Waduk Gajah Mungkur Wonogiri 2022, Para Pahlawan Pembangunan Dari Pengorbanan Untuk Kemaslahatan (2)

Kini, 40 tahun lebih telah berlalu bagi warga terdampak pembangunan waduk. Perjuangan orang Wonogiri sebanyak 10.350 KK yang 'bedol desa' ke Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu telah berhasil membangun kehidupan di tempat baru dengan meraih sukses.

18 Mei 2022, 21:55 WIB

Nusantarapedia.net, Wonogiri, Jawa Tengah — Waduk Gajah Mungkur Wonogiri 2022, Pengorbanan orang Wonogiri untuk kemaslahatan umum, pantas disematkan sebagai “Pahlawan Pembangunan.”

“Setibanya di tempat tujuan, warga Wonogiri disambut baik oleh masyarakat setempat. Warga ‘urang awak,’ di tanah Minang ini menyambutnya dengan upacara adat ‘sekapur sirih,’ para ninik-mamak, tokoh adat dan masyarakat begitu baik memperlakukan mereka penuh kehangatan, seolah menyiratkan harapan baru yang indah pada saudaranya dengan penuh keyakinan.”

Pengorbanan Untuk Kemaslahatan

Waduk Gajah Mungkur dibangun di atas tanah hunian dan pertanian. Ribuan kepala keluarga harus rela pergi meninggalkan kepunyaan mereka, hektaran sawah dan ladang telah tenggelam dibuatnya.

Besarnya manfaat dari pembangunan waduk tersebut, jangan lupakan jasa dan pengorbanan orang Wonogiri yang dengan ikhlas merelakan desanya tergenang air.

Total lahan pemukiman dan pertanian seluas 90 km2, mencakup 51 desa di 7 kecamatan yang terdampak. Terdapat 12.525 Kepala Keluarga dengan total 68.750 jiwa. Sebanyak 10.350 KK dengan sukarela pindah dari Wonogiri menuju tempat baru melalui program transmigrasi. Sisanya, sebanyak 2.175 KK secara mandiri pindah ke berbagai daerah, baik di wilayah Wonogiri sendiri, Jawa Tengah (pulau Jawa) dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Mengapa mereka bersedia secara sukarela meninggalkan tanah kelahirannya? betapa peliknya masalah yang dihadapi pada waktu itu dalam prosesnya, mulai dari sosialisasi rencana pembangunan, pembebasan tanah, pembayaran ganti rugi, belum lagi soal (dampak) psikis masyarakat yang dipaksa harus ‘bedol desa,’ dengan meninggalkan aspek sosiologis (sosial budaya) yang sudah mendarah daging di alam Wonogiri. Betapa kepedihan itu dirasakan, sungguh jasa dan pengorbanan yang tidak bisa diganti dengan materi, kalau pun itu didapatkannya belum tentu berkeadilan.

Tentu dinamika di dalamnya sungguh pelik, ada masyarakat yang ikhlas begitu saja, ada yang setengah ikhlas, ada yang menentang dan menolaknya mentah-mentah. Padahal, waktu itu belum ada istilah uang ganti untung, tetapi penerapan uang ganti rugi kala itu apakah sepadan dengan apa yang diberikan dari UGR tersebut linier dengan saat ini, seperti UGR jalan tol misalnya.

Namun kala itu, birokrasi dari pusat sampai daerah, khususnya pejabat di Wonogiri telah menyiapkan itu semua agar proses persetujuan dan kepindahan warga dapat berlangsung dengan lancar tanpa ekses yang berarti.

Dikutip dari humas/kab.wonogiri, kala itu pejabat yang terlibat (bertanggungjawab) yakni; Bupati Wonogiri Harmoyo, Menteri Transmigrasi Prof. Subroto, Menteri Pekerjaan Umum Prof. Purnomosidi Hajisarosa, dan Menteri Muda Transmigrasi Martono.

Bupati kala itu, yang akrab dengan kultur Jawa, adalah pemimpin bijak yang mampu meyakinkan masyarakatnya mengenai pembangunan waduk tersebut. Pendekatan secara persuasif, humanis-manusiawi dilakukan dengan dilandasi falsafah jawa “nguwongke uwong,” “menghargai orang.” Masyarakat di dekati dengan pelan-pelan, diajak komunikasi dengan alasan yang mudah diterima dan dimengerti, bahwa pembangunan waduk tersebut demi kepentingan umum, demi kebaikan bersama, demi kemaslahatan umum.

Melalui proses yang panjang, akhirnya satu per satu, hari demi hari, warga pun luluh, dengan menerima keputusan dan kebijakan pemerintah untuk persetujuan pembangunan waduk hingga kebijakan kepindahan ‘bedol desa,’ ke luar pulau Jawa untuk ber-Transmigrasi.

Pada tahap awal, pemukiman transmigrasi disiapkan di wilayah Sitiung, Sumatera Barat. Gubernur Sumbar waktu itu, Prof. Harun Zein siap menampung para ‘pahlawan pembangunan’ dari Wonogiri, sementara menteri yang lain menyiapkan proses kepindahan tersebut sesuai kewenangannya masing-masing, seperti Menteri Transmigrasi bersama Menteri Perhubungan juga telah menyiapkan perangkat perpindahan tersebut.

Desember 1976, rombongan ‘bedol desa,’ yang pertama berjumlah 100 KK dengan jumlah 448 jiwa meninggalkan Transito di Giriwono, berangkat dengan kereta api dari Stasiun Jebres Solo menuju Stasiun Tanjung Priok Jakarta, selanjutnya menaiki Kapal Laut menuju Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Sumatera Barat.

Peristiwa tersebut merupakan peristiwa transmigrasi ‘bedol desa’ kepindahan penduduk terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Sesampainya berlabuh di Teluk Bayur, perjalanan dilanjutkan menuju Nagari (Desa) Sitiung yang berjarak 217 km. Sepanjang perjalanan yang berbukit-bukit dengan kelok jalan yang indah, menelusuri jalur melingkari Danau Singkarak.

Perjalanan hampir sampai ke tempat tujuan, sepanjang jalan penduduk setempat saling berjejal menyambut kedatangan warga Wonogiri. penduduk menyambutnya dengan suka cita, diiringi aneka tetabuhan, ada Talempong hingga Reog Ponorogo dari komunitas transmigran asal Ponorogo yang lebih dulu bertransmigrasi di daerah Sitiung.

Tahap selanjutnya, ‘bedol desa,’ sampai bulan Maret 1977 sejumlah 2.000 KK dengan jumlah 65.517 jiwa. Warga Wonogiri di tempatkan di empat desa, yaitu di Nagari Sitiung, Tiuamang dan Silalang kabupaten Sawahlunto dan wilayah Sijunjung.

Setibanya di tempat tujuan, warga Wonogiri disambut baik oleh masyarakat setempat. Warga ‘urang awak,’ di tanah Minang ini menyambutnya dengan upacara adat ‘sekapur sirih,’ para ninik-mamak, tokoh adat dan masyarakat begitu baik memperlakukan mereka penuh kehangatan, seolah menyiratkan harapan baru yang indah pada saudaranya dengan penuh keyakinan.

Sesuai yang dijanjikan pemerintah, mereka mendapatkan tanah garapan, membuka kampung (desa baru) lengkap dengan fasilitasnya, dari sekolah SD, SMP dan SMA. Bahkan, membuka pasar tradisional yang dinamakan “Wonositi,” dari gabungan kata Wono-giri dan Siti-ung, menjadi Wonositi.

Dalam perjalanan pembangunan waduk dan proses relokasi warga terdampak yang bertahap, dinamika persoalan terus berkembang. Serangkaian protes terus dilancarkan, dan masih banyak KK yang belum bersedia pindah ber-Transmigrasi. Masih banyak yang kekeh dengan tetap tinggal di lokasi pembangunan sebanyak 1.850 KK. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1980.

Mereka protes keras, karena tujuan ‘bedol desa‘ yang dijanjikan di daerah Sitiung tidak mampu menampung semua jumlah warga terdampak. Wilayah Sitiung merupakan wilayah pilihan bagi warga terdampak. Akhirnya pemerintah mencari lokasi transmigrasi baru untuk menampungnya, yaitu di daerah Jujuhan Provinsi Jambi yang dekat dengan Sitiung, juga di kawasan Baturaja Provinsi Sumatera Selatan, serta di kawasan Kuro Tidur Provinsi Bengkulu.

Dinamikanya, warga tetap menolak karena tempat idola yang dijanjikan di Sitiung sudah penuh, selain itu ada beberapa daerah tujuan transmigrasi yang menolak dijadikan tempat tujuan baru bagi transmigran terdampak tersebut.

Aneka upaya terus dilakukan oleh pemerintah agar warga terdampak bersedia pindah ke tempat baru di luar Sitiung. Jika pemerintah memaksa tetap pindah ke tujuan baru selain Sitiung, mereka mengancam siap “tenggelam bersama” karena menganggap pemerintah telah ingkar janji.

Akhirnya, pendekatan terus dilakukan oleh pemerintah, dan berhasil memindahkan warga terdampak sejumlah 1.850 KK dengan tujuan kawasan Kuro Tidur di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu dan beberapa daerah lainnya.

Pengorbanan Membawa Berkah

Kini, 40 tahun lebih telah berlalu bagi warga terdampak pembangunan waduk. Perjuangan orang Wonogiri sebanyak 10.350 KK yang ‘bedol desa’ ke Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu telah berhasil membangun kehidupan di tempat baru dengan meraih sukses.

Kini, mereka telah berhasil merajut masa depan bersama keluarga dan handai taulannya, membentuk entitas kebudayaan baru di tanah yang baru. Banyak yang sukses menjadi pengusaha di bidang pertanian, perkebunan, dan berbagai bidang usaha. Ada yang meniti karier di pemerintahan menjadi ASN dan ada yang sukses di jalur organisasi dengan menjadi politisi atau anggota dewan.

Atas pengorbanan orang Wonogiri yang merelakan tanahnya untuk pembangunan waduk, kini ribuan areal persawahan di wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, dan sekitarnya dapat lebih terjamin pasokan airnya.

Rasa was-was terjadinya bencana banjir bagi masyarakat di sekitar sungai Bengawan Solo dari hulu hingga muara di pantai utara Jawa, dapat tidur nyenyak, karena potensi bencana banjir dapat diminimalisir dan dikendalikan melalui keberadaan waduk.

Pasokan listrik dari PLTA ini turut andil dalam pertumbuhan kawasan Jawa Tengah di bagian tenggara. Selain itu, keberadaan waduk Gajah Mungkur sebagai destinasi wisata bisa menciptakan multiplier effect bagi masyarakat Wonogiri dan penyumbang pendapatan asli daerah bagi Pemda Kabupaten Wonogiri.

Semua kemanfaatan di atas, buah dari para ‘Pahlawan Pembangunan.’

Tantangannya saat ini adalah, Waduk Gajah Mungkur mengalami sedimentasi yang sangat tinggi, akibat dari kerusakan daerah aliran sungai (DAS) yang parah. Juga beban waduk yang tinggi karena kualitas air yang bercampur lumpur akibat dari erosi lahan.

Erosi lahan yang tinggi di daerah hulu waduk (DTA) menjadi penyebab utama tingginya sedimentasi waduk, didorong oleh perubahan tutupan lahan karena pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan kaidah konservasi di daerah hulu waduk.

Awalnya, desain pembangunan Waduk Gajah Mungkur dirancang untuk bisa digunakan dalam jangka waktu sampai 100 tahun. Namun, melihat sedimentasi yang terjadi cukup tinggi, perawatan waduk harus dilakukan dengan maksimal. Dalam hal ini, Perum Jasa Tirta Bengawan Solo selaku pengelola waduk terus berupaya mengatasi persoalan sedimentasi yang cukup serius.

Idealnya, setidaknya hingga tahun 2080, Waduk Gajah Mungkur dapat terus berfungsi normal, dengan catatan sedimentasi dapat diatasi. Upaya perawatan berkala oleh dinas terkait hanya bagian dari variabel memanjangkan usia waduk, namun yang lebih penting bagaimana pemanfaatan lahan (tata ruang), menjaga vegetasi hutan, dan upaya lainnya terus dilakukan secara preventif.

Selesai

Sumber Pustaka ;
humas/kab.Wonogiri
wikipedia
diolah dari beberapa sumber

Waduk Gajah Mungkur Wonogiri 2022, Para Pahlawan Pembangunan Dari Pengorbanan Untuk Kemaslahatan (1)
Bengawan Solo, Melintas Area dan Lini Masa (1)
Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa (1)
Simpang PB VI Selo, Patung Pakubuwono VI Simbol Perjuangan Melawan Belanda
Gunung Sewu dalam Literasi Bumi dan Budaya Mataraman (2)
Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (1)
Sejarah Wonogiri, Jejak Perlawanan Raden Mas Said
Rencana Perubahan APBN 2022 Dapat Dilakukan Dengan Dua Opsi
Pulau Reklamasi Pesisir Jakarta
Gentan Geopark Village, Satu Tujuan Lima Destinasi (1)
Candi Barong, Local Content Bangsa Jawa
Bunga Udumbara, Konon Mekar 3000 Tahun Sekali, Bagaimana Ilmiahnya? Adakah Binomal Nomenklaturnya?
’86’ (lapan enam), Apa Itu?

Terkait

Terkini