hanya bagian kecil di Indonesia.
Saat ini sudah berada pada wilayah pertanian semi subsisten dengan terapan alat-alat sistem pertanian, teknologi terapan dan terpadu, juga tujuan ekonomi atau bisnis.
Kelahiran Industri Pertanian
Sejak kedatangan Belanda, terciptalah masyarakat industri di pelbagi bidang terutama pertanian, terlebih fokus kolonial dalam mengelola negara jajahannya pada titik berat industri pertanian melalui pembukaan perkebunan secara massif dengan sistem pertanian monokultur. Fokus pada komoditi unggulan, seperti tebu, kopi, teh, dan sebagainya.
Sejak tahun 1870 diberlakukan politik Tanam Paksa, menciptakan produk pertanian unggulan yang diciptakan untuk membuka lahan ekonomi baru sebagai peluang. Akhirnya, hasil pertanian guna pemenuhan kebutuhan pangan dunia disumbang dari sistem produksi monokultur, hanya sedikit dan pengkhususan di beberapa bagian yang masih ditopang menggunakan sistem subsisten untuk pemenuhan pangan.
Belanda telah membawa pada kultur baru sebagai integrasi masyarakat petani ke dalam budaya industri, dampak dari globalisasi revolusi industri, yaitu terciptanya tenaga kerja yang terserap pada industri pertanian. Babak baru Hindia Belanda dan dunia di mulai.
Terciptanya difusi tanaman dalam klasifikasi yang jelas sebagai komoditi, menjadikan manajemen didalamnya telah maju. Lahir komoditi sebagai budaya untuk banyak kategori, yaitu pertanian industri untuk menghasilkan pangan, obat-obatan, bahan baku non pangan, dan sebagainya.
Pada sektor pangan nabati, komoditi seperti gula, kopi, beras, gandum, buah dan sayuran juga rempah-rempah telah menjadi kesepakatan dunia sebagai bahan pangan yang diusahakan, meski pangsa pasarnya disesuaikan menurut budaya masing-masing. Pangan hewani, telah tumbuh aneka budidaya unggas, sapi, kambing dan aneka perikanan air tawar maupun tambak.
Pada sektor non pangan, pemenuhan bahan baku kapas untuk kain, serta bahan baku pembuatan properti rumah tangga maupun infrastruktur umum telah menjadi kebutuhan pokok disetiap negara.
Dengan demikian, pertanian dari bentuknya yang subsisten telah berkembang menjadi model semi subsistem, dan menemukan inangnya dalam konstruksi “Kapitalisasi Industri Pertanian.” Tidak lagi terkonsentrasi pada hasil budidayanya saja, namun telah melahirkan pengusahaan penunjang produktifitas budidaya.
Alat sistem pertanian diciptakan, pupuk dan obat-obatan diproduksi, sampai penyediaan bibit dengan kultur jaringan telah tersedia. Artinya, industri pertanian yang dimaksud dari hulu sampai hilir bisa diambil potensinya dari sektor non budidaya.
Siapakah yang mampu menangkap peluang itu sebagai potensi ekonomi bisnis yang menjanjikan, bahkan telah terjadi monopoli, lahir kartel dan pemburu rente pada industri pertanian yang lahir dalam asuhan neoliberal kapitalisme. Menciptakan jerat sistem, terjadi ketergantungan, membelenggu dalam tata kelola “demand and supplay.”
Sungguh potensi ekonomi yang sangat besar, karena isu pangan dunia akan menjadi trend di masa depan, setidaknya sudah dimulai sejak abad ke-20 yang lalu.
Sepanjang belum dilahirkannya bayi-bayi cyborg yang asupan makanannya belum bertransfer dari bahan pangan konvensional ke pangan digital (listrik), maka kebutuhan pangan bagi penduduk dunia tetap menjadi kebutuhan pokok sebagai ciri makhluk hidup.
Dimanakah Posisi Indonesia
Demografi dunia yang dahsyat dengan penduduknya berjumlah mendekati 8 milyar manusia (2020), sedangkan Indonesia dengan 300 juta penduduknya, semuanya bergantung pada kebutuhan pangan. Bila diriset, akan ketemu pemenuhan pangan dari sistem subsisten, semi subsisten dan murni pemenuhan dari sektor industri pertanian global sebagai pertanian produksi.
Bila di konversi ke dalam sistem tukar mata uang, berapa potensi uang yang beredar dari perhelatan pangan dunia. Diperlukan analisis outlook pangan untuk mengetahui neraca perdagangan pangan dalam negeri dan dunia.
Namun lagi-lagi diperlukan riset yang jujur, steril dari agitasi monopoli, kartel, rente dan politisasi yang dilakukan oleh oknum global yang telah menginfiltrasi masuk kedalam sistem regulasi negara-negara yang lemah dalam posisi tawar kedaulatannya.
Sudut pandang kita sederhana saja, pertanyannya? lebih berpotensi manakah kita memproduksi dan berjualan di pasar dunia antara barang elektronik, otomotif atau semua produk yang berhubungan dengan tekhnologi, dengan memproduksi komoditi pangan, non pangan dan bahan baku properti dari industri pertanian Indonesia.
Masyarakat Eropa, Amerika, Timur Tengah, akan sebegitu terpesonanya dengan kayu Jati, Sonokeling, Gaharu atau Cendana dari Indonesia. Sangatlah merasakan nikmatnya makan beras Delanggu dan Cianjur, Tapioka Lampung, Kentang Dieng, Kopi Toraja, Gula Pasir dari Jawa, dan lainnya.
Akan begitu senangnya dengan komoditi Kopra, Cengkih, Pala, Kina, Lada, Cabai, Bawang Merah dan rempah-rempah lainnya. Begitu unik dan segarnya buah Kedondong, Salak Bali, Duku Palembang, Matoa Papua, Durian, Rambutan, Apel Malang dan segudang buah-buahan asli khas Indonesia.
Belum lagi Udang Lobster, Ikan Cakalang, Bandeng Juwana, Domba Garut, dan masih banyak lagi. Akan terasa kontradiktif dan ironi bila fokus kita pada strategi produk manufaktur, mungkinkah teknologi otomotif dengan produk mobilnya akan tembus di pasar Amerika, Eropa dan Jepang.
Apakah gadget kita mampu bersaing dengan teknologi komunikasi di pasar dunia, itupun seandainya kita akan bermain di segment itu.
Dari pemikiran sederhana tersebut, bagaimana Indonesia memproyeksikan hal itu dalam kenyataan saat ini. Terdapat dua aspek besar yang menjadi landasannya, yaitu pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Disitulah produktivitas itu nyata yang pada akhirnya otomatis tercipta kemandirian dan kedaulatan ekonomi, dari berbagai sektor yang menitik beratkan pada sistem kapitalisasi industri pertanian.
Swasembada beras, gula, jagung, kedelai harus menjadi prioritas sektor pangan yang mencukupi kebutuhan dalam negeri, sekaligus di bukanya kran ekspor menuju pasar dunia. Tetapi faktanya, konstruksi sektor pangan tersebut belum selesai sampai sekarang terkait dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai.
Pada bagian lain, justru sektor pangan dari kuota impor sangat tinggi, mau beli gula di pasar tradisional sudah tersedia banyak gula, mulai gula lokal, India, maupun Thailand. Mau beli buah untuk aneka hadiah dan parcel, warna warni buah import sudah tersaji. Ingin beras Indonesia atau Vietnam juga tinggal pilih.
Beli bawang merah dari Brebes atau import juga ada. Dan harganya sangat kompetitif, komoditi import lebih murah. Bagaimana proteksi kepada pelaku lokal agar mampu bertahan dan bersaing, meski sangat kompetitif.
Melihat analisis sederhana diatas, bagaimana ini ditangkap oleh pemegang kuasa sebagai landasan mengambil kebijakan, yang mana sebagai tujuan melaksanakan amanat konstitusi. Dengan demikian perlunya menyusun kembali dan menjadikan rencana besar dalam skala prioritas APBN untuk dilakukan;
(1) Merumuskan kembali atau membuat sistem baru pertanian, yaitu konstruksi kapitalisasi industri pertanian Indonesia dari hulu sampai hilir. Termasuk tata kelola niaganya, hubungannya dengan investasi, kedaulatan dan kemandirian ekonomi.
(2) Political Will semua pihak untuk melawan dengan diplomatif dan strategi kebudayaan dalam pemberantasan praktik monopoli, kartel dan rente disemua lingkaran dan tataran.
Jangan lagi, globalisasi yang saat ini sudah masuk dalam revolusi industri 4.0, digital virtual, atau sebagai kelahiran tatanan baru dunia, kita masih berkutat pada kelangkaan pupuk, harga jual panen yang rendah/fluktuatif harga, pangsa pasar yang terbatas, serta banyak persoalan yang perlu dipecahkan dalam kaitannya dengan ekonomi dan keuangan masyarakat.
Kapitalisasi industri pertanian Indonesia yang mandiri adalah impian yang harus diperjuangkan nyata. Tidak anti pada gaya kapitalisme, namun manajemen didalamnya sebagai tujuan bersama harus terkapitalkan dari hulu sampai hilir.
Petani, lahan garapan, pupuk dan obat, alat pertanian, pabrik pengolahan, pabrik pengemasan hingga pasar ekspor diciptakan diseluruh dunia, apapun itu kendalanya harus mampu dilalui.
Biarlah Madura fokus pada jagungnya, Temanggung dengan tembakaunya, Jawa Timur dengan gulanya, Indonesia Timur dengan rempah-rempah dan ikannya, Kalimantan dengan hasil hutannya, Sumatera dengan aneka produk hortikulturanya. Namun kesemuanya itu dari basis kemandirian rakyat, bukan sistem investasi perusahaan global atau persekutuan kelompok besar, yang akhirnya kita hanya mampu menjadi tenaga kerja.
Indonesia tidak kita inginkan menjadi tujuan pasar dunia, karena berdampak pada sistem tata niaga yang melibatkan kalangan akar rumput terjebak pada budaya konsumtif dan jauh dari kata produktif. Sekalipun telah diluncurkan banyak program pemberdayaan, itu hanya ditangkap sebagai upaya saja dan jauh panggang dari api.
Di bagian lain, Indonesia harus kembali pada kesatuan derap langkah pembangunan nasional yang integral, terintegrasi dengan daerah. Jangan sampai penerjemahan sistem otonomi daerah justru sebagai jurus pemecah arah tujuan negara oleh infiltrasi global.
Dengan demikian, transformasi pertanian dari sistem subsisten, semi subsisten, modern, hingga menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri, harus dilakukan dengan serempak dan menyeluruh di wilayah Indonesia.
Kesatuan gerak yang sama akan mampu menghidupi kebutuhan dalam negeri sebagai target swasembada dan ekspor, sebagai komitmen bahwa kita mampu berproduksi dengan produktivitas yang tinggi.
Pada endingnya, semua ikhtiar itu sebagai bagian dari menuju masyarakat yang maju adil dan makmur.
Kami mengajukan usulan dengan judul : Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri Indonesia (KIPMI).
Menakar Kekuatan Rakyat dan Kebijakan Pemerintah dalam Isu Global Krisis Pangan (1)
Pemuda Inspiratif dari Lereng Merapi, “Ora Ternak-Ora Penak”
Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme