“Wong Urip,” Wong Urip! Wong Urip!

Hidup ini tidak adil atas 'keadilan yang dibuat,' yang seharusnya berhak atas keadilan itu sendiri dari langit.

12 Juni 2022, 11:28 WIB

Nusantarapedia.net, Galeri | Potret Sosial — Wong Urip,” Wong Urip! Wong Urip! Di Ujung Usia, Wanita Renta Masih Jualan Sayur

“Hanya ‘keadilan dibuat’ yang akan menyelamatkan ribuan bahkan jutaan orang seperti Mentek, atas hak hidupnya yang sudah cukup adil dari kodratnya sebagai manusia yang diciptakan.”

Hidup terkadang sulit dicerna untuk di artikulasikan menjadi bahasa yang tepat. Ada sebagian orang dari lahir hingga dewasa sampai tua, hidupnya selalu enak dan tak pernah tertimpa kesusahan, bak anak Sultan.

Di sisi lain, semenjak beranjak dewasa atau mungkin sejak masa kecilnya sampai tua, tak henti-hentinya berusaha bekerja, akan tetapi di hari tua masih juga sengsara menggelanyutinya.

“Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat di raih” begitu peribahasanya.

Hidup ini tidak adil atas ‘keadilan yang dibuat,’ yang seharusnya berhak atas keadilan itu sendiri dari langit.

Niatun, seorang warga Kelurahan Bojongbata, Pemalang Kota, salah satu contohnya. Pedagang sayuran keliling ini usianya terbilang renta, 72 tahun. Wanita tua yang tidak mempunyai seorang anak satupun.

Semenjak muda sudah merantau, mengadu nasibnya ke pulau seberang Jawa, ke Sumatera untuk bekerja, selang menjelang usia tuanya, Niatun balik ke kampung halamannya di Bojongbata, Pemalang, Jawa Tengah.

Semenjak pulang dari rantau, bukan nasib baik di bawanya, akan tetapi babak baru dimulainya. Terlihat kepayahan hidupnya justru di mulai dari tanah kelahirannya.

Bermula jualan sayuran keliling dengan cara digendong menggunakan lento atau ceting beberapa puluh tahun lalu.

Mentek, begitu para pelanggannya memanggil, punya ciri khusus saat menjajakan atau memanggil para pembeli dagangannya.

Wong urip,” wong urip! wong urip! (orang hidup), begitu dia meneriakan daganganya, memanggil calon pembeli dagangan sayuran agar semua mendekat dan membeli dagangannya.

Dagangan yang ditawarkan sangat sederhana, di samping sayuran seperti bayam, kangkung, jengkol, juga lauk tambahan. Ada tempe, tahu, kerupuk, juga sedikit buah-buahan.

“Lumayan mas hasilnya, bisa untuk makan sehari-hari, dari pada minta sama saudara-saudara saya,” ujar Mentek.

Nurhayati, seorang pelanggannya, menuturkan jika Simbah Mentek tidak mempunyai anak, dan menempati rumah sendirian terkadang hanya ditemani keponakannya.

Ada satu kalimat bijak mengatakan, ketika masa muda rajin bekerja, nanti hari tuanya tinggal mengunduh hasilnya. Tapi apakah selamanya benar kalimat bijak itu bertutur kepada kita?

Pada kenyataannya, Mentek wanita renta, yang rajin bekerja dari muda, hari tuanya masih tetap mendorong gerobak sayurannya, menyusuri gang sempit tanah kelahiranya sambil berteriak dengan serak parau tenggorakanya.

Terdengar jargonnya “wong urip” untuk mengiklankan dagangannya, tersirat makna yang mendalam bahwa Mentek berusaha untuk hidup, karena hidup terus berjalan dan harus dilalui.

Hanya ‘keadilan dibuat’ yang akan menyelamatkan ribuan bahkan jutaan orang seperti Mentek, atas hak hidupnya yang sudah cukup adil dari kodratnya sebagai manusia yang diciptakan.

Wong urip, wong urip, wong urip.” (Ragil74)

Buyung, Pengemis Berkaki Buntung
Membajak Sawah dengan Kerbau
Menjaga Nyala dalam Kerentaan
Tawid Di Malam Takbiran
Asri dan Alaminya Desa Pegongsoran
Warung Makan Ndesa Pinggir Kali Comal
Yang Tersisa dari Seorang Nurrochim (Pengrajin Gerabah Pemalang)
Penjual Sapu Yang Menyesal Tak Bersekolah
Warung Makan Ndesa Pinggir Kali Comal
Terlelap
Jelang Senja Menuju Samudra
Wamsu, Pedagang Lukisan Kaligrafi Keliling
Ketika Takdir Membawaku Ke Sini
Aku Harus Pergi
Wandi, Penjual Kopi Gerobak Motor
IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan

Terkait

Terkini