Tsunami Alat Legitimasi, Ungkap Peristiwa berbasis Geo-Mitologi

15 November 2021, 12:10 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Iptek — Tsunami Alat Legitimasi, Ungkap Peristiwa berbasis Geo-Mitologi

Tinjauan geo-mitologi pada kebudayaan Mataraman dalam mengungkap kasus Tsunami di laut selatan berdasarkan catatan dalam Serat Sri Nata-Babad Tanah Jawi.

Kanjeng Ratu Kidul

Siapa yang tidak mendengar akan legenda yang satu ini, cukup familiar bagi masyarakat Sunda, Jawa maupun Bali, dengan latar cerita di pesisir pantai selatan yang menghadap langsung Samudra Hindia, terutama pada wilayah kebudayaan Mataraman.

Merupakan cerita rakyat, legenda, dongeng maupun mitos, termasuk dalam ranah mitologi. Bumbu mistis yang kental, mempertegas akan keberadaannya.

Tidak sedikit kalangan mempercayai sebagai spirit kehidupan akan adanya kekuatan alam, yaitu penguasa-penguasa alam, meski yang utama adalah ke-Esaan Tuhan dalam konsep monotheisme Jawa-Islam, Kejawen juga kepercayaan lainnya.

Bagi masyarakat dibeberapa etnik umumnya dan khususnya wilayah kebudayaan Mataraman, sosok ini diceritakan sebagai seorang wanita, atau dewi yang berkuasa di kerajaan ghoib laut selatan sebagai Ratu. Dalam pemahaman Jawa, sosok tersebut bernama Kanjeng Ratu Kidul atau juga Nyi Rara Kidul, bahkan ada yang memahami dan menyebutnya Nyi Blorong.

Terdapat banyak versi dan penafsiran mengenai sosok tersebut, namun ketiganya jauh berbeda. Bila Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Rara Kidul adalah tokoh yang sama atau Nyi Rara Kidul sebagai bawahan dari Kanjeng Ratu Kidul. Sedangkan Nyi Blorong adalah sosok siluman ular yang dipercayai sebagai makhluk ghoib penunggu harta. Terdapat kepercayaan, bila ingin kaya raya carilah pesugihan Nyi Blorong.

Keberadaan Kanjeng Ratu Kidul dalam sudut mitologi Jawa modern masih lestari, dan nampak eksis dibanding legenda lainnya, seperti cerita Dewi Sri, Rara Jonggrang atau legenda Joko Tarub-Dewi Nawangsih dan Nawangwulan.

Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa jagad lelembut di laut selatan, merupakan poros utama jagad ghoib, bersama penguasa alam di Gunung Merapi, Gunung Lawu, Alas atau Hutan Ketonggo di Ngawi, juga Alas Purwo di Banyuwangi.

Kesemuanya adalah poros utama portal ghoib penguasa alam jagad ghoib tanah Jawa, bahkan dipercaya sebagai sumber kekuatan raja-raja Jawa yang melantiknya menjadi penguasa Tanah Jawa. Kepercayaan itu masih tumbuh subur ditengah masyarakat modern khususnya Jawa. Banyak kalangan pejabat dan calon yang percaya akan hal itu.

Kita buktikan saja, ritus dan praktik spiritual menjelang Pemilu 2024, masihkah tempat-tempat spiritual ramai menjelang gelaran itu, seperti yang sudah terjadi pada gelaran pemilu sebelumnya, juga orang-orang yang hidup dalam kesusahan dan penderitaan.

Praktik tersebut diharapkan sebagai solusi, dengan keniscayaan tinggi bentuk daya upaya dan ikhtiar, hajatnya akan terkabulkan. Praktik seperti ini dinamakan “Ngalap Berkah.”

Kenyataan bahwa Kanjeng Ratu Kidul ada dalam pemahaman spiritual Jawa telah melahirkan banyak penafsiran di dalamnya, bahkan mengalami banyak distorsi dalam perjalanannya, tergantung dari penguasa yang memerintah.

Kanjeng Ratu Kidul telah ada sejak kelahiran Mataram Islam dengan dekatnya cerita yang menghubungkan dengan penguasa cabang ningrat baru, yaitu Danang Sutowijoyo atau Panembahan Senopati Ing Alogo, putra dari Ki Ageng Pemanahan, juga putra angkat Prabu Hadiwijaya Padjang, sebagai bentuk legitimasi kepada rakyat akan kelahiran penguasa baru, yaitu Mataram.

Pola yang sama dilakukan dalam menghubungkan nasab penguasa Mataram dengan raja terakhir Majapahit, Bhre Kertabumi atau Brawijaya V. Hal ini dapat kita temukan pada catatan nasab wangsa Mataram dari trah Bondan Kejawan. Itulah cara melegitimasi.

Pada jaman Mataram Anyar juga demikian, kekuatan kerajaan laut selatan ikut menyangga geostrategi kepemimpinan para raja, dengan syarat; Raja Mataram menyunting Kanjeng Ratu Kidul sebagai istri.

Keraton Surakarta punya panggung Songgobuwono, Jogjakarta punya Panggung Krapyak, disitulah tempat pertemuan antara Raja dan Kanjeng Ratu Kidul. Pertemuan cinta, kekuatan dan kekuasaan antar dua dimensi yang berbeda, atas penataan tanah Jawa. Sebuah pertemuan yang besar, fenomenal, tampak nyata (tajalli).

Ditambah lagi spirit kekalifahan Islam, Raja adalah imam, panglima, dan pemimpin spiritual tertinggi, semakin membuat hegemoni tunggal kekuasaan Jawa ada pada diri raja sebagai “Khalifatullah Panatagama Ing Tanah Jawa.” Egosentris raja adalah wali. Hierarki Tuhan Raja dan Rakyat, bahwa posisi raja sebagai penyambung spiritual rakyat (kawula).

Begitu juga kepentingan kolonial VOC sampai Belanda. Kepercayaan masyarakat akan keberadaan Kanjeng Ratu Kidul semakin dikuatkan, tujuannya tak lain, agar masyarakat jauh dari kebudayaan maritim, termasuk penjauhan budaya makan ikan, agar rakyat menjadi bodoh. Skenario itu dengan cara memutus tradisi bahari Nusantara.

Geostrategi Belanda terhadap rakyat di arahkan pada pola pembangunan yang berorientasi ke dalam, memunggungi laut atau Land Based Oriented, bukan pembangunan kebudayaan kebaharian atau Maritim Based Oriented. Lagi-lagi, antara konsep gunung dan laut, agraris dan maritim di dikotomikan.

Dengan demikian, kesejarahan Kanjeng Ratu Kidul telah melahirkan banyak diskursus pada budaya modern yang beraneka macam, tergantung perspektif masing-masing. Pada akhirnya, menuju pada kepentingan kekuasaan yang bersifat politis, elitis dan doktrin.

Kanjeng Ratu Kidul dan Tsunami

Wilayah pesisir selatan Sumatra, Jawa dan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) adalah zona subduksi pertemuan lempeng benua Asia dan Australia, yang menempatkan selatan Jawa sebagai pusat zona megathrust.

Akibatnya, terdapati potensi bencana yang tinggi, peristiwa gempa bumi, gelombang tsunami, erupsi gunung merapi dalam variasi skala massif terjadi, namun telah termitigasi sebagai ancaman kebencanaan alam sejak jaman kuno.

Dibagian lain, pertemuan dua lempeng tersebut menjadikan Nusantara yang subur, kaya akan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), juga keindahan sepanjang pantai selatan yang eksotis.  Gabungan antara laut, pantai, pasir, karang dan tebing, bak lukisan alam yang abadi. Dalam penelitian oleh Eko Yulianto, Peneliti Paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi di LIPI (2019).

Menguak jejak Tsunami pada masa lalu selain dengan penelitian arkeologis juga dengan pendekatan mitos yaitu pendekatan geo-mitologi, karena kelahiran sains bisa berangkat dari mitos, mendorong untuk dilakukan kajian yang realistis, logis dan komprehensif.

Sekalipun cerita tersebut berupa mitos atau legenda, pada awalnya tidak ada sesuatu yang berangkat dari seratus persen fiksi, namun ada peristiwa yang melatarbelakanginya.

“Geomitologi tidak hanya berhenti pada mitos-mitos dan spekulasi. Mitos dan spekulasi tersebut terus diverifikasi dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara cocoklogi hanya berhenti pada spekulasi tanpa dibuktikan lebih lanjut.” (LIPI : 2019)

Sampel lapisan pasir dan batuan yang ada disepanjang pantai selatan dengan karakter ciri dan pola yang sama telah terindikasi terjadi tsunami pada 400-500 tahun yang lalu dipesisir selatan Jawa.

Eko menggunakan bukti sekunder berupa catatan dalam Serat Babad Tanah Jawi yang bercerita mengenai kelahiran Mataram Islam dengan tokoh sentral Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul.

Dalam babad Serat Sri Nata, digambarkan dengan jelas bahwa kejadian yang dimaksud ditafsirkan mirip dengan tsunami.

Serat Sri Nata dari Babad Tanah Jawi

Kilat thathit abarungan
Panjenegur swara kagiri-giri
Narka yen kiyamat iku
Toya minggah ngawiyat
Apan kadya amor mina toyanipun
Semana datan winarna
Ratu kidul duk miyarsi

Lagya sare kanthi denta
Kagegeran manahe Sang Sung Dewi
Dene naga samya mlayu
Arsa minggah perdata
Ratu Kidul alon denira amuwus
Selawas sun durung mulat
Samodra pan dadi kisik

Dene panase kang toya
Anglir agni klangkung panasing warih
Mina sedaya pan lampus
Baya ari kiyamat

Terjemahan:

Kilat dan halilintar bersamaan
Gemuruh suaranya menakutkan
Mengira bahwa itu adalah kiamat
Air naik ke angkasa
Bahkan, seperti bercampur dengan ikan airnya

Pada saat itu tidak dikisahkan
Ratu Kidul saat mendengarnya
Sedang tidur beralaskan gading
Kacau hati Sang Dewi
Bahkan naga pun semua lari
Ingin naik untuk berkelahi(?)

Ratu Kidul perlahan berkata:
“Selama ini aku belum pernah menyaksikan,
Samudra menjadi pesisir” [pantai].
Bahkan panasnya air, bagaikan api
sangatlah panas airnya
Semua ikan mati
Mungkin hari kiamat ini

Atas peristiwa ini Danang Sutowijoyo yang selanjutnya menahbiskan dirinya sebagai penguasa baru Mataram, membuat bencana ini sebagai mitos-mitos abadi untuk melegitimasi kekuasaannya, bahwa penguasa laut kidul pun atau Kanjeng Ratu Kidul tunduk dan takluk, mengakui akan kekuatan Panembahan Senopati, yang mana berhasil membuat laut kidul bergemuruh (tsunami).

Hingga pewarisan selanjutnya menganggap bahwa kekuatan kekuasaan Raja Mataram adalah gabungan dengan kekuatan penguasa alam dari kerajaan laut selatan Kanjeng Ratu Kidul pada dimensi lain, merupakan kekuatan gabungan dua dimensi.

Disitulah, kecerdasan itu terlihat, dari proses alam berupa Tsunami, mampu dinarasikan sebagai doktrin dalam tujuan melegitimasi kekuasaan. Luar biasa! Super!

Episentrum Mataram dalam Sumbu Imajiner
Wangsa Mataram, Cabang Ningrat Baru
Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati

Terkait

Terkini