YLBHI: Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Sekedar Retorika dan Ilusi

14 Januari 2023, 15:52 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — YLBHI: Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Sekedar Retorika dan Ilusi

TANPA proses hukum dan tindakan yang konkrit, pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi soal pelanggaran HAM berat masa lalu sekedar retorika dan ilusi. Pernyataan itu disampaikan sebagai sikap oleh YLBHI Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia beserta 18 LBH se-Indonesia, di Jakarta (12/1/2023) melalui siaran pers.

YLBHI dan 18 LBH Se-Indonesia khawatir dan memprediksi bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran berat hak asasi manusia hanyalah ilusi dan berhenti sebagai retorika kosong yang terus diulang.

YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis.

YLBHI berpendapat Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya untuk seolah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024. Hal ini dapat kita lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud M.D. kepada Presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung.

Sejak awal, YLBHI dan 18 LBH menyoroti pembentukan TPP HAM yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui Undang-Undang. Jadi mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang;

Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi diantaranya sebagai berikut :
1) Hingga hari ini, pemerintah melalui Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung, setelah diselesaikannya 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM. Bahkan dalam peristiwa Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban. Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah Kasus Paniai. Kasus ini pun dilakukan dengan banyak sekali kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal.

2) Selama pemerintahannya, alih-alih memutus impunitas melalui upaya pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan serta menjamin ketidakberulangan. Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer.

3) Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembunuhan Munir (2014), tetapi Presiden tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian.

4) Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi termasuk berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga. Sampai dengan hari ini, pemerintah tidak juga segera menghentikan pendekatan dan praktik-praktik kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara baik dilakukan oleh Pemerintah maupun melalui aparat represif negara seperti Kepolisian maupun TNI.

5) Terlebih, pernyataan Presiden Joko Widodo juga tidak diriingi oleh roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran ham berat masa lalu tersebut akan dilakukan. Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalahan baru.

Terkait

Terkini