Wajah Politik Eufemis (Lamis) dan Revolusioner
Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Wajah Politik Eufemis (Lamis) dan Wajah Politik Revolusioner
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Justru cepat atau lambat, gerombolan politik eufemisme itu akan kecele dan kewirangan (mendapat malu) manakala mengira dirinya adalah barisan Arjuna yang santun, berpayung kebenaran, dan sedang melawan Buta Cakil yang norak pecicilan, padahal sebenarnya yang sedang terjadi adalah kubu politik eufemisme itu tidak lain adalah manifestasi dari Kumbakarna sang raksasa rakus centeng Alengka yang tambun dan santun (karena tidak banyak omong) tetapi buta terhadap kebenaran dan dharma sejati seorang satria, akhirnya Kumbakarna itupun tumbang oleh bala tentara Anoman yang revolusioner dan berhati putih, dan cepat atau lambat pasti juga akan tumbang keluarga Raja Lamis dari Solo dalam realitas sosial politik nasional kita hari ini. Seperti bala tentara Anoman, massa rakyat hari ini juga sudah muak dan marah dengan segenap keculasannya yang berwajah begitu eufemis (santun) dan dilegitimasi legal konstitusional”
– Orang berpolitik di jaman Sukarno dulu juga seperti itu, mereka bisa saling serang secara keras dalam tulisan opini di koran-koran, tetapi ketika bertemu, mereka tetap bisa guyon dan ngopi bareng, orang-orang di jaman itu hatinya tidak dangkal, mereka hanya berseteru dalam lanskap ideologi, tetapi tidak membawanya dalam lanskap pribadi. Jadi akan terlalu dangkal manakala menilai tingkat spiritualitas dan keluhuran budi seseorang hanya dari apakah gaya bahasanya itu “cadas tajam” atau “lembut gemulai”. Toh bukankah penipu paling ulung itu adalah mereka yang mahir berlembut-lembut muka dan bermanis-manis kata? Itulah makanya orang Jawa memiliki idiom kata “lamis” untuk meneroka seseorang yang mulutnya manis dan menyenangkan akan tetapi hati dan perilakunya sangat bertolak belakang –
– Gaya bahasa dan langgam politik yang lugas, keras, dan agitatif di jaman itu yang sama seperti sosok Sukarno sendiri yang berkepribadian lugas, keras, dan berapi-api akhirnya kemudian tergeser oleh langgam politik eufemisme (penghalusan bahasa) yang dibawa oleh rezim Suharto. Sama seperti sosok Suharto sendiri yang berkepribadian introvert, dingin, berkarakter halus, dan misterius/terselubung, begitu pula langgam bahasa dan komunikasi politik di era Suharto. Di jaman itu politik eufemisme sangat mengemuka, misal kata “diamankan” yang disematkan pada orang yang kritis pada pemerintahan Suharto, maka itu makna yang sebenarnya adalah “dilenyapkan”, kata diamankan hanyalah penghalusan bahasa untuk “menutupi kekejian” Suharto—orang yang dijuluki oleh media Barat sebagai sang jendral tersenyum itu –
SEBELUM membincang wajah politik lamis atau eufemisme dan wajah politik revolusioner, ada yang menarik ketika melihat kecenderungan pengidolaan masyarakat Jawa terhadap tokoh wayang tertentu. Contohnya seperti di antara Pandawa Lima itu, yang paling dikagumi dan dihayati karakter pribadinya oleh mayoritas orang Jawa adalah Bima, bukan Yudhistira — si manusia lembut yang dijuluki “satriya ludira seta” (kesatria berdarah putih) karena kesabarannya yang besar dan kehalusan budinya. Menurut saya, dari kecenderungan mayoritas manusia Jawa yang mengidolakan sosok Bima itulah, konsepsi alam berpikir manusia Jawa “yang ideal” akhirnya terbentuk, dan manusia Jawa yang ideal itu semestinya darahnya adalah darah “merah-putih”, dimana merah menyimbolkan “keberanian” dan putih menyimbolkan “kesucian”, jadi bukan putih saja seperti Yudhistira. Harus ada semangat revolusioner yang sekaligus menyatu dengan semangat spiritual, itulah makna darah merah-putih, itulah dialektikanya orang Jawa yang meneladani karakter Bima. Toh menilik dari akar historis raja-raja Jawa, bukankah DNA orang Jawa itu adalah gabungan dari DNA Ken Arok, seorang pemuda kritis revolusioner dan jago gelut dengan DNA Ken Dedes, seorang putri Buddhis yang alim dan rajin meditasi (olah spiritual)?
Untuk lebih jauh meneroka alam berpikir manusia Jawa, coba kita sedikit studi banding dan menengok ajaran Buddha, yang dimana di dalam ajarannya, nafsu-nafsu kemanusiaan seperti lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kegelapan batin) itu dianggap 3 akar kejahatan dan harus dilenyapkan, sementara yang harus dihidup-hidupi hanyalah upekkha (keseimbangan batin) saja. Tetapi jika kita menenggok dalam alam pikir ajaran kebatinan Jawa (Kejawen), semua nafsu-nafsu kemanusiaan itu dengan istilah dan bahasa yang berbeda justru dianggap sebagai “sedulur papat” alias 4 saudara batin yang harus “diseleraskan dan diharmonikan”, bukan untuk dimusuhi apalagi berusaha dilenyapkan.
Dari sinilah pintu untuk memahami kenapa orang Jawa atau Kejawen itu pada umumnya masih memiliki muntab dan amuk jika melihat ada pelecehan atas rasa keadilan atau ketika diinjak-injak martabatnya, ya menurut saya karena mayoritas spiritualitasnya orang Jawa itu tentu saja bukanlah Spiritualitas Yudhistira yang asketis-pasif, melainkan adalah Spiritualitas Bima yang asketis-revolusioner. Jadi darahnya orang Jawa yang ideal itu bukanlah darah putih yang gemarnya hanya berdiam diri bersamadhi saja, tetapi darahnya adalah darah merah-putih yang melahirkan “nasionalisme-revolusioner bercorak spiritualistik”.
Dan kenapa saya memulai meneroka “keindonesiaan” dari alam berpikir etnis Jawa? Ya karena diakui atau tidak, etnis Jawa adalah kekuatan arus utama dalam kancah perpolitikan di Indonesia, bahkan jika dilacak lebih jauh sejak berabad-abad sebelum negara ini berdiri, mereka pun juga sudah menjadi kekuatan politik yang dominan di wilayah Nusantara. Maka siapa pun itu yang ingin meneroka alur politik di Indonesia tidak bisa tidak untuk tidak berkaca pada alam berpikir masyarakat Jawa. Tokoh DN Aidit dalam film G30S/PKI, sebuah film propagandis Orba mengatakan, jika “Jawa adalah kunci”, sepotong kalimat itu di era milenial dan gen-Z begitu viral, keluar dari konteksnya, dan banyak dijadikan meme lelucon di banyak tempat untuk menyindir Jawasentrisme. Tetapi terlepas dari hal itu saya kira memang benar perkataan tokoh fiksi DN Aidit itu, jika Jawa memanglah kunci — baik kunci untuk memahami alur politik Indonesia maupun kunci untuk meraih kuasa politik di Indonesia.