Trend Lapor Polisi, di Era Masyarakat Digital

Nusantarapedia.net–Trend Lapor Polisi, di Era Masyarakat Digital
Kesadaran masyarakat tentang hukum patut diapresiasi. Masyarakat banyak membantu aparat polri dalam menegakkan hukum di tengah banyaknya penyimpangan.
Namun belakangan upaya pelaporan itu menjadi masif dan bahkan seperti menjadi trend. Memang, dalam tugasnya Polri itu melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum.
Berkaitan dengan hal ini Polri tidak bisa menolak laporan masyarakat. Tidak lagi hanya politisi, public figure saja yang sering melakukan pelaporan untuk kasus yang tidak terlalu beresensi sekalipun tetapi juga masyarakat biasa.
Era digital merupakan era di mana manusia saling terhubung satu sama lain dengan menggunakan media internet. Di era ini manusia bebas mengakses dan memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya
melalui internet, tidak ada lagi batas wilayah dan batas waktu. Di era digital ini yang menjadi modal dasar masyarakat adalah kepemilikan
informasi, bukan kepemilikan akan kapital lagi. (Ilham Prisgunanto, Komunikasi Pemasaran Era Digital, 2014)
Media sosial mengakomodir banyak kepentingan masyarakat modern. Keberadaannya sangat membantu upaya manusia modern dalam kehidupan sosialnya. Dimulai dari kepemilikan akses informasi dan komunikasi menjadi kebutuhan eksistensi, kepentingan ekonomi (berniaga) hingga kepentingan politik.
Terbukanya akses komunikasi yang sangat luas juga memungkinkan pengguna media sosial bisa berinteraksi dengan banyak kalangan, bahkan hingga lintas negara. Begitu pula kebutuhan informasi, media sosial menyediakan akses yang begitu mudah dan luas.
Statistik Pengguna Internet Dunia dan Indonesia, Medsos Rajanya!
Ada dua konsekuensi yang tumbuh dari sebuah interaksi; integrasi dan konflik. Intensitas sebuah interaksi tak jarang menciptakan sebuah jaringan pertemanan dan afiliasi-afiliasi positif yang bermanfaat.
Berapa banyak orang mendulang kesuksesan karir karena lihainya membangun jaringan sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi. Namun, juga tak jarang karena intensitas interaksi tersebut justru menimbulkan gesekan yang berakhir konflik dan perpecahan.
Kemudahan mengakses media sosial, membuat masyarakat modern mulai berani eksis dan menyuarakan aspirasi tanpa melihat latar belakang personal. Seseorang bisa menjadi apapun yang ia inginkan.
Menyuarakan apapun dan pengguna media sosial lain tidak mengetahui status sosial kita. Hingga akhirnya kebebasan itu memuncaki trend-nya. Lagi-lagi, trend itu ada titik puncaknya yang ditandai sebuah kelompok yang begitu menggebu-gebu beruforia menggunakan media sosial hingga melupakan regulasi dan etika.
Puncak trend ditandai pula munculnya kelompok lain yang bertugas sebagai kontrol sosial. Uforia terjadi ketika sebuah kelompok terlalu vulgar mengaspirasikan kekecewaan di media sosial baik tulisan maupun visual dalam bentuk ujaran kebencian, menyebar berita bohong, fitnah, menyinggung sara dan pornografi maupun pornoaksi.
Tindakan menegur atas penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan bentuk control sosial agar system kembali tertib. Bahkan pelaporan kepada pihak yang berwajib menjadi perlu dilakukan jika teguran tidaklah efektif.
Implmentasinya sudah sering dilakukan di masyarakat digital dewasa ini, banyak sekali kejahatan ‘jempol’ yang berakhir pada proses hukum dan meja hijau. Ini upaya positif masyarakat untuk membantu penegakkan hukum atas kebablasannya penggunaan media sosial.
Namun, belakangan masyarakat semakin tak bisa membedakan upaya control dengan membuat jera pihak lain. Semua butuh proses, upaya kontrol tidak bisa begitu saja dilakukan tanpa melewati proses.
Belakangan kita temui banyak masyarakat yang sedikit-sedikit melakukan pelaporan kepada pihak berwajib atas penyimpangan yang terjadi di masyarakat tanpa upaya teguran terlebih dahulu. Bahkan kadang kala dugaan penyimpangan ternyata tidaklah terlalu esensial dan sifatnya absurd. Padahal pihak Polri pun haruslah obyektif dan profesional dalam hal ini.
Tidak semua laporan harus diproses panjang. Untuk itu Kapolri berupaya memberikan instruksi kepada jajaran di Polda dan Polres untuk membuat pedoman tentang penanganan kasus-kasus terkait pelanggaran ‘Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik’ (UU ITE). Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan langkah ‘dikit-dikit’ lapor polisi. Pedoman tersebut yang dipegang oleh para penyidik polri di lapangan saat menerima laporan.
Gerakan ‘dikit-dikit’ lapor polisi itu sangat meresahkan warga karena seperti upaya mengebiri kebebasan menyampaikan aspirasi. Yang lebih meresahkan, kebiasaan main lapor polisi ini tak hanya menjangkiti para politisi, tetapi juga selebritas dan masyarakat biasa.
Kasihan betul polisi, jaksa dan hakim bila pekerjaannya kini hanya menangani kasus-kasus pengaduan orang, artis ribut, utang piutang, laporan screenshoot-an, drama rumah tangga, konflik antar tetangga dan perkara remeh lain yang tidak jelas unsur pidana/perdatanya. Sementara perkara kriminal lain yang lebih berat saja masih banyak seperti kasus korupsi hingga pembunuhan.
Jika si penyimpang masih memungkinkan untuk diberi edukasi, sebaiknya diedukasi terlebih dahulu. Karena penyimpangan belum tentu sepenuhnya karena kesengajaan, bisa jadi karena memang ketidak tahuan.
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme
Upaya control sosial itu ada beberapa bentuk; sindiran, teguran, baru pelaporan. Jadi, masyarakat yang bijak tentu akan menggunakan fungsi kontrol ini dengan baik dan tidak terburu nafsu untuk melakukan hal yang justru malah menimbulkan kerusakan atau penyimpangan yang baru. Yang paling penting lagi adalah bagaimana mewujudkan masyarakat yang sadar hukum, bukan masyarakat pengadu.
(Oleh: Ika Nidaul Haq, disampaikan di forum Ari Ks Center, 11 Juli 2021)