Umpamane Ora Impor Beras Ngono Piye To? Perdebatan-Alasan: Petani Rugi, Stok, Harga, Cuaca, Mbok Dihentikan! Katanya Negeri Jelai

- Kontradiksi terjadi, pernyataan Bulog tersebut disanggah oleh pihak Kementerian Pertanian (Kementan), pihak Kementan mengklaim sebanyak 1,8 juta ton beras dalam negeri siap untuk diserap guna memenuhi stok CBP -

16 Desember 2022, 18:04 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Pertanian — Umpamane Ora Impor Beras Ngono Piye To? Perdebatan-Alasan: Petani Rugi, Stok, Harga, Cuaca, Mbok Dihentikan! Katanya Negeri Jelai

“Yang disesalkan adalah, kehilangan potensi ekonomi dari perberasan sebesar 500-600 ribu ton besar (beras impor). Andaikan itu dibeli oleh pemerintah dari petani di Nusantara, sudah berapa besar keuntungannya untuk negara/rakyat itu sendiri.”

NUSANTARA di antaranya adalah pulau Jawa dan Sumatera, juga Borneo, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan lainnya.

Jargon “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja” sudah ada sejak kepemimpinan Sri Aji Jayabaya di Kadiri. Genealoginya jelas, kok! Ya, karena pulau Jawa adalah pulau penghasil beras. Jawa atau Jawadwipa artinya adalah pulau beras. Etimologinya, kata Jawa dari bahasa Sansekerta dari asal kata yāvaka:yawa:jawa yang berarti jelai:padi. Sedangkan kata dwipa berarti pulau. Dengan demikian, jawa atau jawadwipa:yawadwipa:yāvakadvīpa adalah pulau beras. Sedangkan swarnadwipa yaitu pulau Sumatera adalah pulau emas.

Hal itu sudah tidak usah diperdebatkan, itu jelas dalam kosmologi spirit Nusantara, hingga praktiknya Nusantara tidak kekurangan pangan (beras). Artinya, bahwa krisis beras bahkan dikatakan “swasembada beras” dengan pernak-pernik kata impor, petani rugi, kelangkaan pupuk, stok tipis, harga, makmur, sejahtera, dsb. mengingkari kenyataan peradaban.

Tidak usah dicari-cari sebagai alasan dan bahkan kambing hitam pembenaran, bahkan sebagi narasi pencitraan, ach, tentunya membosankan. Dan, terlebih lagi, pers rilis yang di-Up berkali-kali dengan data-data. Data instansi A, lembaga B, C, D, dsb. semata hanya untuk menggiring opini, tanpa terketahui validasi kebenarannya. Pada pokoknya, penghayatan tampak gebyar dan benar, ayem-tentrem, membanggakan, melegakan, dan narasi joss banget, hebat banget, dan seribu narasi keberhasilan, pokoknya. Perkara praktiknya “bias” menjadi persoalan lain, entah dibuat bodoh, tidak dibukakan hak hidupnya, asal persoalan tampak selesai dengan silent dan republik tenang-tenang saja, bahkan dibuat terbuai hingga turut menjustifikasi data-data tersebut.

Nah, menjadi pertanyaan? Sebenarnya bidang perberasan nasional itu bagaimana sich, pejabat A bilang swasembada, B stop impor, C petani rugi, D pupuk langka, E stok tipis, D soal harga, E rantai pasok, E faktor iklim, dsb. Sedangkan publik A mengatakan itu kartel, B tidak berdaulat, C kejar fee impor, D pemakzulan budaya tani, hingga E bilang oligarki ekonomi, hingga D katakan itu cetak buruh, pertanian di-Zonk-kan, itu industrialisasi, dsb. Sebagian publik lainnya ber-euforia tiada tara akan gebyar pembangunan yang esensinya tidak berpengaruh pada keadilan dan kemakmuran untuk dirinya, pun memahami tentang dunia perberasan nasional. Secara umum justru gaung Nusantara jaya, subur-makmur, maju, kaya, dst. terus berkumandang.

Kembali ke topik perberasan. Kesimpulannya, dari narasi di atas harusnya negeri Nusantara sudah menjadi pengekspor beras nomor wahid di dunia, tapi faktanya kran impor beras masih terus mengalir deras. Bagi penulis menyimpulkan, ya, karena tidak dibangunnya “Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri Indonesia“, jadi industri tani itu ribet, lama dan duitnya kecil, pilih investasi terima bersih di sektor tambang, seperti minyak dan gas bumi serta mineral lainnya, upamanya. Ya, koherensinya jelas, kok, kenapa UU Migas tertidur!

Terkait

Terkini