Mem-Pancasilakan Buruh

1 Mei 2024, 02:00 WIB

Nusantarapedia.net | POLHUKAM, OPINI — Mem-Pancasilakan Buruh

Oleh: B. Ari Koeswanto ASM

– Nah, di situlah problemnya, mengapa kita selama ini memilih untuk merumuskan dasar negara, yakni Pancasila. Pancasila dalam konteks isi, bukan persoalan berspektrum kiri atau sosialis yang seringkali dibenturkan dengan konsep kapitalisme –

“Bila tujuannya Pancasila, di sinilah sebagai bangsa yang berdaulat, maka buruh pun tidak akan dijadikan “market society” oleh negara”

JALAN panjang perburuhan dunia, dari sejarahnya hingga terciptanya tatanan baru sangatlah kompleks, hampir terjadi di semua negara. Gegara hadirnya “tatanan baru” yang sengaja diciptakan itu, berdampak pada perubahan struktur sosial. Akhirnya, munculah bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, hingga terciptanya kelas sosial. Dalam perjalanannya hingga saat ini, topik utama perburuhan tak pernah jauh ihwal; kesetaraan – keadilan – perlindungan.

Dalam bahasa Jawa, kata buruh:buroh” berkonotasi marginal, sering digunakan untuk menyebut jenis pekerjaan sektor informal. Seringkali makna buruh dipersepsikan sebagai pekerjaan yang lebih menggunakan tenaga daripada pemikirannya, karena dalam posisi (diposisikan) sebagai masyarakat kelas bawah. Terlebih juga posisi buruh dilemahkan dengan istilah “para pencari kerja”.

Penggunaan (jasa) tenaga dan pikiran atau kemampuan untuk mendapatkan balasan berupa upah/materi dari pemberi kerja, adalah definisi buruh.

Prinsip tatanan perburuhan, harusnya setara atau adil, antara pencari dan pemberi kerja, antara boss dan karyawan, misalnya. Prinsip saling take and give dengan hati (kemanusiaan), perlu dijunjung tinggi oleh keduanya.

Dalam pandangan kemanusiaan, konsep “kesetaraan” adalah hak manusia yang fundamental. Maka, sudah selayaknya buruh harus diperlakukan — dipenuhi hak-haknya. Namun, seringkali buruh dipandang sebelah mata karena kedudukannya sebagai orang/manusia pencari pekerjaan. Sing butuh sapa? Di sinilah muncul bibit ketidakadilan hingga praktiknya atas landasan kelas sosial, dengan kambing hitam pengusaha (produsen) rugi bahkan bangkrut, padahal kerugian yang dimaksud banyak yang tidak terbukti. Anehnya kini, kegiatan produksi di segala level industri, telah dimaknai sebagai industrialisasi hingga menjadi isme, adalah jangkar penghidupan, tanpa itu seolah-olah orang akan mati kelaparan, tatanan bumi akan nyingset. Di sinilah yang semakin menegaskan kedudukan antara pemberi dan pencari kerja.

Bila suatu usaha yang kemudian menimbulkan (proses) kegiatan produksi dilakukan dengan benar, maka tidak akan ada kerugian. Berarti, provit yang dimaksud adalah keuntungan yang sehat, dalam pandangan spiritual adalah “berkah/barokah” ke semua pihak dari hulu sampai hilir, tak hanya dua pihak antara pencari dan pemberi kerja saja. Sampai hal problem ekologi, turut dipikirkan. Tentu alasan hal kekompetitivan pasar dan argumentasi lainnya tidak bisa mutlak dibenarkan, yang bagian itu sejatinya telah terjerat dalam pusaran monopoli bisnis hingga jerat sistem, supplay and demand, konsumtif, dsb. misalnya. Yang padahal bagian itu lagi, adalah pekerjaan/ciptaan/rekaan paham-paham berhaluan liberal-kapitalistik yang terus mengopinikan dunia dengan propaganda globalisasi, industrialisasi, digitalisasi, dan “si” “si” lainnya.

Pasti yang beraliran materialisme, tentu protes, kalau begitu; mana ada usaha atau bisnis tanpa persaingan, tidak ada untung dan rugi. Nah, di situlah problemnya, mengapa kita selama ini memilih untuk merumuskan dasar negara, yakni Pancasila. Pancasila dalam konteks isi, bukan persoalan berspektrum kiri atau sosialis yang seringkali dibenturkan dengan konsep kapitalisme. Tidak! Tidak begitu! Kembali, dasarnya adalah “kesetaraan”, dari nilai-nilai kodrati.

Ilustrasi sederhana saja, mengapa nenek moyang kita berhasil membangun maha karya seni budaya, ya, karena banyak waktu luang, apapun sudah disediakan oleh alam, maka tinggal berkarya saja. Nah, ini berkebalikan dengan sodoran pemuja materialisme global yang dasarnya berangkat dari kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh suatu kaum (pemain) tersebut. Maka, kolonialisasipun dilakukan dengan aneka rupa. Ini tipu daya saja! Padahal, Nusantara sebenarnya sudah berada pada level kekaryaan dari rumusan pengetahuan dan ide gagasan yang bahkan sudah berada pada tingkat spiritualitas, yang mana urusan materialisme sudah sangat selesai. Jadi, dasar pemikiran dan filsafat kita (Indonesia) berbeda dengan mereka. “Ora petuk – ora gatuk”, tetapi terus dijejalkan dan dipaksakan mengikuti kehendak mereka. Akhirnya, menjadi obyek perahan mereka, menjadi obyek atau komponen kecil belaka. Sudah raga kita “habis manis sepah dibuang”, masih ditambah lagi; terus memanjangkan kebodohan.

Terkait

Terkini