Gaspoll Mesin Baru! UU Desa Revisi Diberlakukan, Kedok Kepentingan atau Kebutuhan Desa

4 Mei 2024, 20:37 WIB

Nusantarapedia.net | OPINI, POLHUKAM — Gaspoll Mesin Baru! UU Desa Revisi Diberlakukan, Kedok Kepentingan atau Kebutuhan Desa

Oleh: B. Ari Koeswanto ASM

revisi UU Desa lebih didasari pada kepentingan politik 2024 yang pragmatis. Jumlah desa sebanyak 74.961, tentu dapat diposisikan sebagai “mesin politik”, dengan tukar tambah dukungan politik pada aneka gelaran pemilihan di 2024, sekaligus sepaket menuju kesempurnaan poros politik pada Pilkada Serentak 2024. Poros ini ibarat “partai politik kedua” yang dapat memainkan peranannya terkait suara elektoral dan pelaksanaan supra kebijakan strategis pembangunan lainnya atas kehendak dari pusat, di sini terjadi bentuk “politik balas budi” –

“pembusukan demokrasi itu adalah variable (celah) bagian dari desain dibuatnya UU Desa dalam supra tujuan yang terselubung, yakni program menciptakan pasar di desa-desa melalui jaringan oligarki dan globalis”

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah ditetapkan, diundangkan dan diberlakukan per 25 April 2024 oleh Presiden Joko Widodo melalui Lembaran Negara Tahun 2024 Nomor 77 – Tambahan Lembaran Negara Nomor 6914. Pemberlakuan UU ini tidak perlu lagi menunggu Peraturan Pemerintah (PP), karena undang-undang ini berlaku sejak diundangkan.

Menurut Tito Karnavian (Mendagri), di antaranya tujuan revisi ini adalah; “Tujuannya tidak lain adalah pemerintahan yang lebih baik, pembinaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan desa, sehingga desa akan menjadi kekuatan atau sentra untuk pembangunan, tidak hanya sekadar berorientasi kepada urban atau daerah perkotaan,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta. (ANTARA, 02/052024)

Road map UU ini, pada Mei 2022, Rancangan UU Desa bergulir melalui usulan di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Selanjutnya, pada 28 Maret 2024, DPR menyetujui RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi undang-undang dalam rapat paripurna. Dalam rentang waktu tersebut, berkali-kali para kepala desa dan perangkat desa melakukan aksi unjuk rasa ke Jakarta (DPR-Kementerian). Dan selama rentang waktu tersebut, revisi UU Desa menjadi isu yang seksi, ditangkap sarat kepentingan politik, hingga aksi unjuk rasa tersebut disinyalir adanya gerakan mobilisasi “top down”, dengan seolah-olah gerakan tersebut murni dari ide-gagasan arus bawah.

Ditangkap, revisi UU Desa ini sebagai jerat transaksional atau politik tukar tambah (bargainning) — balas budi, dalam rangka menghadapi aneka pemilihan pada 2024, terutama digunakan untuk mendulang suara elektoral, baik di level Pilpres, Pileg hingga diproyeksikan sebagai jerat transaksional Pilkada Serentak 2024 pada November 2024 mendatang pada momen pamungkas. Jelas, kepentingannya adalah politik kekuasaan jangka panjang.

Entah siapa yang menangguk untung dari barter revisi ini, bisa saja circle kekuasaan di eksekutif dan legislatif. Namun dirasakan sangat nyata, bahwa impact proses dan progres revisi ini terbukti ampuh untuk kepentingan elektoral kelompok pada Pemilu 2024 yang lalu. Bahkan, partai politik pun tersandera dengan isi revisi ini, karena takut suara elektoral partainya yang berada di desa-desa tergerus suaranya, dengan diopinikan tidak pro pada kepentingan desa. Yang mana, poros kekuatan desa ada pada ketokohan kepala desa. Padahal, substansi dan urgensi dari revisi ini mengada-ada, karena main issue-nya sebatas kepentingan (pelanggengan) kekuasaan saja, yakni pada poin penambahan masa jabatan kades. Akhirnya, partai-partai pun bungkam, tidak berani berkutik, sekalipun akibatnya proses kehidupan politik demokrasi di desa terhambat, berdampak munculnya gaya kepemimpinan feodalistik di desa. Mereka tak hiraukan itu, meski desa tumbuh bukan dari semangat partisipasi dan demokrasi, melainkan kepentingan kelompok politik yang telah menjadikan desa sebagai mesin (mainan) politik. Di sinilah, bahwa mesin dari desa-desa melalui para kepala desa sangat efektif-efisien, bahkan kekuatannya sebanding dengan institusi partai politik.

Pada poinnya, tuntutan segera dilakukan revisi UU Desa, di antaranya ihwal; pada Pasal 39 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun 2014, terkait masa jabatan kades, yang mana saat ini jabatan kades selama 6 tahun dengan tiga kali batasan pencalonan (3 periode), tuntutan sebelumnya menjadi 9 tahun masa jabatan kades selama 2 periode, serta tuntutan yang lain mengenai kenaikan anggaran desa, pengelolaan dana desa, moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, dan tuntutan lainnya.

Terkait

Terkini