Umbul Pengging, Aquifer Pilihan Raja

- Definisi dari mata air adalah tempat keluarnya air tanah secara alami dari akuifer menuju permukaan -

29 Desember 2022, 17:15 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | ESDM — Umbul Pengging, Aquifer Pilihan Raja

“tidak salah para raja memilih daerah-daerah yang dekat dengan sumber mata air, bahkan sumber mata air yang besar seperti jenis akuifer untuk dijadikan modal membangun kekuatan politik,”

PENGGING adalah bekas kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Pengging. Nama Pengging sebagai kekuatan politik sudah muncul dalam Legenda Roro Jonggrang yang berlatar waktu (backstory) pada periode Kerajaan Medang Mataram kuna, sekitar abad ke-9. Raja yang terkenal adalah Prabu Anglingdriya. Namun legenda ini tidak bisa diverifikasi karena minimnya bukti sejarah.

Namun demikian, Pengging sebagai daerah aquifer alami dengan banyaknya sumber mata air atau umbul menandakan sebagai kawasan yang subur dan makmur, maka menguatkan teori bahwa Kerajaan Pengging Kuna benar-benar telah ada pada masa Kerajaan Medang i Mataram. Terlebih dengan ditemukannya batu lingga dan yoni tepat di tengah Alun-alun Pengging.

Pada periode Medang Jawa Timuran tahun 1000-1500an, nama Pengging tenggelam, dan muncul kembali dalam catatan Majapahit akhir sekitar tahun 1470-an. Raja yang terkenal atau membuka kerajaan baru di Pengging adalah Prabu Andayaningrat yang menyunting istri dari putri Brawijaya V, raja Majapahit terakhir.

Selanjutnya, Prabu Andayaningrat dipercayai sebagai pendiri Kerajaan Pengging secara institusi, yang valid berdasarkan bukti-bukti sejarah. Prabu Andayaningrat pada masa Mataram Islam disebut dengan Ki Ageng Pengging Sepuh.

Setelah mangkat, Prabu Andayaningrat digantikan oleh putranya bernama Kebo Kenongo atau Ki Ageng Pengging II. Kematian Prabu Andayaningrat karena ontran-ontran antara Majapahit versus Demak.

Pada saat kekuasaan Ki Ageng Pengging II, umur Pengging juga sangat singkat, karena Ki Ageng Pengging juga tewas karena konflik perebutan kekuasaan antara Demak versus daerah-daerah (Nagari) bekas vassal Majapahit, termasuk Pengging. Ki Ageng Pengging II dibunuh oleh Sunan Ngudung.

Bila Ki Ageng Pengging Sepuh berada pada garis waktu akhir kekuasaan Majapahit yang telah melemah, sedangkan Ki Ageng Pengging II berada pada garis waktu kekuasaan Kerajaan Demak yang sedang gencar-gencarnya melakukan politik ekspansi, namun acapkali kerajaan berkonflik karena faktor internal. Meski demikian, era tumbuhnya budaya Islam dengan subur oleh majelis perwalian terutama di pesisir utara Jawa berlangsung pada masa ini, karena kerajaan tidak bisa mengendalikan majelis dakwah, namun sebaliknya majelis dakwah perwalian mampu menata kerajaan.

Pasca dibunuhnya Ki Ageng Pengging II, tidak ada lagi penerusnya. Seharusnya Ki Ageng Pengging III adalah Mas Karebet Joko Tingkir, namun Joko Tingkir lebih memilih Pajang sebagai kotapraja baru dengan mendirikan Kerajaan Pajang tahun 1554, di saat Demak sudah hancur akibat konflik keluarga. Namun umur Pajang pun hanya singkat, Joko Tingkir atau Prabu Adiwijaya hanya memimpin selama 18 tahun, setelahnya kekuasaan bergeser menjadi lahirnya Kerajaan Mataram Islam.

Selama periode Kerajaan Pajang hingga Mataram Islam, Pengging meredup, hanya bagian kecil dari kerajaan induk yang tidak mempunyai otoritas politik dan teritori. Backstory ini terjadi pada tahun 1554 berdirinya Kerajaan Pajang hingga 1745 kejatuhan Mataram Kartasura.

Pada era kejatuhan Mataram Kartasura ini yang selanjutnya Mataram dipindahkan ke Surakarta, di Pengging sudah berdiri Pondok Pesantren yang salah satu muridnya adalah selanjutnya bergelar Raden Tumenggung Arya Padmanegara yang menjabat sebagai Bupati Jaksa di akhir keruntuhan Mataram Kartasura (1704-1719).

Selanjutnya, Raden Tumenggung Arya Padmanegara melahirkan Yosodipuro I, pujangga pertama Keraton Kasunanan Surakarta. Karena secara genealogis Yosodipuro I adalah trah Pajang, Pajang juga dari trah Pengging, maka setelah wafat, Yosodipuro dikuburkan di Pengging, yaitu di kompleks makam Astana Luhur, belakang masjid Cipto Mulyo.

Setelah periode tersebut, Pengging semakin redup. Pengging kembali hidup pada era kekuasaan Sinuhun Pakubuwana X (PB X) di Kasunanan Surakarta yang bertakhta dari tahun 1893 – 1939 bersama pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Pada era kekuasaan PB X, Pengging dibangun landscape tata kota yang mirip dengan tata kota khas Mataram Islam, yaitu konsep tata ruang Catur Gatra Tunggal, yaitu terdiri dari Istana, Masjid, Alun-alun dan Pasar. Pembangunan tersebut diperkirakan berlangsung pada tahun 1893-1905.

Komplek yang dibangun tersebut berada dalam satu kawasan, yang tujuannya difungsikan sebagai pesanggaran raja. Kompleks tersebut dalam dua tata ruang; Pertama: Alun-alun Pengging, di sebelah baratnya terdapat Umbul Sungsang, Masjid Cipto Mulyo dan makam Astana Luhur. Kedua: Kompleks Umbul Pengging. Namun kompleks keduanya sebenarnya dalam satu kesatuan yang utuh yang dinamakan Pesanggrahan Ngeksipurna.

Yang kita bahas dalam tulisan kali ini adalah khusus kompleks Umbul Pengging.

Terkait

Terkini