Berdagang “Kursi”

22 April 2024, 13:51 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI — Berdagang “Kursi”

Oleh : Marianus Gaharpung

Jika anda merasa merebut “kursi” sebagai sumber kekuasaan, maka pasti akan terjadi kesewenang-wenangan. Ada sebuah adagium oleh Lord Acton seorang sejarawan Prancis, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

CAK Nun sempat menulis sebuah artikel (dalam buku Titik Nadir Demokrasi) dengan judul “Ya Allah Lindungilah Aku dari Kursi”. “Kalau kursi yang kau duduki kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas pelayanan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalau kau anggap kursi sebagai keunggulan dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititipkan, maka kepribadianmu akan digerogoti si kursi sampai keropos. Kalau kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka kau akan ambruk dicampakkan oleh si kursi.”

Tahun politik 2024, benda bergerak yang namanya kursi ini menjadi trending topik politik. Sebab “kursi” menjadi rebutan semua orang yang ingin berkuasa. Saking mahalnya benda tersebut, orang-orang rela melanggar etik, hukum bahkan korban nyawa sekalipun demi mendapatkan “kursi”.

Sentilan Cak Nur dalam artikel berjudul “Ya Allah Lindungilah Aku Dari Kursi”, adalah sebuah refleksi moral yang sangat hakiki saat ini, ketika aspek etika dan hukum menjadi “barang dagangan” di kalangan oknum-oknum yang sangat bernafsu akan “kursi”.

Pemilihan presiden dan wakil presiden untuk merebut “kursi” kekuasaan telah usai. Senin, tanggal 22 April 2024, adalah waktu vonis Mahkamah Konstitusi (MK) hal sengketa pilpres. Apapun putusannya, Majelis MK adalah yang terbaik buat bangsa dan negara. Selain itu, pemilihan wakil rakyat untuk merebut kursi wakil rakyat (DPR/D) juga telah usai. Tinggal satu agenda lagi, yakni pesta demokrasi pada 27 November, digelarnya pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota di 545 daerah).

Pemilu tidak lain memperebutkan “kursi” simbol kekuasaan/kewenangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan pengabdianya kepada rakyat. Duduk di kursi sebagai anggota dewan sejatinya melaksanakan tugas-tugas sebagai anggota dewan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam benak wakil rakyat sadar, bahwa kursi itu bukan dibeli dalam pengertian materiil. Tetapi pada kursi itu ada ‘ruang kuasa’ sebagai wakil rakyat. Kursi yang diduduki merupakan perwujudan kuasa rakyat yang dititipkan di pundak para anggota dewan untuk digunakan secara sadar, benar, jujur dan penuh tanggung jawab kepada rakyat. Apakah “kursi” itu untuk mensejahterakan rakyat atau oknum wakil rakyat? Hanya dirinya dan Tuhan yang mampu menjawab.

Suasana menyongsong perhelatan Pilkada pada 27 November mendatang sudah sangat terasa. Putra putri terbaik bangsa mulai kasak kusuk, membangun komunikasi dan lobi dengan pengurus partai, baik di kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. “Kursi” menjadi tujuan akhir setiap calon kepala dan wakil kepala daerah. Sehingga aspek visi-misi pasangan calon sebagai kompas penggerak memimpin suatu daerah hanyalah “simbol” belaka, bukan menjadi penentu keunggulan cara pandang, pikir serta bertindak dalam posisi sebagai kepala dan wakil kepala daerah ketika terpilih dalam pilkada.

Pertanyaan kepada para calon kepala dan wakil kepala daerah dalam benak anda, merebut “kursi” itu sebagai bentuk tanggung jawab pelayanan atau
dimaknai sebagai sumber kekuasaan. Jika anda merasa merebut “kursi” sebagai sumber kekuasaan, maka pasti akan terjadi kesewenang-wenangan. Ada sebuah adagium oleh Lord Acton seorang sejarawan Prancis, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Jika tidak hati-hati, seseorang yang memiliki kekuasaan ada kecenderungan untuk menyalahgunakan kewenangan, dan kekuasaan yang dimilikinya tidak lagi digunakan sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, tapi malah untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, kroni/tim sukses dan pengurus partai politik.

Terkait

Terkini